perang
Aku tak punya pilihan. Tidak ada rencanaku menginap di Khandud. Bahkan membayangkan pun aku tak pernah. Ada sejumput amarah bergemuruh di dalam diri, sopir yang kubayar ternyata mengantarkanku ke tempat lain yang bukan tujuanku. Kami masuk rumah Bashir, duduk melingkar di ruang tamu. Bashir langsung lenyap ke dalam rumah. Kegelapan menyelimuti ruangan ini. Matras-matras panjang digelar. Aku mengambil tempat di pojok. Waduj dan Haji Samsuddin di pojok lain. Sunyi. Senyap. Tak ada yang bicara. Mungkin semua lelah? Mungkin semua bingung? Komandan Sakhi tidak betah dengan kesunyian. Suaranya menggelegar. ”Hai, kamu semua tidak bisa bicara ya? Bisu ya?” Dia memang komandan, kata-katanya seakan menghipnotis. Samsuddin dan Waduj tiba-tiba mengobrol sembarang topik, memecah kesunyian. Tidak berapa lama, segunung nasi putih disajikan berwadah piring lebar dan panjang. Puncaknya tidak lancip seperti tumpeng, tetapi dengan kaldera seperti Bromo. Dalam cekungan di puncak gunungan nasi itu terdapat danau minyak bening. Dua piring lebar ditaruh di atas tikar, dikelilingi para lelaki yang wajahnya ikut berkelap-kelip bersama sinar lampu petromaks. Makan malam kami ini disediakan oleh keluarga Bashir. Ayah dan paman Bashir ikut bergabung bersama para tamu. Ini adalah kewajiban tuan rumah. “Kamu mau ke mana?” Sakhi bertanya padaku. Boroghil, aku menjawab. Dia tertawa. “Boroghil terlalu jauh. [...]
Selimut Debu 60: Bertualang di Garis Batas
Negeri itu begitu dekat, bagaikan film tiga dimensi yang diputar di depan mata. Wakhan dan Tajikistan hanya dipisahkan oleh Sungai Amu. Tajikistan terlihat di mana-mana di sepanjang Koridor Wakhan. Tajikistan terlihat seperti tembok gunung tinggi, terkadang diselingi lembah hijau, tepat di seberang sungai besar yang bergejolak marah. Bahkan mobil-mobil, kuda, keledai, dan barisan tiang listrik dari negeri tetangga itu dapat dilihat dari Afghanistan. Dekat di mata, jauh di kaki. Tajikistan mungkin sejauh langit, atau bahkan lebih jauh. Di sisi sungai sebelah sini, hidup begitu berat dan penuh kekurangan. Meninggalkan Ishkashim, menyusuri tepian Sungai Amu di sisi Wakhan, jalanan semakin buruk. Sudah bukan lagi jalan makadam yang bisa dilalui mobil, tapi benar-benar padang liar yang penuh dengan jeram dan kubangan. Jalan ini sering kebanjiran, dan beberapa daerah sangat berlumpur, sehingga mobil yang sanggup melewati medan seperti ini adalah jip Rusia yang tangguh, 4WD, dan traktor. Berkubang bukanlah monopoli kerbau saja. Di Wakhan, mobil pun berkubang. Jip Rusia kuno yang kutumpangi dari Ishkashim terseok di dalam pasir, tenggelam hampir separuh roda. ”Khoda-e-man! Ya Tuhanku!” teriak Hamid si sopir jip kurus yang masih belia dan berkulit putih, ketika mobil terperosok ke luberan air di tanah berpasir. Aku melompat turun. Tinggi air selutut. Arusnya [...]
Selimut Debu 59: Melihat Dunia Luar
Di zaman sekarang, informasi tentang dunia luar jauh lebih mudah didapatkan. Orang Afghan tidak perlu harus menjadi pengungsi dulu untuk melihat kehidupan di dunia luar. Cukup menyalakan televisi, dan voila, fantasi semua penonton digiring pada sebuah kehidupan di dunia yang sama sekali berbeda. Sekarang acara lagi yang populer di televisi Afghanistan, selain siaran berita, adalah sinetron India yang judulnya “Ibu Mertua Juga Pernah Jadi Menantu.” Anehnya, acara opera sabun yang tidak habis-habis ini justru menjadi favorit para lelaki Afghan yang tampak berjenggot dan beringas. Sumber informasi lainnya bagi orang-orang di Ishkashim datang dari para tentara asing. Hari ini, para tentara gabungan mancanegara (ISAF) datang dan menyebarkan buletin publikasi (atau propaganda) mereka yang berjudul ISAF News. Dalam bahasa Farsi, nama buletin ini berjudul Sada ye Azadi, yang artinya “Suara Kemerdekaan”. Dua mobil baja besar berisikan tentara Denmark singgah di Ishkashim. Dalam sekejap mereka dikelilingi para penduduk desa yang begitu gembira menerima pamflet informasi dengan gambar-gambar berwarna. ISAF News terdiri dari beberapa halaman, terlihat seperti koran, ditulis dalam tiga bahasa: Inggris, Farsi, dan Pashto. Isinya beraneka ragam, mulai dari foto-foto Piala Dunia, cerita humor Molla Nasruddin, berita dunia, kegiatan ISAF (sepertinya ini yang menjadi poin utama). Bagian yang menarik adalah sebuah kolom [...]
Selimut Debu 58: Masih Tidur
Pagi bermula dengan begitu damai di Ishkashim. Pagi yang biasa, sejuk yang biasa, dan kemalasan yang biasa ala daerah pegunungan. Para lelaki di toko roti mulai sibuk membuat roti nan yang datar dan panjang. Mereka membuat roti dengan meletakkan adonan tepung yang sudah berbentuk di dalam tungku bokhari di dalam lobang di bawah tanah, dengan api yang menjilat-jilat langsung ke permukaan roti. Hasilnya adalah roti tebal yang renyah saat hangat. Para bocah di restoran baru saja menikmati sarapan dengan mencelupkan serpihan-serpihan roti ke dalam semangku teh susu yang asin rasanya. Ishkashim adalah juga sebuah kota pasar. Jalanan utamanya hanya segaris, merupakan jalan sempit berlumpur yang pada kedua sisinya berbaris toko-toko dan kios-kios kecil. Barang yang mereka jual kebanyakan buatan China, tetapi mungkin dalam waktu dekat akan dimeriahkan dengan barang-barang produk negeri-negeri Asia Tengah. Katanya ada rencana untuk membuka zona perdagangan bebas di sebuah pulau di tengah Sungai Amu, sehingga para pedagang dari kedua sisi perbatasan bisa bertransaksi dengan mudah tanpa harus mengurus visa. Ini diharapkan bisa memacu perdagangan antara Afghanistan dan Tajikistan Barang Indonesia pun sudah mencapai sudut terjauh Afghanistan ini. Setidaknya, kita bisa melihat foto-foto Ikke Nurjannah yang tersenyum di atas pembungkus sampo sachet Emeron, atau juga meneguk teh [...]
Selimut Debu 57: Mengintip Tajikistan dari Afghanistan
Kepalaku pusing, aku hampir tak sanggup melangkah ketika polisi menyeretku ke ruang wawancara. Dia mengamati pasporku. Tapi dia memang tidak kenal huruf, pasporku dibaca terbalik, atas ke bawah. Aku harus minta izin darinya, karena aku sudah tidak sanggup lagi mengendalikan diareku. Kantor polisi ini punya toilet, tapi tidak ada air. Aku tidak punya kertas. Jadi dia menyuruhku menyelesaikan urusanku di balik pepohonan, dan mencuci diri dengan air di selokan. Ketika aku kembali dari urusan berhajat, pasporku dikembalikan. Tanpa dia melakukan apa-apa dengan paspor itu. Katanya, dia juga tidak tahu mau diapakan pasporku itu. Aku diminta datang lagi besok, karena komandan yang bertugas mengurusi orang asing sepertiku sudah tidur. Jam 4 sore si komandan sudah tidur? Mungkin juga dia kena diare seperti aku? Petugas itu tak jawab. Ah, sudahlah. Aku pergi ke warung yang ada di seberang jalan. Aku beristirahat di sini. Di Afghanistan, kita bisa menginap di warung atau kedai teh gratis asalkan kita makan di sini. Warung punya kewajiban mengurusi para musafir. Berkat kode keramahtamahan Afghan inilah, aku bisa bertahan di negeri yang keras dan sulit ini. Bocah kecil yang bekerja di warung menyiapkan matras di lantai, juga selimut tebal supaya aku bisa tidur siang. Dia menyiapkan seteko teh, [...]
Selimut Debu 56: Ladang Candu
Jarak dari Faizabad menuju kota Ishkashim di timur hanya 160 kilometer. Tetapi seperti halnya seluruh jalanan di Badakshan, jalanan ini pun berdebu, tidak beraspal. Transportasi sangat sulit dan tidak terjamin. Provinsi yang sejuk ini termasuk daerah paling tertinggal di Afghanistan. Bahkan ibukota provinsi pun sama sekali tidak memiliki jalan beraspal. Selama di Faizabad aku tinggal di rumah seorang jurnalis merangkap petani bernama Jaffar Tayyar, di pinggiran kota. Seperti biasa, semua kendaraan umum jarak jauh berangkat pagi-pagi buta karena bepergian di negeri tanpa jalan beraspal dan tanpa listrik di malam hari sangatlah berbahaya. Untuk mencapai terminal bus Faizabad, aku harus meninggalkan desa tempat tinggal Tayyar sejak pukul 4 subuh. Tidak ada kendaraan yang langsung menuju Ishkashim. Semua harus berhenti dulu di Baharak, 42 kilometer atau sekitar 2 jam perjalanan dari Faizabad, dengan ongkos Af 150 (US$3). Baharak adalah dusun pasar yang teramat biasa. Di sinilah kita bisa menemukan kendaraan menuju Ishkashim. Semua kendaraan baru berangkat ketika penumpang penuh, tapi Ishkashim bukanlah tujuan yang umum, sehingga jadi berangkat atau tidaknya sangat tergantung pada keberuntungan. Aku beruntung karena ketika aku tiba di Baharak, ada sebuah kendaraan Toyota 4WD (yang bertuliskan besar-besar “ATOYOT”, mungkin yang menulis adalah orang Afghan yang terbiasa menulis dari kanan [...]
Selimut Debu 51: Peninggalan Gerilyawan
Apakah jatuhnya Taliban sudah berarti Afghanistan siap menyongsong era damai? Kering berpuluh tahun tidak bisa dihapus dengan hujan sehari. Perang berpuluh tahun tidak bisa terhapus dengan damai yang cuma sekejap. Kunduz adalah ibukota dari provinsi Kunduz, terletak hanya 60 kilometer dari perbatasan Tajikistan. Perjalanan dari Kabul ke Kunduz melewati gunung-gunung tinggi dan sejuk, tapi Kunduz sangatlah panas. Untuk datang ke sini, bus berjalan menembus gunung melewati Terowongan Salang, yang dibangun tahun 1960-an sebelum perang mencabik-cabik Afghanistan. Terowongan ini sangat panjang dan modern. Bisa dilihat, betapa dulu Afghanistan adalah negara yang begitu kaya dan maju. Udara panas di Kunduz sebanding dengan Kandahar atau Jalalabad, terkenal karena gelombang panas yang sangat parah di puncak musim panas. Ketinggian Kunduz hanya 400 meter di atas permukaan laut, sebuah penurunan drastis dari Terowongan Salang yang mencapai 3.363 meter. Kunduz seperti dasar sebuah mangkuk di Asia Tengah, tidak heran juga panasnya bisa menjadi-jadi seperti ini. Memasuki Kunduz, kita sebenarnya sudah memasuki Asia Tengah. Uzbekistan dan Tajikistan sudah sangat dekat. Tetapi bukannya orang Uzbek dan Tajik yang mendominasi kota ini, justru orang Pashtun yang berasal dari Afghanistan selatan. Aku disambut oleh Rohullah Arman, wartawan Pajhwok yang bertugas di daerah ini. Dengan sepeda motor superbesarnya, Arman segera membawaku [...]
Selimut Debu 34: Para Penjinak Ranjau
Menyisir ladang ranjau secara manual. (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap hari mereka bergelut di garis batas antara hidup dan mati. Tapi mereka tetap berusaha menikmati rutinitas berbahaya ini. Wais semula memang tidak mengizinkanku memotret para pembersih ranjau. Tetapi akhirnya dia membolehkan, asalkan para “model” sudah memakai jaket dan helm sesuai yang diwajibkan organisasi. Kalau tidak, pelanggaran keamanan ini bisa diketahui atasan, dan mereka semua akan dapat masalah. Tidak ada yang dapat menjamin pulang dengan selamat kalau mengerjakan pekerjaan ini. Bahkan anjing yang mempunyai penciuman sensitif pun sering kali menjadi korban. Saat menemukan ada logam yang dipendam di lokasi, para anjing seharusnya duduk satu meter jauhnya dari benda yang dicurigai itu. Tapi kenyataannya, cukup banyak anjing yang tergoda untuk menggali “barang menarik” itu. Kejadian berikutnya bisa ditebak: si anjing meledak berkeping-keping ke angkasa, lalu ke tanah (deskripsi yang disebut oleh Jamil dan Sabur sebagai “pemandangan luar biasa” atau “pemandangan cantik”). Jam kerja para penjinak ranjau sebenarnya dipengaruhi oleh cara kerja anjing. Anjing adalah binatang rewel, mereka hanya bekerja pada temperatur tertentu. Para petugas penjinak ranjau harus memulai pekerjaan mereka pagi-pagi sekali, yaitu sekitar setengah enam ketika langit baru saja terang, dan mengakhiri kerja mereka sebelum hari mulai panas, sekitar pukul 11:00. Lain dari [...]
Selimut Debu 33: Ranjau, Hidup dan Mati
Tim penjinak ranjau menggunakan anjing yang sudah terlatih untuk melacak ranjau. (AGUSTINUS WIBOWO) Sabur ternyata adalah pintu gerbangku untuk mengenal kehidupan para pembersih ranjau. Semula aku kurang bersimpati dengannya, gara-gara kebenciannya terhadap orang-orang Hazara hanya karena mereka Syiah. Sabur juga mencurigakan, karena topik pembicaraannya tidak jauh-jauh dari jijig (yang merupakan tiruan bunyi dari orang berhubungan seksual, kemungkinan dari pengaruh bahasa Rusia). Dia bilang, dia tidak pernah berhubungan seksual dengan bocah lelaki, tapi dia tahu bahwa Vaseline berguna dalam urusan itu. Humor-humor berbau homoseksual sangat populer di kalangan lelaki Afghan, bahkan mereka masih tetap menjentikkan untaian bulir tasbih saat bergurau tentang seks. Sehabis berbanjir peluh dari perjalanan ke Kakrak, Sabur membawaku ke tempat tinggalnya. Semula aku khawatir apabila humor-humor homoseksualnya bukan sekadar humor. Ternyata Sabur tinggal di asrama bersama para pembersih ranjau. Dia adalah sopir untuk organisasi Mine Dog Center (MDC). Sabur mempersilakan aku duduk, membuatkan jus mangga untukku. Bukan dengan mesin, harap dicatat. Dia cukup meremas mangga dengan kedua tangannya sampai buah malang itu melunak. Melihat ekspresi wajahku yang ngeri melihat cairan mangga itu merembes dari kulitnya melewati jari-jari Sabur hingga masuk ke cangkir, Jamil, teman Sabur yang orang Pashtun, menyiapkan segelas susu untukku. “Ya,” katanya, “besok kamu harus datang [...]
Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara
Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO) “Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku. Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal. Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika. Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya. Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali. Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke [...]
Selimut Debu 27: Hati-hati dengan Vaseline
Para pekerja tim pembersih ranjau bekerja di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka adalah para pekerja yang setiap harinya bergaul dengan maut. Maut justru begitu dekat di tempat sesejuk dan sedamai ini. Beberapa minggu lalu, kata pembersih ranjau, ada seorang penduduk yang rumahnya dekat dengan patung Buddha, terpaksa kakinya harus diamputasi karena menginjak ranjau yang terletak di antara patung Buddha Kecil dan patung Buddha Besar. Baru setelah kejadian itu, diketahui bahwa daerah sekitar patung Buddha beranjau. Bukan sekadar beranjau, tapi heavily mined. Ranjaunya super banyak! Dan ini pun hanya diketahui baru-baru ini saja. Segera, tim pembersih ranjau diberangkatkan ke sini dua minggu lalu, dan rencananya mereka akan bertugas di sini selama dua atau tiga bulan. Satu tim lain mengatakan, mereka mungkin akan meninggalkan Bamiyan besok, karena ada daerah lain yang juga beranjau di daerah utara ibukota Kabul, pembersihannya jauh lebih mendesak sehingga upaya pembersihan di Bamiyan harus dihentikan sementara. Manajemen yang kacau ini sangat lazim di negeri yang masih bergoyang seperti Afghanistan. Sedangkan daerah yang di puncak bukit patung Buddha, tempat dulu aku bermain perang-perangan dan mengumpulkan suvenir sisa perang, adalah daerah yang teramat-sangat-super-duper bahaya. Sekarang para pengunjung sudah tidak boleh ke sana. Semua orang cuma boleh mengikuti satu-satunya [...]
Selimut Debu 26: Buddha Bertabur Ranjau
Yang tersisa dari peradaban kuno Buddhisme itu adalah rongga raksasa dan gua-gua kosong. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengunjungi Bamiyan bagaikan menyusuri lekuk-lekuk memori. Tiga tahun lalu, berdiri di hadapan patung-patung Buddha puncak peradaban ribuan tahun yang berubah menjadi tumpukan batu hanya dalam semalam, hatiku menangis. Hari ini, tumpukan-tumpukan batu di rongga gunung itu masih seperti dulu. Berbongkah-bongkah, tak beraturan, menjadi saksi kebodohan perang. Sepi, kosong, sementara angin berhembus sepoi-sepoi mengayun-ayunkan rerumputan di lembah hijau. Kesunyian yang berlebihan ini membuatku merinding. Sunyi sesunyi-sunyinya, karena anak-anak masih bersekolah dan para lelaki bekerja di ladang. Tidak ada orang lain di sini, dan aku satu-satunya “turis”. Kesunyian itu sesungguhnya tidaklah total. Semakin aku berjalan mendekat ke arah rongga Buddha raksasa, semakin terlihat banyak pekerja yang sedang sibuk. Para pekerja itu ada dua macam. Yang pertama adalah para pekerja berhelm kuning, seperti para pegawai konstruksi, sibuk hilir mudik di antara patung Buddha Besar (tingginya 55 meter) dan lebih jauh ke arah patung Buddha Kecil (tingginya 38 meter). Kedua gua Buddha raksasa itu (yang saking besarnya aku harus mendongak melihat atapnya) kini sudah dipagari, dan para turis diwajibkan membayar tiket. Aku sendiri kurang tahu soal tiket itu, karena sejauh ini tidak ada staf yang menagih tiket, kantor [...]
Selimut Debu 17: Keajaiban Dunia
Danau mukjizat (AGUSTINUS WIBOWO) “Band-e-Amir adalah salah satu keajaiban dunia. Band-e-Amir sudah berada di atas segala rasa, dialah keindahan sejati.” Begitu sebuah buku panduan wisata kuno Afghanistan terbitan Kabul melukiskan keindahan danau-danau Band-e-Amir. Airnya biru kelam, bagaikan bola mata yang menatap begitu dalam dan misterius. Birunya air ini laksana kristal permata yang berkilauan diterpa sinar mentari di tengah ketandusan. Band-e-Amir berupa kumpulan lima danau berkilauan, terletak 75 kilometer di sebelah barat Bamiyan. Nama Band-e-Amir berarti “Bendungan sang Raja”. Setiap danau dikelilingi oleh tebing tinggi batu-batuan cadas yang membentuk seperti tembok yang membendung air danau. Menurut legenda, batuan-batuan cadas ini adalah mukjizat dari Hazrat Ali (sepupu Nabi Muhammad) yang mendirikan tembok-tembok batuan untuk membendung aliran sungai yang membanjiri negeri. Islam konon masuk ke Lembah Bamiyan setelah kedatangan Ali dan berbagai mukjizat ajaibnya, termasuk membunuh naga raksasa, menciptakan danau, dan mengalahkan raja lalim. Dalam perjalanan menuju Band-e-Amir, kami singgah di sebuah kedai teh, yang dalam bahasa Afghan disebut sebagai chaikhana. Ini adalah tempat penting dalam kehidupan orang Afghan. Mereka melewatkan hari-hari mereka yang panjang di kedai teh. Hari yang baru biasanya diawali dengan sepoci teh jahe plus gula batu atau permen manis yang dikulum di bibir. Secangkir teh hangat juga menyegarkan tenggorokan [...]
Selimut Debu 16: Inisiasi
Bocah-bocah dari negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini, kami resmi menjadi war tourists. Para turis sinting yang tergila-gila dengan eksotisme kehancuran, pertumpahan darah, dan memorabilia perang. Kami mendaki bukit terjal yang menjadi tempat berdirinya patung-patung Buddha. Ada jalan setapak berpasir yang cukup curam, membuatku terpeleset berkali-kali. Tetapi Adam adalah pencinta alam liar, dia pernah mendaki gunung dan mengelilingi Annapurna di deretan pegunungan Himalaya di Nepal, medan seperti ini justru yang dia cari. Apa lagi yang lebih menantang daripada mendaki gunung di negeri perang, yang kita pun tidak tahu mana yang ada ranjau, mana yang aman? Di puncak bukit, bertaburan rongsokan artileri dan tank. Tetapi kengerian ini seakan dilunakkan oleh lembah hijau Bamiyan yang menghampar, menantang tegarnya pegunungan gersang dan cadas. Aku memungut sebuah peluru, dari ratusan yang bertabur begitu saja di tanah. Ukurannya besar-besar, lengkap dengan selongsongnya. “Ambil lagi yang banyak,” Adam tertawa girang. ”Untuk kenang-kenangan dari Afghanistan.” Aku menyimpan peluru itu hati-hati dalam saku, diiring sebuah pertanyaan pragmatis: bagaimana cara menyelundupkan butir peluru sisa perang Afghan dengan aman sampai ke rumah? Kami berdua menyusuri tebing-tebing di sekitar reruntuhan patung Buddha. Kami melupakan pesan orang-orang bijak: jangan sembarangan melangkah di Afghanistan karena ranjau bertebaran di mana-mana. Ah, siapa yang [...]
Selimut Debu 15: Bayang-Bayang Sang Buddha
Seperti baru kemarin saja perang itu berhenti (AGUSTINUS WIBOWO) Berabad silam, negeri ini adalah pusat peradaban Buddha, dengan patung-patung raksasa yang memancarkan kemilau batu mulia. Tetapi, hanya dalam dua tahun yang lalu, puncak peradaban itu menjadi bongkah-bongkah batu tanpa makna. Di hadapan puing-puing reruntuhan, aku merenungkan betapa manusia bisa menjadi begitu kejam dan bodohnya. Aku punya perasaan istimewa terhadap tempat ini. Adalah Bamiyan yang membuatku bermimpi tentang Afghanistan. Suatu hari di dua tahun lalu, siaran berita televisi mengabarkan Taliban akan segera menghancurkan patung Buddha tertinggi di dunia yang terletak di jantung Afghanistan. Ada patung Buddha di negeri Afghan? Aneh juga kedengarannya. Televisi menunjukkan gambar para pelaku, yang menyebut diri sebagai Taliban, berwujud orang-orang berjenggot lebat, berjubah hitam, dan beserban kain hitam panjang menjuntai hingga ke pinggang. Mereka berbicara penuh semangat. Tentang perjuangan, tentang agama, tentang kelaparan dan dunia yang lebih mementingkan patung daripada penderitaan manusia Afghan. Siaran berita televisi itu kemudian menunjukkan gambar tebing cadas sebuah dusun bernama Bamiyan. Cadas itu berdiri tegak lurus. Pada sisinya terdapat dua relung besar dengan dua patung Buddha raksasa berdiri di dalamnya. Patung-patung itu sudah cacat. Kakinya hilang, hidungnya tertebas, wajahnya rusak. Itulah peninggalan peradaban dunia yang masih tersisa di negeri yang hancur lebur. [...]
Garis Batas 15: Tajikistan Sudah Kuat
Pembukaan jembatan Afghanistan – Tajikistan. Tilo dan seorang komandan Tajik bernegosiasi dengan para pejabat Afghan di tengah jembatan. (AGUSTINUS WIBOWO) Impian orang-orang desa, baik di Tajikistan sini maupun di Afghanistan sana, tentang sebuah pertemuan kembali, masih berupa impian. Bazaar bersama yang disambut dengan penuh suka cita itu ternyata hanya buka sekali saja. Jembatan kembali disegel, dijaga ketat oleh penjaga perbatasan yang tak kenal kompromi. Tiga bulan lalu, saya mengintip-ngintip Tajikistan dari seberang sana. Bersama dengan para petinggi Afghan yang penuh dengan mimpi dan harapan. Saya melihat secuil Tajikistan: beberapa tentara Tajik yang dengan fasih berbicara bahasa Persia, menandatangani surat-surat dan mengucapkan selamat kepada Shah dari Panjah. Saya datang kembali ke jembatan ini. Kali ini dari sisi Tajikistan, mengintip-intip Afghanistan yang berupa barisan gunung gundul di seberang sana. Tempat ini sepi. Mati. Tentara perbatasan Tajikistan menjaga rapat-rapat pintu gerbang menuju jembatan. Mereka juga perlahan-lahan dibunuh kesepian dan kebosanan. Tentunya tentara-tentara muda ini datang ke sini bukan karena pilihan mereka. Sebagian besar mereka datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang dari kota modern Dushanbe, ada yang dari kota Khojand jauh di utara sana. Mereka datang ke sini karena terpaksa. Anak-anak muda ini sedang menjalani wajib militer. Di Tajikistan semua pemuda wajib mengikuti [...]
Garis Batas 11: Sarandip=Indonesia?
Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!” kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas. “Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher. Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher. Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan [...]
Media Indonesia (2011): Menelusuri Jalur Para Penakluk
Saya melintasi Khyber Pass tiga kali. Dua kali pertama pada 2002, dari Pakistan menuju Afghanistan, dan berselang tiga minggu sesudahnya, dari Afghanistan kembali ke Pakistan. Hanya setahun setelah rezim Taliban runtuh, Khyber Pass masih menyiratkan nuansa misterius dari negeri yang terus-menerus dilanda perang berkepanjangan.
Jawa Pos (2011): Agustinus Wibowo dan Petualangan Bertahun-tahun di Afghanistan
16 May 2011 Agustinus Wibowo dan Petualangan Bertahun-tahun di Afghanistan Lolos dari Perampokan, Pernah Ditawar Pria Homo Agustinus Wibowo bisa disebut sebagai petualang langka asal Indonesia. Dia menjelajah daratan Asia Tengah, mulai dari Beijing, Tiongkok, hingga Afghanistan. Setiap selesai berpetualang, dia bukukan pengalaman tersebut. ——————————————————- AGUNG PUTU ISKANDAR, Bandung —————————————————— Secara fisik, orang mungkin tidak akan percaya bahwa lelaki yang karib dipanggil Agus ini pernah blusukan ke kampung-kampung di Afghanistan. Tidak tanggung-tanggung, tiga tahun lebih dia tinggal dan berkumpul dengan masyarakat di negara yang dilanda konflik berkepanjangan itu. Tubuhnya kecil dan tampangnya lugu. Kulitnya putih bersih dan tidak ada kesan sebagai petualang di daerah yang banyak terdapat perbukitan dan padang pasir itu. “Saya di Afghanistan sudah biasa setiap hari dengar ada bom. Bahkan, saya pernah tinggal di daerah paling rawan. Malah kalau sehari nggak ada bom, terasa aneh,” kata Agus lantas terkekeh saat ditemui di toko buku Tobucil, Bandung (13/5). Entah, sudah berapa kali Agus pulang ke Indonesia. Setelah petualangan panjang dia pada 2003 dan disambung 2005?2009 berakhir, Agus tinggal di Beijing, Tiongkok. Dia bekerja sebagai [...]
Cosmopolitan Men (2006): Menapaki Sejarah Panjang Negeri Afghan
December 2006 COSMOPOLITAN MEN 2006 ADVENTURE Lintas Tengah Afghanistan: Menapaki Sejarah Panjang Negeri Afghan Sebuah jalan membentang sepanjang 1000 km antara Herat dan Kabul. Jalan ini sepi. Jalan ini bisu. Tapi dia menyimpan lebih banyak cerita dari pendongeng terbaik di dunia. Mari kita berjalan dan mendengar ceritanya. Ada sebuah jalan di Afghanistan. Jalan yang sepi, berteman debu, panas dan matahari. Tanpa aspal, berbukit tandus, bergunung tinggi, tanpa peradaban dan tanpa hidup. Kontras dengan kenyataan bahwa jalan ini menyimpan 800 tahun cerita. Cerita tentang Hulagu Khan yang membawa 120 ribu pasukan dalam perang. Yang bertanggung jawab atas pembunuhan peradaban Islam di Irak. Atau legenda tentang si Pincang Timur Lenk, keturunan marga Khan yang mencoba ulangi kejayaan leluhurnya. Herat, Angin Sejarah yang Berlalu Kota Herat di bagian barat Afghanistan dulunya adalah ibukota kerajaan Timur Lenk. Di kota ini kebudayaan Persia berharmoni dengan indahnya dengan kebudayaan Afghan. Arsitektur Masjid Jum’at-nya, kolosal. Benteng lkhtiyaruddin berdiri dengan angkuhnya di atas pasar-pasar tradisional yang sibuk, yang hampir semua orangnya mengenakan surban. Dinasti-dinasti yang dulu berkuasa di sini banyak membangun menara-menara megah atau kompleks bangunan religius seperti masjid dan madrasah. Namun sayang, perang berkepanjangan sejak zaman Inggris hingga era Taliban telah menghancurkan hampir semua kekayaan Herat. Yang [...]