Recommended

Titik Nol 39: Kremasi

Kremasi (AGUSTINUS WIBOWO)

Kremasi (AGUSTINUS WIBOWO)

Di hadapan mayat yang melepuh ditelan api, saya jadi sadar, bahwa hidup di dunia ini hanyalah sebuah perjalanan dari debu kembali menjadi debu.

Isak tangis mengiringi kepergian lelaki Brahmana tua itu. Raungan, ratapan, air mata membasuhkan aroma kesedihan. Jenazah itu dibilas dalam air Sungai Bagmati yang keruh, bertabur bunga dan sesaji. Alunan mantra Hindu mengiringi.

Kayu bakar ditumpuk di tepi sungai, di sebelah selatan jembatan Sungai Bagmati di Kuil Syiwa Pashupatinath. Dalam tradisi kremasi umat Hindhu Nepal, kasta pun berpengaruh. Yang termasuk ningrat, keluarga kerajaan, dan kasta teramat tinggi, dikremasikan di utara jembatan, tempat pembakaran Arya Ghat. Rakyat jelata, di Ram Ghat di selatan.

Lelaki di sampingku menjelaskan, pria tua ini adalah seorang petinggi yang sangat dihormati. Meninggalnya pun wajar, penyakit orang tua. Jenazahnya diletakkan di atas tumpukan kayu, setelah dibilas lagi dengan air suci oleh pendeta. Denting lonceng, alunan mantra, dan ratapan pilu mengiringi, ketika api mulai menyulut.

Baru pertama kali ini saya melihat pembakaran mayat dari dekat. Tubuh itu meleleh seperti lilin. Jari-jari kaki mulai menyatu, kemudian membulat, kemudian hancur tak berbentuk. Ketika jasad ini mati, semuanya kembali dalam wujud yang sama. Tak peduli apa kastanya, bagaimana kekayaannya, setinggi apa jabatannya, sebanyak apa gelar kesarjanaannya, tubuh dan jasad hancur sama-sama menjadi abu dan debu.

Di hadapan kematian, orang jadi filosofis. Kami membincangkan tentang arti hidup dan kematian. Saya jadi termenung, betapa tak abadinya hidup manusia, berasal dari ketiadaan kembali lagi ke ketiadaan. Betapa sayangnya jika hidup yang berharga ini terlewat begitu saja, tanpa makna, tanpa faedah. Roh kehidupan melekat dalam tubuh ini hanya untuk sementara saja. Setelah itu, hidup yang kita jalani menjadi sejarah yang dikenang segelintir orang. Tak ada artinya lagi semua kebanggaan, kekayaan duniawi, dan popularitas yang dikumpulkan – semuanya lenyap bersama jasad yang melebur.

Anggota keluarga yang ditinggalkan memasuki masa perkabungan. Kaum perempuan terus meratap. Kaum pria mencukur rambutnya sampai habis, hanya menyisakan sejumput keci di bagian belakang.

Sadhu (AGUSTINUS WIBOWO)

Sadhu (AGUSTINUS WIBOWO)

Orang Hindu percaya reinkarnasi. Kematian bukan akhir perjalanan. Roh segera meninggalkan jasad begitu tubuh hancur, bersiap untuk memulai lagi kehidupan berikutnya. Abu ditabur ke arah Sungai Bagmati yang mengalir perlahan, akan menyusuri perjalanan ratusan kilometer hingga ke Gangga yang suci, menyusuri ribuan kilometer yang menutup kisah babak kehidupannya yang baru berlalu. Babak baru akan dimulai.

Di antara semua orang yang menantikan kematian, ada kaum tua yang tinggal di panti jompo Siddhi Shaligram Briddha Ashram di tengah kuil Pashupatinath. Bagi orang tua di sini, meninggal di tempat suci ini adalah berkah, sekaligus karena tak ada lagi pilihan. Kondisi panti jompo ini cukup mengenaskan. Orang tua terbaring di atas dipan yang berjajar, berdesak-desak dalam ruangan sempit. Dapur gelap dan pengap. Seorang kakek tua menyiapkan makanan di atas kuali. Tetapi, di tengah kesederhanaan kehidupan manula di panti jompo ini, tersirat kegembiraan dari sunggingan senyuman mereka.

Perempuan cantik berbaju sari merah, datang bersama kendang dan alunan lagu, membawa suasana perayaan Tij ke tengah nenek barisan nenek jompo. Mereka sudah sangat tua, kerut-kerut wajah mereka mengguratkan usia yang teramat sepuh. Tangan mereka bergetar. Tetapi, bulatan tika di dahi seperti pancaran aura mistis. Hanyut dalam tetabuhan dan mantra, nenek-nenek ini larut dalam kegembiraan Tij di panti jompo.

Sebagai tempat suci, Kuil Pashupatinath pun banyak dipenuhi orang suci. Mereka inilah yang disebut sadhu, manusia yang sudah melepaskan kehidupan duniawi untuk mencari kebenaran sesungguhnya. Mereka berkelana, hidup dari belas kasihan orang lain, melepaskan ambisi kehidupan, tampil dalam wujud yang tak terbayangkan. Ada sadhu yang berambut gimbal, berkawan dengan ular dan serangga, tubuh berbalut abu, telanjang dada dan hanya mengenakan lungi kombor menutup selangkangan. Dengan tongkat dan kantong sedekah, mereka berkeliling memberi berkat. Sadhu tak mencukur rambut dan jenggot. Jenazah mereka tak dibakar, roh mereka lepas dari perputaran titisan reinkarnasi.

Mengisap ganja untuk merasakan 'nirwana' (AGUSTINUS WIBOWO)

Mengisap ganja untuk merasakan ‘nirwana’ (AGUSTINUS WIBOWO)

Tak semua sadhu orang suci sungguhan. Ada yang berdandan menjadi sadhu untuk mencari uang. Ada yang menikmati hidup jadi orang suci karena doyan menghisap charas atau ganja – hanyut dalam kenikmatan nirwana. Ada pula yang berpose di depan kamera untuk mendapat uang dari turis, beberapa cukup agresif sampai menggeret tangan saya untuk minta difoto (dan diberi uang).

Saya mengunjungi ashram – asrama sadhu di dekat kuil Pashupatinath, ditinggali lebih dari lima orang suci. Di gubuk sederhana ini, ada sapi dan kambing. Sapi adalah hewan suci. Sadhu juga tidur bersama sapi. Siang hari, ritual menghisap ganja pun dimulai. Seorang sadhu muda yang tampan, bersurban tinggi, dengan daun telinga yang berlobang besar ditembus anting-anting berat, dengan penuh kekhusyukan, mata terpejam, perlahan-ahan menghisap pipa. Kepulan asap merembes dari mulutnya. Matanya tetap terpejam, menikmati setiap hembusan kenikmatan itu. Pipa berpindah tangan ke tangan sadhu lainnya yang berjenggot lebat. Ia pun menikmati kenikmatan yang sama. Lima orang pria suci duduk mengelilingi lingkaran, bergiliran menikmati kedamaian ‘nirwana’.

Seorang sadhu menggeret saya, minta diperbaiki televisinya yang rusak. Ia baru saja dapat VCD tentang Afrika, tetapi sama sekali tak keluar suara. Rupanya di gubuk ini, selain kenikmatan surgawi dari ganja, juga ada televisi yang mengisi kebosanan.

Di antara sadhu yang paling dihormati di Pashupatinath, ada Dudh-dhari Baba atau Milk Baba, berumur tujuh puluh tahun lebih, bertahan hidup hanya dengan minum susu. Ia tak makan sama sekali dan tidak minum yang lainnya lagi. Tubuhnya kurus kering, tetapi rambut gimbalnya panjang sekali. Gimbal, kasat, butuh waktu lama untuk digulung lalu menjadi seperti sanggul atau topi di atas kepala.

Milk Baba sudah ke mana-mana. Ia sering diundang ke Eropa dan Amerika untuk mengajar. Minumnya hanya susu sapi – hewan suci, tetapi ilmunya sudah mendatangkan murid dari Nepal dan manca negara.

Merayakan Tij di panti jompo (AGUSTINUS WIBOWO)

Merayakan Tij di panti jompo (AGUSTINUS WIBOWO)

Pashupatinath berarti dewa hewan. Di kuil ini, Dewa Syiwa menampilkan dirinya sebagai pelindung makhluk hidup. Di sini, roda kehidupan manusia terus berputar – gadis yang mendamba jodoh, istri yang mendoa kesehatan suami, sadhu yang mencari hakikat, kaum jompo yang menanti ajal, jenazah yang hancur meleleh, dan abu yang ditebar di Sungai Bagmati menanti perputaran hidup.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 25 September 2008

9 Comments on Titik Nol 39: Kremasi

  1. Sekarang sedang melakukan travelling dimana?

  2. belum sampai ini bacanya…^_^

  3. ijin share ya. trims.

  4. Kasian sekali padahal sudah dijelaskan d alqur’an lo jenazah bz ngerasa sakit jka diperlakukan agak kasar. Nah ini dbakar…ckckck gmna menjeritx ya rohx..

  5. Dari tanah kembali ke tanah….

  6. Terharu bacanya…kadang penat juga mengejar tuntutan hidup…pengen rasanya bisa lepas dari keterikatan akan kebutuhan materi.lelah akan pengejaran hidup yg tak berkesudahan..

  7. ini kan agama hindu bukan islam ,please dont stupid ,,,

Leave a comment

Your email address will not be published.


*