sejarah
Gerakan politik di Iran selalu tidak terlepas dari seni. Demikian pula dengan gelombang protes besar-besaran yang mengguncang Iran berbulan-bulan pasca kematian Mahsa Amini, perempuan muda 22 tahun yang meninggal setelah ditangkap polisi moral, gara-gara hijab yang dianggap tidak sesuai aturan. Sebuah lagu dinobatkan sebagai “lagu kebangsaan” para demonstran dalam aksi protes menentang pemerintah. Para demonstran Iran serempak menyanyikan lagu ini, baik di Iran maupun di 200 kota di seluruh penjuru dunia, mulai dari London, Paris, Los Angeles, Toronto, Melbourne, hingga Tokyo. Lagu berjudul Baraye ini diciptakan musisi muda Iran, Shervin Hajipour (25). Dia mengumpulkan cuitan para netizen Iran di Twitter mengenai alasan mereka berdemonstrasi menentang pemerintah. Ini berarti, pencipta lagu ini sebenarnya adalah rakyat Iran sendiri. 28 baris dalam lagu ini semuanya diawali kata “baraye”, yang dalam bahasa Persia berarti “untuk” atau “karena”. Ini adalah 28 alasan mereka melakukan protes, kata-kata sederhana yang menggambarkan depresi, luka, dan kemarahan orang Iran. Hajipour menyanyikan sendiri lagu ini diiringi petikan gitarnya, memejamkan mata dan nada sendu yang mengguncang emosi. Dia mengunggah lagu ini di akun Instagram miliknya, langsung viral dengan 40 juta view. Dua hari kemudian, polisi Iran menangkapnya, dan lagu ini dihapus dari akun media sosialnya. Namun, penangkapan itu justru menjadikan Hajipour [...]
Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan
Harian Kompas, 26 Agustus 2021 Oleh AGUSTINUS WIBOWO ”Di sini semua mahal. Yang murah hanya satu: nyawa manusia.” Begitu seorang warga Afghanistan pernah berkata kepada saya tentang situasi negaranya. Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di Afghanistan dari 2007 hingga 2009, saya pernah mengalaminya sendiri. Di Kabul, bom meledak setidaknya sekali dalam dua hari. Orang-orang pun senantiasa dicekam teror berupa hujan roket, perampokan, penculikan, dan pembunuhan. Kenangan itu seperti diputar kembali. Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, 15 Agustus 2021, peristiwa mengejutkan sekaligus menakutkan bagi banyak orang Afghanistan. Ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, berbondong menuju bandara Kabul, satu-satunya jalur tersisa untuk melarikan diri. Isak tangis dan teriakan bertalu-talu dari lautan manusia. Mayat bergelimpangan di bandara, mungkin terinjak-injak atau tertembak tentara. Para lelaki berusaha bergelantungan pada badan pesawat militer AS yang hendak lepas landas. Beberapa dari mereka terjatuh dari pesawat yang mengangkasa. Begitu takut dan putus asanya mereka, hingga nekat melakukan apa pun. Apa pun. Beberapa kawan jurnalis di Kabul dan Mazar-i-Sharif mengatakan, mereka beberapa hari ini belum berani ke luar sama sekali. Mereka khawatir anggota Taliban akan melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah, membunuhi siapa pun yang dianggap musuh. Apakah kemenangan Taliban bisa dianggap kemenangan rakyat Afghanistan mengusir penjajah AS? Atau [...]
Melihatnya dari Sisi Berbeda
Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?
Penodaan Agama: Menista Agama atau Menista Ego?
Pengalaman pertama saya bersinggungan dengan isu penodaan agama adalah pada tahun 2006, ketika saya berada di tengah ribuan demonstran di kota Lahore, yang memprotes pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad S.A.W oleh sebuah koran Denmark. “Ini adalah wujud cinta pada Rasul” tertulis di salah satu poster yang dibawa demonstran. Seorang pemuda yang membawa pentungan berkata pada saya, “Kami mencintai Nabi kami, lebih daripada kami mencintai anak dan orangtua kami sendiri.” Para demonstran menuntut pembuat karikatur dijatuhi hukuman mati, sebagaimana berlaku dalam hukum Pakistan terhadap penghujat Nabi. Semua demonstran yang saya wawancarai mengaku tidak pernah melihat sendiri karikatur itu, tetapi amarah mereka meledak setelah mendengar dari ulama mereka di masjid. Selepas siang, demonstrasi yang dilandasi cinta itu berubah menjadi amuk massa dahsyat. Orang-orang membakar mobil dan sepeda motor di sepanjang jalan. Mereka juga menjarah dan membakar restoran, kantor, toko, dan bank, diiringi seruan memanggil Tuhan Yang Maha Besar. Lebih dari seratus bangunan dan empat ratus kendaraan hancur. Kerusuhan meluas ke kota-kota lain di seluruh negeri. Massa juga membakar gereja, sekolah-sekolah dan rumah-rumah milik warga Kristen di berbagai lokasi di Pakistan, sebagai balasan untuk “penodaan” karikatur Denmark itu. Masih pada saat saya berada di Pakistan, pada akhir 2005, kasus lain yang menggemparkan [...]
Ikan Makan Ikan
Andai saja Republik Maluku Selatan (RMS) berhasil merdeka, Docianus Ony Sahalessy tentunya akan menjadi pahlawan nasional. Dia pencipta lagu kebangsaan RMS, Maluku Tanah Airku. Sepuluh tahun hidup dia bergerilya di hutan-hutan melawan kepungan tentara Indonesia, demi cita-cita tanah air Maluku merdeka. Kini lelaki 78 tahun itu tinggal di Belanda, hidup bersahaja dengan tunjangan sosial minimum dari pemerintah Belanda. Saya menemuinya di kota kecil Assen, di bagian utara Belanda, dalam sebuah rumah perawatan warga lansia. Sudah dua bulan Bung Ony sakit, baru saja menjalani operasi karena kesehatan semakin memburuk di usia senja. Badannya kecil, bungkuk dan ringkih, langkahnya tertatih-tatih. Suaranya terombang-ambing. Matanya menerawang jauh, terkadang berkaca-kaca, ketika saya, yang datang dari negeri yang pernah dia perangi, mengajaknya menyusuri kenangannya tentang tanah air. Maluku, tanah air Bung Ony, adalah untaian pulau-pulau kecil di bagian timur Indonesia. Dikenal sebagai Kepulauan Rempah, Maluku menghasilkan beragam rempah eksotis yang dulu teramat bernilai di Eropa. Maluku menjadi incaran bangsa-bangsa Barat yang menjelajah samudra, mengawali dominasi berabad kolonialisme Belanda di bentangan kepulauan yang kini kita kenal sebagai Indonesia. Belanda kemudian banyak merekrut serdadu dari Maluku Selatan untuk dibawa bertempur dalam pendudukan di pulau-pulau lain di Indonesia. Saat itu Bung Ony masih kecil. Kakeknya adalah mantan serdadu Belanda, [...]
Tersandera oleh Batas
Ketika Wilem Bab, seorang lelaki Papua, menerima bendera merah putih dari sepasukan 50 tentara perbatasan Indonesia yang berpatroli ke kampungnya, dia bingung. Para tentara itu menyuruhnya mengibarkan bendera itu di kampung Digo, karena, mereka bilang, ini tanah Indonesia. Sedangkan Wilem merasa kampungnya itu berada di Papua Nugini. Kampung Digo terletak di tengah hutan rimba pada daerah perbatasan Indonesia—Papua Nugini. Garis perbatasan di ujung timur Indonesia itu adalah garis lurus yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 740 kilometer. Di barat garis adalah Indonesia, di timur garis adalah Papua Nugini. Secara geografis, Digo sebenarnya terletak 5 kilometer di barat garis, yang artinya sudah masuk wilayah Indonesia. Wilem termasuk lelaki tertua di kampung Digo. Orang Melanesia berkulit hitam itu mengaku baru berumur 41 tahun, tetapi kerut-kerut mendalam di wajahnya itu membuatnya terlihat seperti 60 tahun. Kabar Wilem menerima bendera Indonesia itu langsung menyebar ke desa-desa Papua Nugini di sekitar. Ketakutan mencekam: Indonesia akan jajah kita. Mereka marah, mendesak Wilem segera mengembalikan bendera itu ke Indonesia. Perjalanan Wilem menuju pos tentara Indonesia di desa Indonesia terdekat tidaklah mudah. Wilem berjalan kaki dua hari, menginap semalam di hutan rimba, menyeberangi empat sungai kecil plus tiga sungai besar yang deras dan sedalam kepala. Di hutan [...]
Moengo, 17 Desember 2016: Sarijo Moeljoredjo, Imigran Jawa Terakhir di Moengo
Gurat tulang-belulang tampak jelas di sekujur tubuh renta Sarijo Moeljoredjo. Tetapi matanya masih bersinar cemerlang, gerakan tubuhnya cekatan. Pada usia menginjak 96 tahun ini, Mbah Sarijo (baca: Saryo) setiap hari masih bekerja di kebun pisang di belakang rumah. Sehari-hari pun dia kuat bersepeda keliling kota. Tetapi yang luar biasa, ingatannya masih sangat tajam manakala dia mengurai setiap detail perjalanan hidupnya. Dialah orang tertua sekaligus saksi hidup terakhir di kota Moengo, satu dari 32.962 orang Jawa yang pernah diangkut dengan kapal oleh Belanda ke Suriname. “Aku lahir di Desa Puluan,” kata Mbah Sarijo memulai kisahnya, “Itu ada di Negara Jawa. Tetapi aku tak tahu pasti di mana itu.” Mbah Sarijo bercerita dalam bahasa Jawa Ngoko yang kental, bercampur banyak kosakata Belanda dan Sranan Tongo (bahasa kreol Suriname). “Sebelum berangkat, Pak dan Mak-ku pisah, aku ikut Pak, mbakyuku ikut Mak. Pak-ku dulu kerja susah, di kebun, tidak ada kerja, tidak ada uang. Setahun itu kerja cuma tanam tebu dan padi, disuruh Belanda,” lanjutnya. Karena kemiskinan dan impian untuk hidup lebih baik, bapaknya yang bernama Moeljoredjo itu memutuskan untuk menjadi pekerja ke Suriname, dengan membawa istri baru dan anak lelakinya. Berdasar informasi dalam basis data Arsip Nasional Belanda, saya menemukan bahwa Sarijo lahir [...]
Den Haag, 24 November 2016: Djainem Moeridjan, Dukun Jawa di Belanda
Sudah hampir 30 tahun orang Jawa bermigrasi dari Suriname ke Belanda. Seiring waktu, tradisi Jawa semakin memudar, perlahan menghilang. Tidak banyak lagi dukun Jawa yang masih bisa melakukan ritual sebagaimana diwariskan leluhur turun-temurun. Tak heran, walaupun Mak Djainem Moeridjan sudah berusia 83 tahun, dia masih sibuk bepergian dari kota ke kota di seluruh penjuru Belanda untuk memenuhi panggilan. Dengan jadwal praktik yang begitu padat, cukup sulit membuat janji temu dengan Mak Djainem. Beruntung, dengan bantuan Ibu Hariette Mingoen—seorang aktivis diaspora Jawa Suriname, saya berhasil menemui Mak Djainem di kompleks apartemen khusus warga lanjut usia Jawa Suriname yang dinamai Wisma Tunggal Karso. Saya langsung merasakan keramahan khas Jawa begitu Mak Djainem membuka pintu rumahnya—kalimat pertamanya adalah permohonan maaf. “Jangan jadi penggalih kalau rumahku agak kotor,” katanya dalam bahasa Jawa Ngoko yang sangat kental. Kisah hidup Mak Djainem berasal dari tanah Jawa. Ayahnya saat itu masih perjaka, sedangkan ibunya semula adalah seorang istri yang sudah punya anak dua. Pada 15 Oktober 1918, mereka bersama-sama naik Kapal Karimata, sebagaimana hampir 600 penumpang yang lain, berangkat dari Semarang menuju Paramaribo, Suriname. Mereka di kapal yang sama, tetapi tidak saling mengenal. Ayah Mak Djainem sebenarnya bernama Satirin, 21 tahun, berasal dari Ngadiluwih, Kediri, naik kapal [...]
Groningen, 26 November 2016: Kisah Maluku di Negeri Belanda
Lelaki Maluku itu berdiri di atas panggung. Dengan suara bergetar, dia mengisahkan sebuah memori mengerikan tentang pamannya—seorang tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dari Maluku yang ikut aksi militer Belanda tidak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Pamannya itu, saat itu adalah tentara muda berusia 18 tahun yang menjadi anggota korps elit Baret Hijau di bawah komando Raymond Westerling. Soal kekejaman Westerling dalam pembantaian ribuan orang di Sulawesi pada tahun 1946-1947 itu sudah menjadi pengetahuan umum. Pasukan mereka menyerang desa-desa, membunuhi semua yang ada: laki-laki, perempuan, tua, muda, anak dan bayi, bahkan semua ayam dan sapi, dan setelah itu mereka membumihanguskan desa. Sang paman, sebagai tentara yunior, mendapat ujian dari para senior. Di hadapannya satu orang Indonesia duduk berlutut dengan tangan terikat. “Tebas kepalanya!” perintah komandan, sambil menyerahkan kelewang. Tentara muda itu mengacungkan kelewang, tangannya bergetar hebat, tak sanggup dia mengayunkan kelewang itu. Tetapi, dikelilingi para komandan, dia tak punya pilihan. Trauma itu dibawa sang paman hingga ke masa tuanya. Di Belanda, ketika traumanya bangkit, dia berhalusinasi bahwa orang-orang Indonesia datang menyerangnya. Dia berteriak-teriak sendiri di kamar atas, menenggak alkohol, menaruh semua parang di depan pintu. Dia berteriak pada istri dan anak-anaknya, “Jangan naik! Ikan makan ikan!”—saudara bisa bunuh saudara. Ini [...]
Leiden, 20 November 2016: Diaspora Jawa Suriname Menyoal Makna Menjadi Jawa
“Apakah yang menjadikan Anda orang Jawa?” Pertanyaan itu diajukan pembawa acara kepada Johan Reksowidjojo, pemimpin Forum Javanen in Diaspora Nederland (JID-NL), atau Forum Orang Jawa dalam Diaspora di Belanda. Lelaki paruh baya itu terhenyak. Rupanya dia tidak menduga akan ditembak pertanyaan yang menohok itu, tepat setelah dia selesai membacakan sambutan pembukaan pada acara diskusi Identitas Orang Jawa (Suriname): Antara Pelestarian dan Pembaharuan. Merenung sejenak, sambil tertawa terkekeh Johan akhirnya menjawab, dia menjadi Jawa karena orangtuanya adalah orang Jawa, dia makan makanan Jawa, dan dia hidup secara orang Jawa. Tetapi, cukupkah itu untuk membuat seseorang menjadi Jawa? Acara diskusi ini digelar di Museum Volkenkunde, Leiden, dihadiri lima puluhan warga keturunan Jawa Suriname, di samping beberapa orang Belanda berkulit putih. Secara fisik, orang Jawa Suriname sangat mirip dengan orang-orang Jawa di Indonesia. Mereka berkulit cokelat terang hingga cokelat gelap, berpostur relatif pendek, beberapa memakai kopiah atau kebaya. Tetapi bahasa yang digunakan sepanjang acara hampir seluruhnya bahasa Belanda, sesekali diselingi kalimat-kalimat bahasa Jawa. Mereka ada karena migrasi. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai mengirimkan orang-orang Jawa ke Suriname untuk menjadi pekerja di perkebunan. Kebanyakan mereka, laki-laki maupun perempuan, sama sekali tidak tahu akan dibawa ke mana mereka. Mereka ditipu, bahwa mereka akan dibawa [...]
Digo 22 Oktober 2014: Menuju Kamp OPM di Wilayah Indonesia
Tujuan saya datang ke sini adalah untuk mengunjungi sebuah kamp pengungsi OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kamp itu terletak di tengah hutan rimba, dan saya akan harus menyeberangi sungai-sungai yang berbahaya. Lebih aneh lagi, kamp itu ternyata terletak di dalam wilayah Indonesia! Hujan yang mengguyur Tarakbits seharian tak kunjung reda, saya mulai gelisah. Saya tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di desa ini. Tetapi dengan cuaca begini, dan tanpa pemandu, saya tak mungkin bisa mencapai tempat itu. Sore sekitar pukul 15, hujan mengecil, lalu berhenti. Kepala sekolah Stanis Angoro berlari tergopoh-gopoh ke rumahnya—tempat saya menginap—untuk menyuruh saya berkemas. “Cepat, ada dua murid dari desa Binkawuk mau pulang ke desa mereka. Kamu ikut mereka. Sampai di sana, kamu cari orang yang bisa antar kamu sampai ke Digo,” katanya. Binkawuk adalah sebuah desa yang jauh lebih kecil daripada Tarakbits, katanya hanya satu jam perjalanan saja. Tetapi sungguh saya tidak menyangka, perjalanan yang bagi orang-orang sini paling mudah, justru telah membuat saya babak belur. Sekitar sepuluh menit kami berjalan meninggalkan Tarakbits, tiba-tiba hujan turun lagi dengan begitu derasnya. Tanpa payung, saya harus menaruh tas punggung saya di balik jaket. Lagi pula, jalanan di daerah ini berbukit-bukit, mendaki sangat curam lalu turun dengan curam, di [...]
Tarakbits 20 Oktober 2014: Mengungsi demi Merdeka
Meninggalkan Tabubil, saya kembali bergerak ke selatan, menuju sebuah kamp pengungsi OPM yang konon tersembunyi di dalam hutan. Tidak banyak yang saya ketahui tentang kamp terpencil itu, kecuali tentang letaknya yang sangat dekat dengan perbatasan Indonesia. Untuk menuju Digo, saya kembali menyusuri jalan raya Tabubil—Kiunga ke arah selatan. Sekitar separuh perjalanan, saya mesti turun di Ningerum, yang dari sana konon kita bisa berjalan kaki delapan jam termasuk menyeberangi dua sungai untuk sampai desa Tarakbits, dan dari Tarakbits kita bisa berjalan kaki tiga jam untuk sampai ke Digo. Tampaknya tidak terlalu sulit, bukan? Begitu saya sampai di Ningerum, saya mendengar ada perahu yang bisa langsung mencapai Tarakbits melalui jalur sungai. Perahu ini hanya berangkat siang hari, pada Senin, Rabu, dan Jumat, dengan bayaran 30 kina (Rp 150.000) per penumpang. Kebetulan hari ini Senin, dan kalau naik perahu saya bisa menghemat satu hari perjalanan (daripada harus jalan kaki 8 jam ditambah menyeberang dua sungai? No, thanks!). Karena itu, saya langsung menumpang bus lagi, bergerak 2 kilometer ke selatan, menuju tempat berlabuhnya perahu dari Tarakbits. Untunglah perahu itu belum berangkat. Para penumpangnya kebanyakan adalah warga Tarakbits yang datang ke pasar Ningerum untuk berjualan dan berbelanja, lalu pulang pada hari yang sama. Perahu motor [...]
Suki 16 September 2014: Makna Sebuah Kemerdekaan
Hari ini, 39 tahun lalu, kemerdekaan Papua Nugini diproklamasikan. Hari Kemerdekaan, di samping Natal, adalah hari besar terpenting di negara ini. Pesta perayaan digelar di berbagai penjuru negeri, yang menikmati libur panjang mulai dari lima hari hingga dua minggu penuh. Suki adalah sebuah pusat pemerintahan di Distrik Fly Selatan, di mana biasanya perayaan dipusatkan. Suki sebenarnya adalah sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa desa, yaitu Nakaku, Godowa, dan Ewe. Ketiga desa ini terletak di sebuah anak sungai dari Sungai Fly, yang cukup jauh dari aliran sungai utama. Saya sengaja berada di Suki untuk melihat bagaimana kemerdekaan dirayakan di negara muda ini. Walaupun statusnya adalah “pusat pemerintahan”, keadaan Suki sangat mengenaskan. Tidak ada listrik, rumah sakit, sekolah menengah. Suki juga menempati posisi strategis di perbatasan; Indonesia hanya 70 kilometer jauhnya (atau tiga hari berperahu plus jalan kaki plus naik sepeda melibas hutan), tetapi tidak ada satu pun tentara atau polisi di sini. Setidaknya di Godowa ada sebuah menara pemancar sinyal seluler, dan di Nakaku terdapat satu supermarket dan satu toko milik orang China, juga satu kios agen bank tempat warga bisa mengecek rekening dan menarik uang. Desa-desa ini berpencaran di sepanjang sungai yang jernih bertabur teratai, sehingga penduduk harus mengayuh kano [...]
Lewada 12 September 2015: Antara Cerita dan Sejarah
Di utara Lewada, di mulut anak sungai Bituri, tinggallah buaya yang terkenal itu. Sang Buaya Lewada. Seorang pendeta yang beberapa bulan lalu mendayung kano untuk memeriksa jaring yang dipasangnya di tengah sungai untuk menangkap ikan. Itu adalah kano kecil yang hanya muat satu orang. Tiba-tiba, dari belakang, buaya itu melibas punggung si pendeta dengan ekornya yang tajam. Si pendeta jatuh terguling dari kano, tercebur ke sungai. Buaya itu menggigit pendeta pada mata kakinya, menyeretnya lebih dalam ke dalam air. Buaya itu kemudian membawa pendeta itu kembali ke permukaan air, mungkin supaya lebih leluasa memangsa manusia ini. Pada saat itulah pendeta menarik kakinya dari mulut buaya. Kakinya patah, tetapi dia hanya bisa berusaha berenang secepat-cepatnya. Beruntung, ada akar bakau. Dia memanjat sampai ke puncak pohon, bergelayutan di sana, berteriak minta tolong. Buaya itu kemudian pergi. Kejadian lain adalah seorang anak muda yang juga mendayung kano untuk memeriksa jaring. Pemuda itu ingin mencuci kakinya, menurunkan kedua kakinya ke sungai. Sialnya, kedua kaki itu mendarat ke dalam mulut buaya yang sudah menganga di bawah air. Dia langsung tenggelam. Si buaya itu berusaha merobek tubuhnya dengan cakarnya, pemuda itu terluka dari bahu sampai paha. Pada saat itu ada kano lain melintas, pemuda itu selamat. [...]
Beijing 7 Juli 2015: China dan Jalur Sutra
Sebuah catatan dari Visiting Program for Young Sinologists, 7-24 Juli 2015 Ibn Battuta pernah menyusuri Jalur Sutra Laut dari Arab sampai ke Quanzhou di China Orang sering mengaitkan Jalur Sutra dengan peradaban China. Pemerintah China di abad ke-21 ini juga menggalakkan pembangunan “Jalur Sutra Baru”. Tetapi, menurut pakar sejarah Prof. Ge Jianxiong dari Universitas Fudan, dalam sejarahnya China justru lebih banyak mengabaikan Jalur Sutra. Istilah “Jalur Sutra” sendiri tidak pernah ditemukan dalam catatan sejarah China. Istilah ini pertama kali digunakan oleh ahli geografi Jerman pada akhir abad ke-19, Ferdinand von Richtofen, yang menyebut jalur perdagangan sepanjang 6.000 kilometer dari China sampai ke negeri Romawi itu sebagai “Seidenstraße” atau “Jalan Sutra”. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya sebagai “jalur” bukan “jalan”, karena lintasan ini bukan hanya berupa satu jalan melainkan beratus lintasan yang bercabang-cabang. Selain itu, lintasan bukan berupa jalan besar, tetapi kebanyakan berwujud hanya jalan setapak bagi karavan. Setelah orang Barat dan Jepang banyak meneliti sejarah Dunhuang dan daerah-daerah di China Barat yang dilintasi Jalur Sutra, barulah China mulai menaruh perhatian pada Jalur Sutra. Mengapa demikian? Prof. Ge Jianxiong dalam presentasinya kepada kami pada pertemuan Sinologis Muda di Beijing ini menjawab dengan tegas, “Karena di mata China, Jalur Sutra itu tidak [...]
Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang
Khyber Pass yang termashyur (AGUSTINUS WIBOWO) KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”. Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah. Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif. Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang [...]
Titik Nol 205: Pasar Senjata
Pistol yang disamarkan dalam bentuk pena dijual bebas di Darra (AGUSTINUS WIBOWO) Hembusan ganas Afghanistan sudah terendus di Peshawar. Tak lebih dari 40 kilometer sebelah selatan Peshawar, di tengah jalan utama menuju Kohat, terletak desa Darra Adam Khel. Dari luar memang nampak seperti desa Pakistan biasa. Kumuh, semrawut, dan berdebu. Yang tak biasa adalah, desingan tembakan yang tiada henti. Ini adalah tempat di mana segala macam senjata dan bedil dibuat di balik tembok rumah-rumah, dan anak-anak bermain butir-butir peluru menggantikan kelereng. Tak banyak tempat yang benar-benar wild west seperti Darra Adam Khel. Orang-orang bebas membeli dan mencoba segala macam senapan di sini. Mulai dari Kalashnikov, M-16, hingga bolpoint dan tongkat yang bisa menembak. Kakek tua bersurban dan berjenggot putih, keluar dari sebuah toko dengan senyum. Kemudian dia menembakkan M-16 nya ke udara. Tiga tembakan. Nampaknya dia cukup puas dengan bedil barunya. Langit Darra dipenuhi suara-suara tembakan yang menyalak-nyalak tanpa henti. Saya dikejutkan lebih dari sepuluh kali ketika menyeruput segelas teh panas di kedai. Hati saya penuh tanda tanya, ke mana jatuhnya peluru yang ditembakkan tegak lurus ke atas? Sesuai prinsip gravitasi, peluru itu pasti akan jatuh lagi ke bumi. Adakah dia jatuh kembali kepada si penembaknya? Atau nyasar menembus atap [...]
Titik Nol 192: Padang Pasir
Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO) Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot. “Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot. Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar. Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram. Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. [...]
Titik Nol 191: Little India
Para pemuja dewa di Shiva Mandir (AGUSTINUS WIBOWO) Harum dupa semerbak mengisi ruangan. Mantra bermelodi terus mengalir dari mulut pandit, yang membawa nampan dan lilin. Tiga orang umat di belakangnya, ikut mengiringi mantra. Dentingan lonceng mungil bergemerincing, menambah daya magis lantunan mantra-mantra. Di hadapan mereka, sebuah patung biru berdiri gagah. Tangannya banyak, masing-masing memegang senjata dan menjambak kepala-kepala manusia. Di lehernya tergantung kalung dari untaian tengkorak. Lidahnya terjulur, merah membara. Tetapi di balik semua deskripsi seram itu, sepasang mata indah memancarkan kewelasasihan. Ini adalah patung Dewi Kali, pasangan Sang Dewa Syiwa. Mantra terus mengalir memanjatkan puja dan puji, ritual rutin setiap pagi di Shiv Mandir, Kuil Syiwa. Ini bukan India. Ini adalah Umerkot, kota terakhir Pakistan di tepian padang pasir Thar yang luas menghampar. Hiruk pikuknya Umerkot, dengan gang-gang sempit yang berkelok-kelok ruwet seperti benang kusut, diiringi dentuman lagu-lagu Bollywood yang menyalak tiada henti dari tape kuno, dihiasi warna-warni indah dari kuil-kuil Hindu yang bertebaran, dipenuhi percakapan yang tak lupa menyebut kebesaran Syiwa, Brahma, dan Wishnu, memang membuat saya sejenak merasa diterbangkan ke India. Umerkot adalah tempat yang unik di Pakistan. Mayoritas penduduknya Hindu, tersembunyi di pedalaman Republik Islam.. Kota ini didirikan oleh seorang Hindu, Amer Singh, yang menjadi ihwal [...]
Titik Nol 186: Anak Muda
Punjab, ‘lima sungai’, adalah propinsi tersubur di Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Dari sekadar berkenalan di terminal bus, sekarang pemuda ini sudah mengajak saya menginap di rumahnya di Bahawalpur. Namanya Amir. Tinggi, gagah, berpostur seperti tentara, dan berkulit gelap. Tak bisa bahasa Inggris. Kalau berbicara bahasa Urdu, setiap kalimat hampir selalu diakhiri kata matlab, yang artinya adalah ‘yang artinya’, seolah-olah setiap kalimatnya terlalu susah dimengerti dan pendengar harus selalu butuh penjelasan lebih lanjut. Sehari-hari ia bicara bahasa Siraiki, yang menjadi bahasa daerah di Punjab selatan. “Kamu harus belajar bahasa Siraiki, matlab bahasa ini sangat indah dan lucu,” demikian sarannya. Rumah Amir terletak di daerah Model Town, sebuah perumahan baru di pinggiran kota kuno Bahawalpur. Dulu Bahawalpur adalah kerajaan semi merdeka, dipimpin oleh seorang Nawab. Nawab Bahadur memutuskan untuk bergabung bersama Pakistan pada tahun 1947, dan tahun 1955 kerajaannya lenyap, melebur dalam Propinsi Pakistan Barat. Sekarang, Bahawalpur adalah bagian propinsi Punjab yang menampilkan khasanah kekayaan dan kejayaannya. Bahawalpur tentu pernah menjadi tempat yang sangat makmur. Bukan hanya istana milik Nawab yang masih megah berdiri, tetapi juga benteng besar di tengah padang gurun Cholistan yang menunjukkan betapa gagahnya negeri ini dulu. Setelah sekian lama berada di bawah panji-panji Pakistan, Bahawalpur mulai menunjukkan benih-benih kesemrawutan [...]