Recommended

Pakistan

#1Pic1Day: Pakistan Streets #5 (Rawalpindi, 2006)

  Pakistan Streets #5 (Rawalpindi, 2006) Physical interaction between Pakistani men is quite intense compared to it is in most countries. But physical interaction between opposite sexes is not visible on the streets and other public space. Jalanan Pakistan #5 (Rawalpindi, 2006) Interaksi fisik antar lelaki di Pakistan sangat intens dibandingkan di kebanyakan negara. Tetapi interaksi antara lelaki dan perempuan tidak terlihat sama sekali di jalanan dan tempat umum lainnya.     [...]

December 27, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pakistan Streets #4 (Lahore, 2006)

  Pakistan Streets #4 (Lahore, 2006) Tasty street food is a highlight of the alleys of Lahore old town. Jalanan Pakistan #4 (Lahore, 2006) Kudapan pinggir jalan yang lezat adalah daya tarik utama di jalanan kota tua Lahore.     [...]

December 26, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pakistan Streets #3 (Rawalpindi, 2006)

  Pakistan Streets #3 (Rawalpindi, 2006) Workers in busy bazaar of Rawalpindi have some tea and chit-chat before the working hours. Jalanan Pakistan #3 (Rawalpindi, 2006) Para kuli di bazaar ramai Rawalpindi sedang bersarapan dengan minum teh dan mengobrol sebelum memulai pekerjaan.   [...]

December 25, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pakistan Streets #2 (Lahore, 2006)

  Pakistan Streets #2 (Lahore, 2006) Open massage service appears on Lahore streets before the sunsets, just when the heat starts to be bearable for people to lay on the streets. Jalanan Pakistan #2 (Lahore, 2006) Layanan pijat di jalan terbuka mulai ramai di Lahore saat sore hari menjelang matahari terbenam, yaitu saat ketika panas yang membakar mulai berkurang hingga cukup nyaman buat orang-orang untuk berbaring di atas jalan. [...]

December 24, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pakistan Streets #1 (Lahore, 2006)

  Pakistan Streets #1 (Lahore, 2006) Monkey street show attracts crowds on a Lahore street. Jalanan Pakistan #1 (Lahore, 2006) Pertunjukan topeng monyet mengundang kerumunan ramai di jalanan [...]

December 23, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 21: Agama di Garis Batas

Tasku jebol setelah perjalanan panjang ini, dan tukang reparasi sepatu di perbatasan Pakistan ini begitu piawai memperbaikinya (AGUSTINUS WIBOWO) Di Pakistan, aku sungguh disadarkan bagaimana cara Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Bus yang semestinya aku tumpangi kemarin kalau tidak bangun kesiangan di Kabul, ternyata mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang saat melintasi jalan pegunungan Karakoram Highway yang berbahaya. Ada penumpang yang tewas, untungnya aku tidak jadi menumpang bus itu. Penumpang di sampingku adalah seorang pelajar berusia 17 tahun (walaupun wajahnya kelihatan seperti 30 tahun lebih), orang Pathan/Pashtun dan mengaku pernah ke Afghanistan. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Katanya, zaman Taliban dulu mereka tidak perlu pakai paspor untuk pergi ke Afghanistan, karena berewok sudah cukup sebagai paspor. Di zaman Taliban, hukum sangat keras, mereka memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri, potong lengan bagi perempuan yang kelihatan auratnya, atau hukuman mati bagi pembunuh jika keluarga korban tidak mau mengampuni. Kesalahan Taliban, menurutnya, adalah mereka menerapkan hukum Islam secara ekstrem dan sangat mendadak, tidak melalui tahapan-tahapan. Akibatnya, mereka tidak didukung sebagian besar orang Afghan. Hanya saja selama masa Taliban, Afghanistan jauh lebih aman dan stabil. Dia pun tak habis pikir mengapa Amerika menyerang Taliban. Toh bukan Taliban yang menghancurkan WTC? Osama, tokoh utama dalam cerita ini, [...]

November 25, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 19: Beda Negara Beda Nasib

Birokrasi di negeri yang hancur lebur juga membuat kami hancur lebur. (AGUSTINUS WIBOWO) Pergilah ke jalanmu. Go your way adalah kalimat khas yang diucapkan diplomat Pakistan. Seperti doanya, sekarang aku benar-benar go my way, kembali ke Kedutaan Pakistan demi selembar visa. Membaca kekhawatiranku mengenai visa Pakistan, Pak Kasim dari Kedutaan Indonesia berusaha menenangkan. “Jangan khawatir,” ujarnya, “kita akan berusaha yang terbaik.” Aku diajaknya melintasi gedung kedutaan yang begitu luas dan berlantai marmer (mirip museum barang-barang ukiran dan lukisan tradisional Indonesia) dan sudah beberapa kali direnovasi berkat terjangan roket dan peluru nyasar, melongok sebentar ke lapangan tenis dan kebun buah, lalu ke halaman belakang tempat jajaran empat mobil diparkir, lalu mempersilakan aku duduk di bangku depan salah satu mobil, sementara dia menyetir melintasi jalanan panas dan berdebu kota Kabul. Aku yang sejam lalu bahkan tidak tahu harus ke mana, kini sudah duduk di bangku paling terhormat di mobil kedutaan. Pak Kasim, lelaki Indonesia yang baru kutemui hari ini, begitu penuh semangat membantu hanya karena kami adalah saudara sebangsa. Benar saja, kedutaan Pakistan sudah tutup. Tetapi dengan identitas Pak Kasim, para bodyguard penjaga gerbang memberikan kami jalan, langsung meluncur ke kantor visa. Lelaki tinggi berkumis yang sama masih ada di ruang itu. [...]

November 21, 2013 // 6 Comments

Selimut Debu 18: Setumpuk Masalah

Meninggalkan Kabul, menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Ya, ini memang mimpi. Dan sudah saatnya sekarang aku bangun dari mimpi. Liburan musim panas yang cuma enam minggu ini terlalu singkat, sama sekali tidak cukup untukku mengenal negeri Afghan. Masih begitu banyak pertanyaan tak terjawab, misteri tak tersingkap, kerinduan terpendam. Tapi, setiap perjalanan harus ada akhirnya. Sering kali, akhir yang tidak diundang justru membuat rasa kita semakin dalam. Saat kami kembali ke Kabul, tujuan pertama yang kami datangi adalah kedutaan Pakistan. Aku harus melewati Pakistan untuk kembali ke China, sedangkan Adam meninggalkan ranselnya di penginapan di Peshawar karena enggan membawa terlalu banyak barang ke Afghanistan. Masalahnya, kami berdua sama-sama tidak punya visa ke Pakistan. Kesalahan utama kami adalah, menganggap visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih ditulis tangan dengan lem yang mudah copot itu semudah dan sesimpel kualitas kertasnya. Lelaki berkumis, langsing dan tinggi, menyambut kami di sebuah kantor sempit di Kedutaan Pakistan yang dikelilingi tembok tebal tak bersahabat. Kami dipersilakan duduk, mengisi formulir, dan menunggunya mewawancara (atau mungkin berbincang?) dengan satu per satu para pemohon visa. Kami para pemohon visa duduk di bangku-bangku yang merapat di tembok ruangan kantor membentuk huruf U. Lelaki itu berdiri di tengah, lalu berjalan ke masing-masing bangku, [...]

November 20, 2013 // 0 Comments

#1Pic1Day: Timbangan Mini | Little Scale (Lahore, Pakistan, 2006)

Little Scale (Lahore, Pakistan, 2006) Waseed is an 11-year-old Pathan boy from Peshawar who survives on Lahore streets by offering weighing service to passers-by. From every customers on his little weight scale, he earns Rs2. Pakistan is among world’s top in term of number of children living on streets, and young boys like Waseed are vulnerable to physical and sexual abuse. Timbangan Mini (Lahore, Pakistan, 2006) Waseed adalah bocah Pathan berusia 11 tahun dari Peshawar yang bertahan hidup di jalanan Lahore dengan menawarkan jasa menimbang badan untuk pejalan kaki yang melintas. Dari setiap orang yang menggunakan jasa timbangan kecilnya, Waseed mendapatkan 2 Rupee. Pakistan termasuk negara dengan jumlah anak jalanan terbanyak di dunia, dan bocah-bocah kecil seperti Waseed menghadapi risiko tinggi terhadap kekerasan fisik maupun seksual.       [...]

November 14, 2013 // 11 Comments

#1Pic1Day: Anak Jalanan | Street Boys (Punjab, Pakistan, 2006)

Street Boys (Punjab, Pakistan, 2006) Pakistan is among the countries with highest number of underage workers. The two Pathan boys left their hometown, hundreds of kilometers away, and survive on the streets of Punjab by offering snacks in bus stations. Anak Jalanan (Punjab, Pakistan, 2006) Pakistan termasuk negara dengan jumlah pekerja anak terbanyak di dunia. Dua bocah Pathan ini misalnya, meninggalkan kampung halaman mereka yang ratusan kilometer jauhnya, untuk bertahan hidup di kerasnya jalanan Punjab dengan menjual makanan kecil di terminal bus.     [...]

November 13, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO) Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal. Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir. Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu. Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku. Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! [...]

November 13, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Bedil di Sana, Bedil di Sini | Gun No Roses (Peshawar, Pakistan, 2006)

Gun No Roses (Peshawar, Pakistan, 2006) Guns, violence, and masculinity dominate local films played in a cinema of Peshawar, western Pakistan. Bedil di Sana, Bedil di Sini (Peshawar, Pakistan, 2006) Senjata, kekerasan, dan maskulinitas mendominasi film-film lokal Pakistan yang diputar di sebuah bioskop di Peshawar, Pakistan Barat   [...]

November 12, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan melintasi jalan berdebu ini begitu lambat, sangat lambat. Seperti halnya negeri ini yang begitu perlahan, sangat perlahan, menyingkap kembali cadar pekat yang menutupi wajahnya setelah 30 tahun diamuk perang melawan Soviet, perang sipil antara suku-suku, perang antara Mujahiddin dan Taliban. Pemandangan di luar, gunung-gunung tandus yang sesekali diselingi lembah-lembah hijau, mengingatkanku pada film-film aksi Amerika tentang perang Afghanistan. Dan kini layar film yang datar itu berubah menjadi pemandangan tiga dimensi di sini. Mobil berhenti di tepian jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Di bawah teduhnya pepohonan, nampak barisan tenda-tenda pedagang buah-buahan. Kami sudah memasuki daerah Jalalabad yang memang terkenal dengan buahnya. Seorang penumpang, kakek tua berjanggut putih beserban putih, turun membeli beberapa melon. Saat kakek itu menggendong melon-melon besar menyeberang jalan, aku menjepretkan kamera. Dia terkejut, buah-buahan yang semula aman dalam dekapannya, tiba-tiba menggelinding di jalan raya itu. Untungnya dia tidak marah, malah tersenyum tipis di balik lapisan jenggotnya itu. Setetes keringat dingin sempat mengalir di keningku, khawatir berbuat salah di negeri yang katanya penuh darah ini. Alunan lagu Afghani mengalir dengan gempitanya dari tape usang falangkoch, diiringi dendang yang membawa suasana ke alam gurun Timur Tengah. [...]

November 12, 2013 // 5 Comments

#1Pic1Day: Pencari Kerja | Job Seekers (Rawalpindi, Pakistan, 2006)

Job Seekers (Rawalpindi, Pakistan, 2006) Since early morning, daily job seekers wait for opportunity of the day on the busy main streets of Rawalpindi, Pakistan. Pencari Kerja (Rawalpindi, Pakistan, 2006) Sejak pagi buta, para pencari kerja harian telah duduk di jalanan utama yang sibuk kota Rawalpindi, Pakistan, menantikan kesempatan dan peruntungan mereka di hari itu. [...]

November 11, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul. Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!” Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu. Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, [...]

November 11, 2013 // 3 Comments

#1Pic1Day: Desa Hantu | Ghost Town (Hunza, Pakistan, 2006)

Ghost Town (Hunza, Pakistan, 2006) Duykhar, a village on the top of hills watching over the Hunza valley, is a green and busy village in summer. People come here to cultivate the land, and hotels are full of visitors. The area is called as Eagle’s Nest, from where people can view the whole valley, as an eagle in its nest. But in winter, the village turned to a ghost town. The wind is very harsh and the temperature is much lower than normal, plus no electricity and no business from tourism. The dire situation forces the inhabitants to move to their warmer homes downhill. The houses are covered by thick snow, and practically it’s a ghost town. Desa Hantu (Hunza, Pakistan, 2006) Duykhar adalah desa di puncak bukit yang memandang langsung ke Lembah Hunza. Desa ini hijau dan sibuk di musim panas. Penduduk sibuk mengolah kebun dan hotel-hotel dipenuhi turis. Daerah ini dikenal sebagai Sarang Elang, dan dari sinilah pengunjung bisa memandang keseluruhan lembah, seperti elang yang melihat dari sarangnya. Tetapi di musim dingin, desa ini berubah menjadi seperti kota hantu. Angin dingin menerjang, suhu jauh di bawah normal, ditambah lagi dengan ketiadaan listrik dan turis. Karena itulah penduduk biasanya [...]

November 8, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 10: Makhluk Asing

Pemandangan pertama negeri Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Detik-detik menuju Afghanistan semakin dekat. Di ruang pemeriksaan paspor, setumpuk paspor hijau Korea Selatan tiba-tiba menyeruak, dibawa seorang pria yang kucurigai sebagai pemandu wisata. Di luar tampak beberapa pemuda dan pemudi Korea yang cekikikan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. Tak kusangka, rombongan turis pun sudah sampai ke Afghanistan. Entah berapa lama lagi perjalanan ke Afghanistan masih layak disebut sebagai petualangan, sebelum negeri yang eksotik ini disulap menjadi taman hiburan Disneyland Edisi Zona Perang bagi turis-turis asing. Adam dan aku melangkah menuju gerbang besar Afghanistan. Berbeda dengan Pakistan, tidak nampak tulisan “Welcome to Afghanistan” di sini. Atau mungkin saja ada, tapi dalam huruf Arab yang tidak bisa kubaca. Kami berjalan bersama seorang pria Afghan bertubuh subur, dengan bahasa Inggris yang fasih. Rupanya dia adalah penerjemah untuk kantor berita Fox. “Kamu tahu, Fox itu memang persis seperti fox, mereka selicik rubah,” bisik Adam kepadaku, ketika pria itu tak hentinya menceritakan tentang pekerjaannya, kekayaannya, gajinya yang fantastis, … sungguh ironi dengan kemelaratan negara yang habis dihajar perang berpuluh-puluh tahun. Memasuki Afghanistan, jarum jam seperti diputar mundur lima puluh tahun. Kekacauan yang balau, hiruk yang pikuk. Orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang berbongkah-bongkah. Wanita-wanita [...]

November 8, 2013 // 3 Comments

#1Pic1Day: Gunung Katedral | The Cathedral (Gojal, Pakistan, 2006)

The Cathedral  (Gojal, Pakistan, 2006) The extremely rugged mountains of Tupopdan, nearby Passu, in Gojal area are also known as “The Cathedral”. Gunung Katedral (Gojal, Pakistan, 2006) Puncak-puncak gunung lancip di dekat Passu di Pakistan Utara ini dikenal sebagai “katedral” karena bentuknya yang [...]

November 7, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 9: Kalashnikov

Gerbang Khyber yang termasyhur itu (AGUSTINUS WIBOWO) Dari balik jendela taksi ini, aku berusaha mengamati keliaran tribal area. Sekilas mata, semuanya nampak begitu normal dari sini. Pria-pria berjalan hilir mudik di pasar, atau perempuan-perempuan bercadar dan berjubah hitam-hitam yang berjalan cepat-cepat di belakang sang suami. Anak kecil yang menangis minta dibelikan sesuatu, sedangkan sang bunda sama sekali tak menghiraukannya. Semuanya nampak sama seperti kota Pakistan lainnya, atau paling tidak, sama seperti Peshawar tanpa bangunan-bangunan modernnya. Tidak tampak sama sekali kengerian tribal area yang tersohor itu, kengerian tentang tembakan-tembakan berdesingan. Mungkin karena aku hanya seorang musafir, yang hanya melintas beberapa menit dan memandang dari balik jendela. Seorang musafir, yang tidak mampu dan tidak berkesempatan merasakan hembusan nafas dan dengusan hidup mereka. Taksi kuning kami pun melintasi Baab-i-Khyber, sebuah gerbang megah yang dibangun untuk menandai tempat bersejarah ini. Nama Khyber, sejak zaman dahulu sudah menjadi momok bagi semua orang. Sudah tak terhitung berapa banyak pertumpahan darah yang dimulai dari sini. Celah Khyber adalah jalur transportasi dan militer penting yang menghubungkan negeri Barat dengan Asia Selatan. Barisan tentara berbagai bangsa yang menyerang India (termasuk juga Pakistan saat itu) pun melintas dari sini, yang kemudian membawa penderitaan berkepanjangan dan pembantaian atas nama agama. Di [...]

November 7, 2013 // 1 Comment

1 7 8 9 10 11 15