Recommended

garis batas

Selimut Debu 60: Bertualang di Garis Batas

Negeri itu begitu dekat, bagaikan film tiga dimensi yang diputar di depan mata. Wakhan dan Tajikistan hanya dipisahkan oleh Sungai Amu. Tajikistan terlihat di mana-mana di sepanjang Koridor Wakhan. Tajikistan terlihat seperti tembok gunung tinggi, terkadang diselingi lembah hijau, tepat di seberang sungai besar yang bergejolak marah. Bahkan mobil-mobil, kuda, keledai, dan barisan tiang listrik dari negeri tetangga itu dapat dilihat dari Afghanistan. Dekat di mata, jauh di kaki. Tajikistan mungkin sejauh langit, atau bahkan lebih jauh. Di sisi sungai sebelah sini, hidup begitu berat dan penuh kekurangan. Meninggalkan Ishkashim, menyusuri tepian Sungai Amu di sisi Wakhan, jalanan semakin buruk. Sudah bukan lagi jalan makadam yang bisa dilalui mobil, tapi benar-benar padang liar yang penuh dengan jeram dan kubangan. Jalan ini sering kebanjiran, dan beberapa daerah sangat berlumpur, sehingga mobil yang sanggup melewati medan seperti ini adalah jip Rusia yang tangguh, 4WD, dan traktor. Berkubang bukanlah monopoli kerbau saja. Di Wakhan, mobil pun berkubang. Jip Rusia kuno yang kutumpangi dari Ishkashim terseok di dalam pasir, tenggelam hampir separuh roda. ”Khoda-e-man! Ya Tuhanku!” teriak Hamid si sopir jip kurus yang masih belia dan berkulit putih, ketika mobil terperosok ke luberan air di tanah berpasir. Aku melompat turun. Tinggi air selutut. Arusnya [...]

January 17, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 59: Melihat Dunia Luar

Di zaman sekarang, informasi tentang dunia luar jauh lebih mudah didapatkan. Orang Afghan tidak perlu harus menjadi pengungsi dulu untuk melihat kehidupan di dunia luar. Cukup menyalakan televisi, dan voila, fantasi semua penonton digiring pada sebuah kehidupan di dunia yang sama sekali berbeda. Sekarang acara lagi yang populer di televisi Afghanistan, selain siaran berita, adalah sinetron India yang judulnya “Ibu Mertua Juga Pernah Jadi Menantu.” Anehnya, acara opera sabun yang tidak habis-habis ini justru menjadi favorit para lelaki Afghan yang tampak berjenggot dan beringas. Sumber informasi lainnya bagi orang-orang di Ishkashim datang dari para tentara asing. Hari ini, para tentara gabungan mancanegara (ISAF) datang dan menyebarkan buletin publikasi (atau propaganda) mereka yang berjudul ISAF News. Dalam bahasa Farsi, nama buletin ini berjudul Sada ye Azadi, yang artinya “Suara Kemerdekaan”. Dua mobil baja besar berisikan tentara Denmark singgah di Ishkashim. Dalam sekejap mereka dikelilingi para penduduk desa yang begitu gembira menerima pamflet informasi dengan gambar-gambar berwarna. ISAF News terdiri dari beberapa halaman, terlihat seperti koran, ditulis dalam tiga bahasa: Inggris, Farsi, dan Pashto. Isinya beraneka ragam, mulai dari foto-foto Piala Dunia, cerita humor Molla Nasruddin, berita dunia, kegiatan ISAF (sepertinya ini yang menjadi poin utama). Bagian yang menarik adalah sebuah kolom [...]

January 16, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 58: Masih Tidur

Pagi bermula dengan begitu damai di Ishkashim. Pagi yang biasa, sejuk yang biasa, dan kemalasan yang biasa ala daerah pegunungan. Para lelaki di toko roti mulai sibuk membuat roti nan yang datar dan panjang. Mereka membuat roti dengan meletakkan adonan tepung yang sudah berbentuk di dalam tungku bokhari di dalam lobang di bawah tanah, dengan api yang menjilat-jilat langsung ke permukaan roti. Hasilnya adalah roti tebal yang renyah saat hangat. Para bocah di restoran baru saja menikmati sarapan dengan mencelupkan serpihan-serpihan roti ke dalam semangku teh susu yang asin rasanya. Ishkashim adalah juga sebuah kota pasar. Jalanan utamanya hanya segaris, merupakan jalan sempit berlumpur yang pada kedua sisinya berbaris toko-toko dan kios-kios kecil. Barang yang mereka jual kebanyakan buatan China, tetapi mungkin dalam waktu dekat akan dimeriahkan dengan barang-barang produk negeri-negeri Asia Tengah. Katanya ada rencana untuk membuka zona perdagangan bebas di sebuah pulau di tengah Sungai Amu, sehingga para pedagang dari kedua sisi perbatasan bisa bertransaksi dengan mudah tanpa harus mengurus visa. Ini diharapkan bisa memacu perdagangan antara Afghanistan dan Tajikistan Barang Indonesia pun sudah mencapai sudut terjauh Afghanistan ini. Setidaknya, kita bisa melihat foto-foto Ikke Nurjannah yang tersenyum di atas pembungkus sampo sachet Emeron, atau juga meneguk teh [...]

January 15, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 57: Mengintip Tajikistan dari Afghanistan

Kepalaku pusing, aku hampir tak sanggup melangkah ketika polisi menyeretku ke ruang wawancara. Dia mengamati pasporku. Tapi dia memang tidak kenal huruf, pasporku dibaca terbalik, atas ke bawah. Aku harus minta izin darinya, karena aku sudah tidak sanggup lagi mengendalikan diareku. Kantor polisi ini punya toilet, tapi tidak ada air. Aku tidak punya kertas. Jadi dia menyuruhku menyelesaikan urusanku di balik pepohonan, dan mencuci diri dengan air di selokan. Ketika aku kembali dari urusan berhajat, pasporku dikembalikan. Tanpa dia melakukan apa-apa dengan paspor itu. Katanya, dia juga tidak tahu mau diapakan pasporku itu. Aku diminta datang lagi besok, karena komandan yang bertugas mengurusi orang asing sepertiku sudah tidur. Jam 4 sore si komandan sudah tidur? Mungkin juga dia kena diare seperti aku? Petugas itu tak jawab. Ah, sudahlah. Aku pergi ke warung yang ada di seberang jalan. Aku beristirahat di sini. Di Afghanistan, kita bisa menginap di warung atau kedai teh gratis asalkan kita makan di  sini. Warung punya kewajiban mengurusi para musafir. Berkat kode keramahtamahan Afghan inilah, aku bisa bertahan di negeri yang keras dan sulit ini. Bocah kecil yang bekerja di warung menyiapkan matras di lantai, juga selimut tebal supaya aku bisa tidur siang. Dia menyiapkan seteko teh, [...]

January 14, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 56: Ladang Candu

Jarak dari Faizabad menuju kota Ishkashim di timur hanya 160 kilometer. Tetapi seperti halnya seluruh jalanan di Badakshan, jalanan ini pun berdebu, tidak beraspal. Transportasi sangat sulit dan tidak terjamin. Provinsi yang sejuk ini termasuk daerah paling tertinggal di Afghanistan. Bahkan ibukota provinsi pun sama sekali tidak memiliki jalan beraspal. Selama di Faizabad aku tinggal di rumah seorang jurnalis merangkap petani bernama Jaffar Tayyar, di pinggiran kota. Seperti biasa, semua kendaraan umum jarak jauh berangkat pagi-pagi buta karena bepergian di negeri tanpa jalan beraspal dan tanpa listrik di malam hari sangatlah berbahaya. Untuk mencapai terminal bus Faizabad, aku harus meninggalkan desa tempat tinggal Tayyar sejak pukul 4 subuh. Tidak ada kendaraan yang langsung menuju Ishkashim. Semua harus berhenti dulu di Baharak, 42 kilometer atau sekitar 2 jam perjalanan dari Faizabad, dengan ongkos Af 150 (US$3).  Baharak adalah dusun pasar yang teramat biasa. Di sinilah kita bisa menemukan kendaraan menuju Ishkashim. Semua kendaraan baru berangkat ketika penumpang penuh, tapi Ishkashim bukanlah tujuan yang umum, sehingga jadi berangkat atau tidaknya sangat tergantung pada keberuntungan. Aku beruntung karena ketika aku tiba di Baharak, ada sebuah kendaraan Toyota 4WD (yang bertuliskan besar-besar “ATOYOT”, mungkin yang menulis adalah orang Afghan yang terbiasa menulis dari kanan [...]

January 13, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 21: Agama di Garis Batas

Tasku jebol setelah perjalanan panjang ini, dan tukang reparasi sepatu di perbatasan Pakistan ini begitu piawai memperbaikinya (AGUSTINUS WIBOWO) Di Pakistan, aku sungguh disadarkan bagaimana cara Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Bus yang semestinya aku tumpangi kemarin kalau tidak bangun kesiangan di Kabul, ternyata mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang saat melintasi jalan pegunungan Karakoram Highway yang berbahaya. Ada penumpang yang tewas, untungnya aku tidak jadi menumpang bus itu. Penumpang di sampingku adalah seorang pelajar berusia 17 tahun (walaupun wajahnya kelihatan seperti 30 tahun lebih), orang Pathan/Pashtun dan mengaku pernah ke Afghanistan. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Katanya, zaman Taliban dulu mereka tidak perlu pakai paspor untuk pergi ke Afghanistan, karena berewok sudah cukup sebagai paspor. Di zaman Taliban, hukum sangat keras, mereka memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri, potong lengan bagi perempuan yang kelihatan auratnya, atau hukuman mati bagi pembunuh jika keluarga korban tidak mau mengampuni. Kesalahan Taliban, menurutnya, adalah mereka menerapkan hukum Islam secara ekstrem dan sangat mendadak, tidak melalui tahapan-tahapan. Akibatnya, mereka tidak didukung sebagian besar orang Afghan. Hanya saja selama masa Taliban, Afghanistan jauh lebih aman dan stabil. Dia pun tak habis pikir mengapa Amerika menyerang Taliban. Toh bukan Taliban yang menghancurkan WTC? Osama, tokoh utama dalam cerita ini, [...]

November 25, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO) Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal. Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir. Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu. Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku. Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! [...]

November 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan melintasi jalan berdebu ini begitu lambat, sangat lambat. Seperti halnya negeri ini yang begitu perlahan, sangat perlahan, menyingkap kembali cadar pekat yang menutupi wajahnya setelah 30 tahun diamuk perang melawan Soviet, perang sipil antara suku-suku, perang antara Mujahiddin dan Taliban. Pemandangan di luar, gunung-gunung tandus yang sesekali diselingi lembah-lembah hijau, mengingatkanku pada film-film aksi Amerika tentang perang Afghanistan. Dan kini layar film yang datar itu berubah menjadi pemandangan tiga dimensi di sini. Mobil berhenti di tepian jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Di bawah teduhnya pepohonan, nampak barisan tenda-tenda pedagang buah-buahan. Kami sudah memasuki daerah Jalalabad yang memang terkenal dengan buahnya. Seorang penumpang, kakek tua berjanggut putih beserban putih, turun membeli beberapa melon. Saat kakek itu menggendong melon-melon besar menyeberang jalan, aku menjepretkan kamera. Dia terkejut, buah-buahan yang semula aman dalam dekapannya, tiba-tiba menggelinding di jalan raya itu. Untungnya dia tidak marah, malah tersenyum tipis di balik lapisan jenggotnya itu. Setetes keringat dingin sempat mengalir di keningku, khawatir berbuat salah di negeri yang katanya penuh darah ini. Alunan lagu Afghani mengalir dengan gempitanya dari tape usang falangkoch, diiringi dendang yang membawa suasana ke alam gurun Timur Tengah. [...]

November 12, 2013 // 5 Comments

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul. Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!” Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu. Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, [...]

November 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 10: Makhluk Asing

Pemandangan pertama negeri Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Detik-detik menuju Afghanistan semakin dekat. Di ruang pemeriksaan paspor, setumpuk paspor hijau Korea Selatan tiba-tiba menyeruak, dibawa seorang pria yang kucurigai sebagai pemandu wisata. Di luar tampak beberapa pemuda dan pemudi Korea yang cekikikan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. Tak kusangka, rombongan turis pun sudah sampai ke Afghanistan. Entah berapa lama lagi perjalanan ke Afghanistan masih layak disebut sebagai petualangan, sebelum negeri yang eksotik ini disulap menjadi taman hiburan Disneyland Edisi Zona Perang bagi turis-turis asing. Adam dan aku melangkah menuju gerbang besar Afghanistan. Berbeda dengan Pakistan, tidak nampak tulisan “Welcome to Afghanistan” di sini. Atau mungkin saja ada, tapi dalam huruf Arab yang tidak bisa kubaca. Kami berjalan bersama seorang pria Afghan bertubuh subur, dengan bahasa Inggris yang fasih. Rupanya dia adalah penerjemah untuk kantor berita Fox. “Kamu tahu, Fox itu memang persis seperti fox, mereka selicik rubah,” bisik Adam kepadaku, ketika pria itu tak hentinya menceritakan tentang pekerjaannya, kekayaannya, gajinya yang fantastis, … sungguh ironi dengan kemelaratan negara yang habis dihajar perang berpuluh-puluh tahun. Memasuki Afghanistan, jarum jam seperti diputar mundur lima puluh tahun. Kekacauan yang balau, hiruk yang pikuk. Orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang berbongkah-bongkah. Wanita-wanita [...]

November 8, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 8: Menembus Lubang Singa

Menerjang masuk ke lubang harimau. Entah apa yang menanti di balik sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap. Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memandangi visa Afghanistan yang tertempel di pasporku. Bagaimana ini bisa jadi nyata? Lebih mustahil lagi, hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itu selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu. Pukul setengah sembilan pagi, aku dan Adam sudah check out dari Peshawar Golden Inn—penginapan yang namanya megah tetapi berupa barisan kamar sempit mirip penjara yang cocok untuk para turis tak berduit seperti kami. Sungguh berat menyiapkan mental menembus gerbang perbatasan yang memisahkan kita dari sebuah dunia lain di sana. Pemilik hotel tersenyum ramah, sembari bertanya, “Sudah siap?” Aku tak bisa menjawab. Dalam hitungan menit, pemilik penginapan sudah membantu kami mencarikan taksi yang akan membawa kami ke perbatasan. Sebagai orang asing, kami tidak diizinkan untuk menggunakan angkutan umum menuju ke Khyber, karena seperti yang selalu dikatakan pemerintah Pakistan, daerah Tribal Area itu ‘teramat sangat berbahaya’. Tawar menawar alot pun sempat terjadi antara supir taksi dan kami, dan akhirnya, “OK! [...]

November 6, 2013 // 2 Comments

Jawa Pos (2013): Perjalanan Akbar Musafir Lumajang

27 Oktober 2013 Perjalanan Akbar Musafir Lumajang Oleh J. SUMARDIANTA REPUBLIK Mauritius merupakan kasus tidak lazim multikulturalisme. Pulau kecil di Samudra Hindia, terapat bermukim bagi lebih dari sejuta orang keturunan Afrika, Eropa, India, dan Asia Tenggara. Di situ pelbagai agama, bahasa, dan. tradisi etnis bergabung dalam kultur harmonis. Tiada negeri lain di belahan dunia mana pun bisa seotentik Mauritius. Negeri mungil itu merdeka dari Inggris pada 1968. Sumber daya yang terbatas dan keragaman etnis mengancam kelangsungan perdamaian. Mayoritas penduduk keturunan India. Kaum minoritas khawatir dikesampingkan. Sedari awal Mauritius diprediksi bakal hancur terjerumus kekisruhan politik, agama, ras, dan etnis. Namun, warga Mauritius, dengan komitmen dasar merayakan perbedaan, merancang konstitusi yang menyantuni semua orang di sekujur negeri. Sebagian besar kursi parlemen diberikan kepada para wakil terpilih dalam pemilu. Delapan kursi dicadangkan buat “peserta kalah pemilu” yang menduduki peringkat terbaik. Kursi cadangan menjamin keterwakilan seimbang kaum minoritas. Keragaman agama dan budaya membuat masyarakat Mauritius memiliki banyak hari libur. Mereka sampai kesulitan membereskan pekerjaan karena setiap kelompok tidak bersedia menghapus hari libur mereka. Dibuatlah kesepakatan: bila suatu kelompok merayakan hari libur, semua ikut merayakan. Hari-hari libur keagamaan tertentu dirayakan rakyat seluruh negeri. Semua orang menghormati Diwali Hindu, [...]

October 27, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya. “Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung. Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya. “Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar. Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos. Pos terakhir yang paling saya takuti, pos [...]

October 1, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 77: Sekali Lagi, Visa Oh Visa…

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Bila diingat, perjalanan saya di Asia Tengah melintasi negara-negara pecahan Uni Soviet ini, selalu disibukkan dengan urusan visa. Kira-kira hampir separuh konsentrasi saya habis hanya untuk memikirkan trik-trik melamar visa. Seperti diketahui, paspor Indonesia bukan yang terbaik untuk melancong di sini. Kita tidak bisa nyelonong begitu saja ke kedutaan negara Stan untuk minta visa, tanpa terlebih dahulu mengurus yang namanya ‘letter or invitation‘ atau dalam bahasa kerennya disebut priglashenie, surat undangan. Surat undangan ini harus direstui dulu oleh kementerian luar negeri negara yang dituju, melalui proses berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Salah satu cara mudah untuk mendapatkan priglashenie, terutama untuk Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Uzbekistan, adalah dengan menghubungi biro perjalanan di negara yang akan dituju. Kantor-kantor travel di sana sudah terbiasa memenuhi permintaan priglashenie. Dengan hanya membayar 30 dolar dan menunggu paling lama dua minggu kita sudah bisa mendapatkan surat undangan dari negara yang dimaksud. Ini baru surat undangan, prasyarat untuk bikin visa. Visanya sendiri bermacam-macam ceritanya. Ingat kedutaan Tajikistan di Kabul yang benderanya terbalik-balik dan diplomatnya menjual visa seperti calo menjual tiket waktu Lebaran? Di Dushanbe, kedutaan Kyrgyzstan juga cukup antik karena hanya buka sehari dalam seminggu. Di Bishkek, kedutaan Uzbekistan punya kegemaran mengadakan ujian [...]

September 30, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 20: Bagaimana Caranya Keluar dari Sini?

Bazaar Kota Murghab (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimana caranya keluar dari Murghab? Saya sudah tak sabar lagi ingin keluar dari kota yang penuh dengan kemuraman hidup ini. Apalagi, visa Tajikistan saya hanya tersisa empat hari. Saya harus selekasnya masuk ke Kyrgyzstan sebelum visa kadaluwarsa. Murghab memang bukan tempat yang nyaman untuk menunggu kendaraan. Sudah dua hari saya menunggu di pasar Murghab yang sepi dan malas itu. Begitu pula dua orang backpacker bule, orang Israel dan Amerika, yang saya temui di sana. Di sini, tidak seperti di Langar, banyak sekali mobil. Tetapi, tidak ada penumpang. Orang tidak mampu membayar karcis perjalanan yang melambung. Harga bensin di Murghab 3.40 Somoni per liter, lebih murah daripada di Langar yang terpencil. Selain kami bertiga, tidak ada lagi yang berniat pergi ke Kyrgyzstan. Melihat backpacker bule  para supir tidak mau melewatkan kesempatan berharga. Tiga ratus dolar, tidak bisa ditawar, untu menyewa jeep sampai ke kota Osh di Kyrgyzstan sana. Saya tidak tertarik untuk menyewa kendaraan. Angka ratusan dolar jauh sekali di atas kemampuan dompet saya. Tapi, Si Turis Amerika sudah tidak sabar lagi. Visanya berakhir hari ini. Kalau dia tidak berada di Kyrgyzstan malam ini juga, nasibnya akan berakhir di tangan para tentara Tajik yang rakus, atau [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 19: Di Atas Reruntuhan Mimpi

Gulnoro dan kesusahan hidupnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Murghab memang didirikan di atas sebuah mimpi: sebuah kota perbatasan Uni Soviet yang tangguh di puncak pegunungan Pamir. Orang-orang dari lembah Wakhan, Shegnon, bahkan Kyrgyzstan, datang ke sini untuk membangun harapan dan impian itu. Tetapi negeri impian tidak selalu indah. Kota ini terisolasi dari dunia luar setelah perang saudara meletus di negara baru Tajikistan. Penduduk bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga tak punya makanan. Mereka tak seberuntung orang-orang desa yang masih bertahan hidup dari ladang-ladang dan kebun. Di Murghab, orang hanya punya sepetak rumah. Tak ada uang, berarti juga tak ada makanan. Saya menginap di rumah Gulnoro, wanita berumur 54 tahun, adik khalifa Yodgor dari desa Langar. Gulnoro sudah lama sekali tidak melihat kakaknya. Terakhir kali dua tahun lalu. Jarak dari Murghab ke Langar tak lebih 270 kilometer, tetapi paling murah orang harus membayar 50 Somoni, sekitar 15 dollar. Sedangkan gaji Gulnoro sebagai guru sekolah dasar hanya 80 Somoni per bulan, itu pun masih berat untuk menghidupi keluarganya. Pulang kampung ke Langar adalah prioritas kesekian dari tumpukan tuntutan hidup. Suami Gulnoro tidak bekerja. Beig, 56 tahun, sudah hampir setahun ini menganggur. Dulu dia bekerja di Rusia. Karena kemiskinan negerinya, banyak sekali pria-pria Tajik yang [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 17: Padang Gembala

Anak-anak Kirghiz bermain di dekat truk Kamaz. (AGUSTINUS WIBOWO) Semalam di Alichur, tidur di dalam stolovaya, di atas lantai dingin dan dibungkus selimut tebal yang kotor, mungkin bukan idaman semua petualang. Supir-supir truk yang tidak saya kenal dan saya ingat wajahnya, kecuali satu dua orang saja, tidur berjajar seperti ikan yang digelar di pasar. Dalam kegelapan total, suara dengkuran sahut menyahut, seakan bersaing dengan lolongan anjing-anjing gembala di luar sana. Tak bisa tidur, saya membuka mata. Yang terlihat hanya hitam. Tiba-tiba sebuah tangan merangkul saya. Di warung yang sempit ini memang tidak banyak tempat. Saya berbagi tikar dan selimut dengan Dudkhoda, pria Tajik yang menjadi teman bicara saya. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia sudah pulas. Tapi, tidak terdengar dengkuran dari mulutnya. Ada hembusan napas yang lebih cepat dari biasanya. Saya diam saja. Tiba-tiba telapak tangan asing itu meraba-raba tubuh saya. Aduh, apa lagi ini? Bau vodka tercium kuat. Dudkhoda tidak sedang tidur lelap. Sepertinya ia butuh sesuatu untuk pelampiasan hasratnya. Suara dengkuran supir-supir Kirghiz masih bersahutan tanpa henti, seperti konser orkestra. Perjuangan Dudkhoda pun tidak pernah berhenti. Berkali-kali saya mengembalikan tangan itu ke tempat yang seharusnya. Berkali-kali pula tangan itu mendarat lagi di atas tubuh saya. Malam [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 16: Semalam di Alichur

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua kesusahan hidup di Tajikistan, yang paling berat adalah transportasi. Langar memang sangat terpencil. Letaknya bukan di jalan utama, sehingga dalam sebulan mungkin hanya ada satu kendaraan saja yang lewat. Saya ingin meneruskan perjalanan ke utara, menuju Pamir Highway yang menghubungkan Tajikistan dengan Kyrgyzstan, negara tujuan saya berikutnya. Tetapi menunggu satu bulan di Langar tentu saja bukan pilihan. Visa Tajikistan, yang saya beli dengan harga 250 dolar di Kabul, hanya memberi saya ijin tinggal satu bulan. Khalifa Yodgor memang orang baik. Tahu kesulitan saya, ia membantu mencarikan saya kendaraan yang akan membawa saya melanjutkan perjalanan. Pemilik mobil yang satu ini memang sudah lama menganggur. Tahu saya ingin ke Alichur, dia langsung mengeluarkan sederetan hitung-hitungan yang membuat kepala saya pening. “Jarak Langar ke Alichur 120 kilometer. Pergi pulang 240 kilometer. Naik turun gunung, 1 liter bensin cuma untuk 3 kilometer. Kamu paling tidak harus memberi 80 liter bensin.” “Bisa bayar tidak pakai uang?” “Terserah kamu, mau bayar pakai bensin atau bayar pakai uang?” Apakah dia menganggap saya sebagai suplier bensin yang selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Atau memang di sini, di mana BBM langka sampai harganya mencekik leher, bensin [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 15: Tajikistan Sudah Kuat

Pembukaan jembatan Afghanistan – Tajikistan. Tilo dan seorang komandan Tajik bernegosiasi dengan para pejabat Afghan di tengah jembatan. (AGUSTINUS WIBOWO) Impian orang-orang desa, baik di Tajikistan sini maupun di Afghanistan sana, tentang sebuah pertemuan kembali, masih berupa impian. Bazaar bersama yang disambut dengan penuh suka cita itu ternyata hanya buka sekali saja. Jembatan kembali disegel, dijaga ketat oleh penjaga perbatasan yang tak kenal kompromi. Tiga bulan lalu, saya mengintip-ngintip Tajikistan dari seberang sana. Bersama dengan para petinggi Afghan yang penuh dengan mimpi dan harapan. Saya melihat secuil Tajikistan: beberapa tentara Tajik yang dengan fasih berbicara bahasa Persia, menandatangani surat-surat dan mengucapkan selamat kepada Shah dari Panjah. Saya datang kembali ke jembatan ini. Kali ini dari sisi Tajikistan, mengintip-intip Afghanistan yang berupa barisan gunung gundul di seberang sana. Tempat ini sepi. Mati. Tentara perbatasan Tajikistan menjaga rapat-rapat pintu gerbang menuju jembatan. Mereka juga perlahan-lahan dibunuh kesepian dan kebosanan. Tentunya tentara-tentara muda ini datang ke sini bukan karena pilihan mereka. Sebagian besar mereka datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang dari kota modern Dushanbe, ada yang dari kota Khojand jauh di utara sana. Mereka datang ke sini karena terpaksa. Anak-anak muda ini sedang menjalani wajib militer. Di Tajikistan semua pemuda wajib mengikuti [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 14: Saudara yang Hilang

Keluarga Yodgor, seorang Khalifa dari Langar, bersama potret pemimpin spiritual Ismaili – Yang Mulia Aga Khan. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga bulan lalu, saya pernah berada di seberang sungai sana [di Afghanistan –red], bersama rombongan orang-orang penting dari Afghanistan. Ada Shah (raja) dari Panjah, petinggi kecamatan Khandud, dan para tentara perbatasan. Saya menyaksikan sendiri peresmian jembatan internasional yang menghubungkan desa Ghoz Khan di Afghanistan dengan desa Langar di Tajikistan. Jembatan kayu tua, tak lebih dari lima meter lebarnya, mengantarkan segala harapan dan impian orang-orang di Afghanistan sana akan sebuah kehidupan yang jauh lebih baik yang ditawarkan oleh Tajikistan. Kini, setelah menempuh perjalanan ribuan kilometer memutar, saya sampai di ujung lain jembatan ini. Bersama Mulloev Yodgor Dildorovich, khalifa atau pemuka agama Ismaili dari desa Langar, dikerumuni tentara-tentara perbatasan Tajikistan, saya menatap lagi jembatan kayu ini. Perbatasan ini disegel rapat-rapat. Tak ada orang yang boleh melintas. Di seberang sana nampak barisan bukit gundul Afghanistan. Entah harapan apa yang disodorkan oleh negeri seberang sungai sana. Yodgor, khalifah sekaligus guru sekolah dasar, termasuk salah satu dari ratusan orang yang terkesima oleh pembukaan perbatasan itu tiga bulan lalu, pada tanggal 1 Agustus 2006. Pada hari itu, bazaar atau pasar internasional pertama dengan Afghanistan di desa Langar pertama [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

1 2 3 4