Recommended

Titik Nol 43: Demokrasi

Polisi beresenjata mengawasi jalannya demonstrasi akbar di dekat Ratna Park. (AGUSTINUS WIBOWO)

Polisi beresenjata mengawasi jalannya demonstrasi akbar di dekat Ratna Park. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sudah dua minggu terakhir ini Kathmandu dilanda demonstrasi besar-besaran anti pemerintah dan kerajaan. Jalan macet di mana-mana. Polisi berpatroli ketat. Tetapi turis pun masih ribuan yang menikmati liburannya di ibu kota kuno.

Kathmandu adalah sebuah kota di mana dunia dan zaman berbeda bisa hidup bersama. Ketika berada di tengah Hanuman Dhoka, atau di tengah ribetnya gang-gang kuno yang menyebar dari pusat-pusat bazaar, kita seperti terjebak dalam dunia masa lalu yang kacau balau tetapi damai, dalam dunia yang penuh asap dupa dan lantunan doa, berseling dengan klakson motor dan bel sepeda.

Begitu keluar dari keruwetan rumah kuno dan gang sempit, kita sampai di jalan raya Rani Pokhari, di mana sebuah dunia lain terpampang. Jalan beraspal dua jalur lurus membentang, macet oleh segala jenis kendaraan bermotor. Kita kembali ke dunia modern di mana ada keteraturan dalam hiruk pikuk mobil, asam knalpot, sepeda motor yang berzig-zag, dan sambaran klakson.

Belakangan ini, kontras semakin terasa, ketika segala jenis mobil, mulai dari taksi, auto rickshaw, sampai sedan berbaris tak bergerak. Ratusan sepeda motor mengisi semua rongga yang tersisa. Demonstrasi bergejolak di beberapa titik di kota modern, menyebabkan polisi terpaksa menghentikan lalu lintas selama berjam-jam. Kemacetan menggila, karena lalu lintas tak mengalir sedikit pun. Sementara itu, mereka yang hidup di dunia Hanuman Dhoka dan sekitarnya sama sekali tersentuh oleh hingar bingar dan kekalutan di luar sana.

Jalanan Kathmandu macet luar biasa gara-gara demonstrasi (AGUSTINUS WIBOWO)

Jalanan Kathmandu macet luar biasa gara-gara demonstrasi (AGUSTINUS WIBOWO)

Walaupun tak semua turis merasakan gejala ini, terutama para biksu bule yang bagaikan gumpalan awan berhembus diterpa angin, suasana politik di Nepal memang sedang memanas. Demonstrasi besar-besaran ada di mana-mana. Partai komunis baru saja menggelar aksi menggalang massa di Patan. Maois melanggar kesepakatan gencatan senjata. Pengamanan meninggalkan Kathmandu sangat ketat.

Kalau kita melakukan perjalanan jarak jauh di Nepal, beberapa kilometer dari Kathmandu, sepanjang jalan raya utama menuju Pokhara, banyak sekali pos pemeriksaan. Di pos pemeriksaan, semua penumpang turun, berjalan kaki melintasi pos. Bus yang sudah kosong diperiksa, baru diizinkan melintas pos. Setelah lewat, baru penumpang yang sudah berjalan sekitar 20 meter diizinkan naik kembali. Yang mendapat dispensasi adalah orang asing, tidak perlu turun, hanya menunggu di mobil saja dan tanpa diperiksa sama sekali.

Jam malam di jalan negara juga berlaku. Setelah pukul empat sore tidak ada kendaraan umum karena jalan antar kota diblokir. Perpindahan penduduk dikontrol.

Kaum komunis berdemo di Patan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kaum komunis berdemo di Patan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Apakah semua ini menunjukkan posisi pemerintah yang semakin goyah?

Saya tak menemukan jawabannya di koran lokal, yang kebanyakan berhuruf Dewanagari. Tetapi memperhatikan keseriusan penduduk setempat, termasuk pedagang kaki lima dan tukang rickshaw, yang pagi-pagi sudah baca koran di pinggir jalan, saya merasakan bahwa penduduk ibu kota ini sangat memperhatikan kondisi negeri mereka.

Sumber berita utama saya adalah internet dan informasi dari kawan jurnalis. Segala macam rumor tentang kehidupaan kerajaan pasca insiden pembantaian 2001 terus merebak. Orang-orang mengeluhkan betapa raja baru ini semakin mengekang kehidupan, harga barang semakin naik, dan hidup semakin terpuruk.

“Demokrasi!!! Demokrasi!!!” mahasiswa di atas gedung di pinggir jalan utama Ratna Park berteriak-teriak. Mereka pun sudah siap dengan batu kecil di genggaman.

Polisi berseragam loreng membawa tongkat dan perisai, memakai rompi tebal dan helm baja. Beberapa minggu lalu sempat terjadi bentrok besar, di mana para demonstran yang seharusnya melaksanakan demonstrasi damai malah melempar batu ke arah polisi dan tentara.

Keadaan semakin memburuk ketika para demonstran melempar batu ke bawah. Hujan batu. Kami berlarian menghindari terjangan kerikil. Polisi berteriak marah, siap memukul demonstran dengan tongkat mereka.

Tetapi, demonstrasi menuntut demokrasi ini tidak hanya teriakan yel-yel dan lemparan batu. Qingqing, seorang turis China kawan Lam Li bertubuh tinggi dan berpakain minim, melintas santai di hadapan demonstran yang sibuk berdemo.

Tiba-tiba demo terhenti. Para pemuda itu bersuit-suit ke arah Qingqing. Yel-yel mereka menuntut kebebasan dan demokrasi berubah menjadi seruan,

“Hei…. cewek seksi…. cewek seksi…..”

Bahkan pedagang sepatu pinggir jalan pun mengikuti perkembangan negara. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahkan pedagang sepatu pinggir jalan pun mengikuti perkembangan negara. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi Qingqing bukan perempuan lemah. Ia balik berteriak ke arah mereka dengan marah,

“Hei!!! Bukan begitu caranya demokrasi!”

Tak lama kemudian, terjangan batu mulai kembali. Yel-yel demokrasi bersahut-sahutan. Polisi semakin bersiaga.

Apakah demonstrasi seperti ini bisa efektif? Bagaimana mereka bisa mendapat simpati rakyat kalau cara demonstrasinya membuat orang yang semula mendukung jadi membenci? Siapa yang suka terjebak kemacetan berjam-jam gara-gara demonstrasi para pemuda yang entah mau diarahkan ke mana.

“Mereka benar-benar membuang waktu,” kata seorang pengendara sepeda motor yang marah karena terjebak macet, “Apa gunanya demonstrasi? Hanya membikin repot saja!”

Malamnya, baru saya tahu bahwa demonstrasi ini adalah kejadian yang lumayan besar hari ini. Empat ratus orang lebih ditangkap, kebanyakan adalah aktivis pro demokrasi dan wartawan. Sejatinya mereka hendak mengelar demonstrasi damai untuk menuntut kebebasan pers yang dikekang sejak naiknya raja baru dan penetapan berbagai undang-undang yang anti-demokrasi. Kerusuhan meletus, lempar-lemparan batu dan semprotan gas air mata mewarnai kekacauan di sebelah Ratna Park tak lama setelah kami meninggalkan tempat itu.

Jalan menuju demokrasi masih panjang.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 1 Oktober 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*