tradisi
Selamat datang di negeri sutra (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menghela nafas lega ketika berhasil melepaskan diri dari Halim, yang masih ingin terus menempel ke mana pun saya pergi. Tetapi, petualangan kemarin ke kantor polisi cukup sudah, dan saya tidak mau setiap malam harus tidur merangkul erat-erat tas kamera. Akhirnya Halim hanya minta 5.000 Sum untuk ongkos pulang, dan pergi dengan tertunduk lesu. Masih dengan jantung yang berdebar-debar, saya memutuskan melanjutkan perjalanan untuk menemukan apa yang saya cari-cari selama ini. Kota Ferghana adalah kota besar di seluruh Lembah Ferghana, dengan barisan gedung yang semuanya berbentuk kotak, di pinggir jalan yang diteduhi pohon-pohon rindang. Tetapi Lembah Ferghana, bukan hanya kota Ferghana. Orang yang datang ke sini pasti bertanya-tanya, “Mana lembahnya?” Sejauh mata memandang, ke segala penjuru, tak tampak sama sekali gunung apa pun. Lembah ini luas sekali, sampai 22 ribu kilometer persegi, sampai orang pun lupa berada di lembah. Kota-kota berdiri di dasar lembah, mulai dari Margilan kota Sutra, Andijan tempat lahirnya Raja Babur, hingga Kokand kesultanan agung Asia Tengah, semakin menyemarakkan lintasan sejarah Uzbekistan. Lembah Ferghana ini adalah salah satu perhentian utama di zaman Jalan Sutra, oasis bagi karavan-karavan unta berduyun-duyun melintasi gunung-gunung surgawi, barisan Pegunungan Tien Shan dan Pamir, membawa segala [...]
Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara
Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)) Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan. Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek [...]
Garis Batas 54: Bairam, Sinterklas, dan Saddam Hussain
Salat Ied di Masjid Bukhara Salat Ied di Masjid Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO) Apa hubungannya? Ketiganya ada di Bukhara, kota kuno di barat Uzbekistan, pada perayaan Idul Qurban. Siapa yang tak kenal nama Bukhara, kota pusat peradaban Islam di Asia Tengah ini? Nama besar Imam Bukhari dan Ibnu Sino tak pernah lepas dari taburan masjid dan madrasah di kota kuno ini. Tak salah memang jika saya datang ke Bukhara untuk merayakan Idul Kurban. “Jangan lupa besok, datang ke rumah ya. Besok, bairam,” kata seorang nenek Tajik penjual pakaian tradisional di salah satu bangunan kuno. Bairam, dalam bahasa Tajik dan Uzbek, artinya perayaan. Segala macam perayaan besar bisa disebut bairam. Belakangan ini memang banyak perayaan. Idul Kurban datang hampir bersamaan dengan Tahun Baru. Dalam sekejap harga angkutan naik tak terkira. Saya datang ke Masjid Kalon, masjid besar Bukhara, pagi-pagi buta. Semalaman salju mengguyur kota ini, menyelimuti semua permukaan tanah dengan lapisan putih bersih. Gedung-gedung kuno yang sambung menyambung di seluruh Bukhara seolah menggiring saya ke masa lalu. Berdiri di depan Masjid Kalon yang gagah saya terpukau oleh keagungannya yang terpancar dalam keheningan. Dalam keheningan subuh ini, di bawah rintik-rintik salju, saya membayangkan Imam Bukhari dan Ibnu Sina sedang [...]
Garis Batas 52: Asyiknya Belajar Bahasa Indonesia
Pelajar bahasa Indonesia di Tashkent (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya tari-tarian Indonesia yang ikut menyemarakkan keindahan khasanah budaya Uzbekistan, orang-orang Uzbek pun mulai belajar bahasa nasional kita. Gedung yang terletak di jantung kota Tashkent ini bernama Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sinilah Temur Mirzaev, mahasiswa asal Lembah Ferghana berusia 20 tahun, mendalami Bahasa Indonesia. Temur boleh dikata adalah mahasiswa yang kemampuan bahasa Indonesianya paling menonjol diantara mahasiswa lainnya. Selain menjadi yang terbaik di sekolahnya, ia juga berhasil mendapat beasiswa satu tahun belajar Bahasa Indonesia di Surabaya, mengikuti program Dharmasiswa yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui KBRI. Tak heran dia sama sekali tidak kesulitan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan saya. Bahkan ia sesekali menggunakan kata-kata bahasa gaul yang otentik, seperti cuek, curhat, nih, dong, deh. “Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,” kata Temur bercerita, “saya suka kulturnya, budayanya, alamnya…” Kebetulan nama Temur, dibaca ‘Timur’, pas sekali dengan propinsi Jawa Timur. Di Surabaya Temur tinggal di kost-kostan di tengah gang kampung dan sempat menghadiri acara pernikahan tradisional Jawa Timuran di Kediri. Temur pun terbiasa makan nasi putih, mie instan, dan menjalani kehidupan kampung. Mungkin karena kenang-kenangannya akan Surabaya dan Indonesia, ia menjuluki saya ‘Mas Jagoan’. [...]
Garis Batas 32: Nikah ala Kirghiz
Bersulang anggur (AGUSTINUS WIBOWO) Betapa saya hampir menangis, ketika saya mendapatkan paspor saya yang hilang masih disimpan dengan rapi oleh gadis penjaga kserokopia. Moken yang dengan sabar menunggu di rumah ikut tertawa bahagia. Masalah paspor saya yang hilang, seperti garam yang dituang ke lautan, hanya menambah kesibukan keluarga Moken yang sudah teramat sangat sibuk. Anak Moken yang paling besar, Timur, akan menikah dengan Zarina. Keduanya masih belum 20 tahun. Zarina, si gadis Kirghiz yang ayu itu, sudah sejak sebulan ini tinggal di rumah Moken bersama Timur. Akad nikah sebenarnya sudah dilaksanakan jauh sebelumnya. Hanya kurang resepsinya saja, yang juga harus menunggu hari baik tanggal baik. Rumah Moken sudah kebanjiran tamu sejak seminggu ini. Kebanyakan sanak saudara, yang hubungan persaudaraannya rumit sekali. Di Kyrgyzstan, arti keluarga sangat penting. Dalam bahasa Kirghiz, untuk menyebut ‘paman’ dan ‘bibi’ saja banyak sekali istilahnya. Kayanya kosa kata dalam pertalian kekeluargaan menunjukkan kuatnya ikatan persaudaraan dalam kultur bangsa ini. Dari Toktogul berdatangan sanak saudara Moken, yang biarpun dijelaskan hubungannya, saya susah sekali mengerti. Ada kakek Moken yang sudah tua sekali, namun masih sangat sehat, berjenggot putih dan bertopi bulu. Benar-benar seorang aksakal dalam arti yang sebenarnya. Orang Kirghiz menyebut kakek tua yang dihormati sebagai aksakal, yang [...]
Garis Batas 31: Berakhir di Sini
Pusat kota Bishkek (AGUSTINUS WIBOWO) Anak Satina satu-satunya, Maksat, yang dulu selalu menemani ibunya di Toktogul, sekarang sudah jadi mahasiswa tingkat pertama di ibu kota Bishkek. Satina menganjurkan saya untuk mengontak Maksat kalau ke Bishkek nanti. Kebetulan sekali, di malam ketika saya hendak meninggalkan Toktogul, bapak angkat Maksat datang dari Bishkek. Namanya Moken. Kata Satina, orangnya baik sekali. Siapa Toktogulduk, orang Toktogul, yang tak kenal Moken? Sekarang Maksat menumpang gratis di rumah Moken di Bishkek. Belakangan saya tahu bahwa Moken bekerja sebagai supir taksi. Di Kyrgyzstan, seperti halnya Tajikistan, supir taksi termasuk pekerjaan yang menjamin cemerlangnya masa depan. Saya menumpang mobil Moken langsung ke Bishkek. Jalan dari Toktogul ke arah utara melewati gunung-gunung tinggi. Kendaraan umum yang boleh melintas cuma taksi. Bus besar dilarang lewat sini sejak kejadian bus yang mengangkut para pedagang Uyghur dari China terguling dan menewaskan banyak orang, beberapa tahun lalu. Mobil Moken termasuk mewah. Badannya panjang dan kursinya lebar. Saking nyamannya mobil ini, saya ketiduran terus sepanjang perjalanan sampai ke Bishkek. Rumah Moken terletak di perumahan Ala Too di pinggiran kota Bishkek. Maksat, yang masih mengenali saya, sangat terkejut dengan kedatangan saya yang tiba-tiba bersama bapak angkatnya. Maksat langsung menggiring saya ke ruang tamu, menyiapkan makan [...]
Garis Batas 25: Kota Kuno
Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO) Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan. Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia [...]
National Geographic Traveler Indonesia (2012): Menapak Jejak Shaman Mongolia
KAMI MENUJU TAIGA untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tentang shamanisme atau perdukunan di Mongolia yang selama ini memenuhi benak saya: Masih adakah shamanisme di zaman ini setelah puluhan tahun komunisme memberangus praktik-praktik kuno? Ketika para nomad Mongol sudah bertelepon genggam dan menetap di kota? Ketika internet sudah merambah? Ketika dokter dan obat sudah menggantikan jampi-jampi untuk menyembuhkan penyakit? Di Mongolia, shamanisme adalah jalan hidup utama jauh sebelum datangnya agama-agama. Kepercayaan dan ritual shamanisme menjadikan kultur negeri misterius ini begitu “eksotis.”
U-Mag (2010): Burkutchu-Si Pemburu Elang
Maret 2010: U-MAG Travel Wajah Mongolia ini barangkali jauh dari bayangan banyak orang, tatkala Agustinus Wibowo merekamnya pada musim gugur lalu: sabana hijau beralih menjadi samudra salju, dan para pengelana berpindah dari kemah nomaden ke gubuk-gubuk kayu agar lebih hangat. Inilah negeri tempat tradisi ribuan tahun tetap hidup dengan jaya di dalam diri para pemburu serta elangelang raksasa yang merajai angkasa raya. Musim panas lewat diam-diam, meninggalkan jejak di padang rumput yang cokelat kekuningan. Mongolia—yang terkungkung di tengah daratan mahaluas—tiba-tiba sunyi dari hiruk-pikuk para pelancong. Semua wisatawan bergegas meninggalkan negeri itu di ambang musim gugur. Hawa dingin menjalar cepat dan sungguh tak bersahabat. Salju melumat seluruh negeri sejak pertengahan September. Suhu anjlok dari hari ke hari. Kehijauan padang rumput beralih menjadi samudra putih yang menggentarkan hati. Mongolia adalah tanah yang ramah, hangat, dan indah pada Juni hingga Agustus. Di musim panas singkat ini, matahari terbit di waktu subuh, bersinar terik sepanjang hari, dan terbenam menjelang tengah malam. Tapi musim gugur datang terlalu cepat, sebelum orang tanak menikmati sinar surya. Angin dingin dan salju September hanyalah ”pembuka” sebelum Mongolia mengarungi hari-hari dengan temperatur jauh lebih ganas: bisa minus 60 derajat Celsius. Embusan napas langsung menjadi es, darah membeku, pembuluh perih [...]
U-Mag (2008): Tulip Merah di Hari Baru
June 2008 U-Mag Travel TULIP MERAH DI HARI BARU Teks dan Foto: Agustinus Wibowo “Biya ke berim ba Mazar…. Mulla Muhammad jan,” lagu rakyat Afghan itu mendayu perlahan-lahan, mengajak semua orang pergi ke kota suci Mazar-e-Sharif. Di sana ada tulip merah merekah, makam suci bertasbih mukjizat, ada semangat Afghan yang menggelora. Di sana ada Singa Allah, raja umat manusia. Di sana, kita menyambut datangnya Hari Baru ketika salju mencair, angin dingin mereda, dan padang rumput menghijau… Naw Ruz Inilah Afghanistan, negeri yang tersembunyi di alam mimpi. Namanya lebih kerap menyiratkan kekerasan, perang, dan maut. Tetapi di sinilah sesungguhnya peradaban mulai berayun. Kota-kota kuno tegak, kejayaan masa lalu berpendar, kehidupan spiritual berbaur dengan adat dan embusan nafas penduduk. Zaman berganti, Afghanistan tetap hidup dalam waktunya sendiri. Di Afghanistan, pengetahuan tentang gerak perputaran bumi dan matahari tumbuh sejak jauh di masa lampau. Ketika matahari berada di garis balik 22,5 derajad lintang utara, zemestan – musim dingin – berakhir. Musim semi datang. Bunga merah bermekaran. Itulah Naw Ruz – Hari Baru. Perayaan Naw Ruz sudah ada sejak zaman Zarathushtra, ketika Dewa Api masih dipuja, jauh sebelum datangnya agama Nasrani dan Islam. Sukacita Naw Ruz dinikmati di seluruh penjuru negeri saat peradaban Persia melintasi [...]
Mazar-i-Sharif – Perayaan di Makam Suci
The holy flag in the holy shrine Perayaan Naoruz pun dimulai. Pukul 6 pagi, barisan orang sudah mengular di depan keempat pintu gerbang menuju Rawza Sharif, makam suci Hazrat Ali. Bangunan ini megah berdiri dengan kubah-kubahnya yang bak fantasi negeri seribu satu malam. Dindingnya berukir mozaik indah. Orang asing biasa menyebutnya sebagai Blue Mosque, walaupun gedung ini tidak biru dan sama sekali bukan masjid. Mazar, artinya kuburan. Sharif berarti yang agung. Mazar Sharif menjadi ternama karena dipercaya jenazah Hazrat Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, beristirahat di kota ini. Umat Sunni menganggap Ali sebagai khalifah keempat sedangkan Syiah menganggapnya sebagai Imam pertama. Di kalangan umat Syiah sendiri sebagaian besar menganggap tempat peristirahatan Ali (A.S) ada di Najaf, Iraq. Tetapi di Asia Tengah ada Mazar Sharif dan Shakhimardan (Uzbekistan) yang punya klaim yang sama. Bangunan megah Rawza terletak di tengah taman. Bangunan ini dibangun pada abad ke-13. Berbagai kesaksian mengenai kesucian tempat ini selalu menghiasi buah bibir orang Afghan. Makam suci Hazrat Ali dipenuhi oleh ribuan merpati putih. Konon merpati hitam yang datang akan dengan sendirinya berubah menjadi putih dalam 40 hari. Demikian pula ribuan orang yang datang ke Rawza di hari Naoruz ini. Semuanya menantikan mukjizat dari [...]
Mazar-i-Sharif – Malam Naoruz
Busy Mazar street and business before the great holy day Proses mengurus izin liputan Naoruz memang ribet. Saya mesti bolak balik ke kantor urusan kebudayaan, minta surat sana-sini, ketemu pejabat ini itu. Akhirnya kami baru sampai pada tahap akhir: penitipan kamera. “Kawanku,” kata bapak tua yang bertugas di kantor itu, “jangan lupa nanti kirim hadiah padaku ya.” Bapak itu berbicara bahasa Rusia. Entah mengapa di sini banyak sekali orang yang lebih bangga berbahasa Rusia dengan orang asing. Si bapak, walaupun baru ketemu pertama kali, sudah minta saya mencatat nomor telepon dan alamat di Indonesia. Mau kirim surat katanya. Kamera, lensa, batera, memory card kepunyaan saya, ditambah mikrofon dan kaset perekam milik Zabiullah, semuanya kami titipkan di kantor ini. Sudah ada antrean panjang jurnalis dan kameraman Afghan dan mancanegara. Petugas yang menerima pentitipan barang-barang berharga ini tampak begitu serabutan, bahkan untuk mencatat pun malas sekali. “Jangan kuatir,” katanya, “tidak akan ada yang rusak. Serahkan saja pada kami.” Bapak yang tadi minta kiriman hadiah itu juga meyakinkan saya, “besok pagi, jam 6 pagi, kamu tinggal datang ke Makam Hazrat Ali untuk mengambil barang-barang ini.” Kami cuma diberi secarik tanda terima sederhana, lebih kumal daripada karcis bus, tanpa kartu pengenal apa pun. “Ini [...]
Mazar-i-Sharif – Keluarga Naqeebullah
Donor, projects, humanitarian, NGOs, UN, etc are the vocabulary of today’s Afghanistan Seperti malam sebelumnya, malam ini saya bermalam di rumah Naqeeb. Saya belum pernah bertemu Naqeeb sebelumnya. Saya mengenalnya melalui perantaraan seorang kawan Indonesia. Tetapi walaupun demikian, keluarga Naqeeb ramah menyambut saya. “Rumah ini adalah rumahmu,” demikian kata Naqeeb berulang-ulang. Naqeeb masih muda, tetapi kumis dan jenggotnya membuatnya nampak jauh lebih tua. Sekujur tubuhnya pun ditumbuhi bulu. Saya sempat berpikir dia berumur tiga puluhan. Ternyata dia bahkan masih lebih muda daripada saya. Naqeeb bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah NGO asing. Ke mana-mana ia selalu membawa radio HT. Dia harus terus mendengar kabar dari kantornya dan memantau situasi keamanan. Naqeeb sedang dapat tugas shift malam. Setiap sore pukul 6 ia berangkat ke kantor dan baru pulang keesokan paginya pukul 7. Sebagai satpam tentunya ia berjaga hampir sepanjang malam. Cuma tidur dua sampai empat jam sehyari sudah cukup baginya. Walaupun ia tuan rumah, saya jarang bertemu dengannya karena waktu kerjanya. Tetapi masih ada anggota keluarganya yang lain. Rumah Naqeeb cukup besar, ditinggali oleh banyak orang. Ada ayahnya yang sudah tua tetapi masih bekerja, abang-abangnya, dan hampir selusin keponakan. Hampir semua orang dewasa di rumah ini adalah pekerja sosial. Selain Naqeeb [...]
Peshawar – Travelling Alone as a Woman, Travel Experience of Lam Li
April 17, 2006 Purdah “Kenapa mereka selalu hidup dalam ketakutan? Kenapa? Kenapa?” Ini adalah pengalaman dari seorang sahabat lama seorang Malaysia, Lam Li, yang sedang melakukan perjalanan melintasi Asia dan ‘mau tak mau’ singgah di Pakistan. Sebelum masuk Pakistan dia sudah dipenuhi oleh ketakutan tentang betapa ‘seramnya’ laki-laki Paksitan terhadap perempuan. Namun Pakistan memang bukan seperti yang iya bayangkan. Pakistan bukanlah India. Orang-orang Paksitan lebih ramah dan jujur. Dia suka Pakistan, itu tak dapat ia pungkiri. Keramahtamahan Pakistan yang dimulai dari Lahore di mana dia diundang menginap oleh seorang lelaki yang baru saja dia temui di jalan, adalah sebuah sambutan yang ramah dari Pakistan. Dalam waktu lima hari tinggal bersama keluarga Lahore itulah yang mengawali penglihatannya tentang Pakistan. Sebagai perempuan, dia mempunyai akses ke sudut-sudut rumah yang tak bisa saya rengkuh dengan identitas saya sebagai laki-laki. Sebagaimana diketahui, pemisahan seksual di Pakistan sangatlah kental, di mana ruang tamu di rumah pun biasanya masih dipisahkan oleh kelambu sehingga para perempuan tidak bercampur dengan laki-laki. Lam Li, seorang perempuan asing, memperoleh identitas ganda di rumah itu. Sebagai tamu dia boleh berbincang-bincang dengan laki-laki di rumah itu. Sebagai perempuan dia boleh duduk bersama-sama kaum perempuan dalam keluarga. Sebuah posisi yang paling menguntungkan. Apa [...]
Islamabad – Wedding in the Capital (2)
April 9, 2006 Membaca Qur’an di rumah dulha Hari ini hari ketiga pernikahan, setelah mehndi kemarin. Acaranya, yang semula kata Ijaz dimulai pukul 12, ternyata terlambat lagi (seperti biasa di Pakistan) hingga pukul 2. Ijaz, sebagai teman terdekat mempelai pria, mengiringi mempelai pria dalam mobilnya. Arak-arakan mobil panjang berjalan dari Islamabad menuju Rawalpindi. Di dalam mobil ada yang bertanya tentang asalku. Aku jawab Pakistani. Mereka manggut-manggut, “Gilgit ya…”, dengan sok tahunya menambahkan, “memang orang Gilgit wajahnya mirip orang Cina ya…” Sebagaimana acara pernikahan lainnya di Pakistan, di sini juga acara mempelai pria menjemput mempelai wanita, istilahnya dulha menjemput dulen. Namun karena ini di kota, acara bukan lagi di rumah masing-masing mempelai, melainkan di sebuah Wedding Hall di pusat kota Rawalpindi, tepatnya di Liaquat Chowk. Wedding hall, bukanlah seperti halnya gedung pernikahan di Indonesia di mana piring-piring makanan membanjiri setiap perut pengunjung. Di sini, kami, para tamu laki-laki pengiring mempelai ditempatkan di sebuah aula bersama sang mempelai pria, sedangkan tamu-tamu perempuan di ruangan sebelah, yang dipisahkan oleh dinding dengan sebuah pintu. Pemisahan kelamin adalah hukum di Pakistan, dan di tempat ini pun hukum harus berjalan. Tak ada makan dan minum. Yang ada hanya menunggu. Aku sendiri tak tahu untuk apa acara [...]
Lahore – Ya Hussain
Darah terciprat dalam prosesi zanjirzani. February 9, 2006 Artikel ini ditulis dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang sejarah Islam. Masukan, koreksi, dan kritik sangat diharapkan. Muharram, adalah bulan yang penuh dengan kemuraman, di Pakistan. Pada bulan ini semuanya seakan dibawa ke dalam suasana perkabungan, mengenang kembali kematian keluarga Khalifah dalam perang di Karbala, lebih dari 1400 tahun yang lalu. Bahkan warung internet yang selalu memasang musik keras-keras, tiba-tiba saja menjadi sunyi. Musik tidak dimainkan sama sekali dalam bulan ini. Para periang pernikahan, penabuh genderang yang biasa menanti rejeki di persimpangan jalan di Rawalpindi tiba-tiba hilang. Tidak ada pernikahan sama sekali selama bulan ini. Dan pesta seks yang berlangsung di kalangan atas remaja Lahore dihentikan sementara selama bulan Muharam. Bulan perkabungan, bagi seluruh umat muslim dunia, mengenang kembali penderitaan dan pembantaian keluarga Nabi ribuan tahun yang lalu. Terlebih lagi bagi umat Shiah, yang disebut juga sebagai Aliwallah – ‘Pengikut Ali’. Penganut sekte Shiah di Pakistan adalah minoritas, namun perkabungan yang mereka dengungkan selama bulan Muharam cukup mewarnai kehidupan di Pakistan. Shiah sering disebut sebagai agama yang sedih dan muram, karena hari-hari besar mereka seringkali dipenuhi air mata dan darah. Dalam setahun entah berapa puluh khalifah, imam, istri imam besar, ayatullah dan [...]
Lahore – Sufism
Regale Internet Inn 150 Rs Berputar… berputar… berputar… Bagi kita, sufisme mungkin sudah tidak asing lagi. Kisah-kisah tentang Syeikh Siti Jenar sudah sering kita dengar berkali-kali. Dan penggabungan antara mistisme dengan religiusme Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi di Indonesia, di mana Islam berbaur kental dengan hembusan nafas kehidupan Pra-Islam (Hinduisme, Buddhisme, dan animisme). Lagu adalah bagian dari spiritualisme kaum Sufi Menari demi sang Kekasih tercinta Di Pakistan pun sufisme merupakan bagian dari kehidupan Islamnya. Setiap hari Kamis siang, pemusik-pemusik sufi berkumpul di Masjid untuk memainkan musik-musik yang membius hati. Tak kurang dari 40 grup musik dari penjuru-penjuru desa datang ke sini, dan setiap grup menampilkan pertunjukan dari 5 hingga 7 menit. Alunan akordion dan gambus seakan merupakan ekstasi bagi sebagian penonton, yang tak hentinya menggelengkan kepala dengan cepat mengikuti alunan musik, bahkan ada pula yang menggulingkan tubuhnya dan berputar-putar secara cepat seperti orang yang telah hilang kesadarannya. Penonton yang “tersihir” pun membuat hujan uang di atas para pemusik, menaburkan ratusan lembar uang 10 Rupee di atas kepala pemusik, dan aliran ini tak berhenti hingga panitia berusaha menyadarkan penonton ini. Uang, musik, tarian, gelengan kepala bak tercandu ekstasi, serta semprotan minyak wangi yang disemprotkan petugas dengan tabung semprot pestisida [...]