Recommended

Daru 23 Agustus 2014: Nenek Moyangku Orang Pelaut

Menembus badai dan gelombang (AGUSTINUS WIBOWO)

Menembus badai dan gelombang (AGUSTINUS WIBOWO)

Nenek moyangku orang pelaut

Gemar mengarung luas samudra

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa

Sisi Wainetti, Marcella, dan saya meringkuk dan berpelukan erat. “Jesus! Jesus!” Sisi mulai berteriak sekencang-kencangnya, seolah teriakan itu akan mendatangkan keajaiban kuasa dari langit untuk menyelamatkan kami. Marcella dan saya menimpali dengan teriakan yang sama dan sama kerasnya. Dinghy, perahu motor cepat yang kami tumpangi ini, terombang-ambing amukan ombak. Dinghy menghentak, kami para penumpang yang duduk berhimpitan terloncat. Pantat saya menghantam bilah kayu yang menjadi alas duduk, punggung saya seperti ditinju bertubi-tubi dan sakitnya merambat sampai ke tengkuk. Satu gulungan ombak yang lebih tinggi daripada manusia itu menerjang. Sisi berteriak, “Issaiah, cepat lakukan sesuatu! Kita akan tenggelam!” Terlambat. Ombak itu menghantam kami, menampar wajah saya dan semua dari enam penumpang di atas perahu kecil ini. Air sudah setinggi mata kaki di dasar perahu. Kami basah kuyup sekujur tubuh, buru-buru mengambil gelas plastik dan timba karet dan sepon untuk membuang air keluar perahu. Saya memeluk erat kamera yang sudah dibungkus plastik di balik jaket saya. Satu gelombang lagi menghantam perahu kami. “Oh, Jesus!” Sisi berteriak lagi.

Saya mengenal Sisi baru dua hari lalu. Dia adalah putri angkat dari bidan terkenal Sila Wainetti yang merupakan staf lokal senior di LSM World Vision, Daru. “Putriku bisa bahasa Indonesia,” kata Sila waktu itu, “Dan dia tinggal di daerah pesisir perbatasan. Mungkin dia bisa membantumu.”

Saya memang sangat tertarik menyusuri pesisir selatan pulau Nugini ini, dari Daru ke arah barat hingga mendekati Merauke. Ini adalah daerah persimpangan tiga perbatasan sekaligus: Papua Nugini, Australia, Indonesia. Yang paling istimewa adalah, setelah meneliti peta daerah ini, saya baru menyadari bahwa di sebelah barat Daru, Australia menguasai pulau-pulau kecil yang begitu dekat dari pantai Papua Nugini. Bagaimana kehidupan orang-orang yang tinggal di ambang batas begitu dekat dengan luar negeri itu? Pertanyaan ini sungguh menggelitik keingintahuan saya. Tetapi di negeri ini hampir tidak ada layanan transportasi publik. Yang bisa saya lakukan hanyalah bertanya dan menjajal keberuntungan.

Perjumpaan pertama dengan Sisi tidak terlalu meyakinkan saya. Perempuan tiga puluh lima tahun itu berkaos militer setrip-setrip yang longgar tetapi tetap menonjolkan payudaranya, berbibir tebal dan gigi kemerahan dengan cairan bekas pinang yang masih basah, jalinan rambut rasta diikat ke belakang, langkah kakinya petantang-petenteng megal-megol dengan sandal jepit yang sudah usang. Bahasa Indonesianya lumayan lancar, tetapi saya tidak terlalu mengerti karena ada logat daerah yang sangat kuat. Sisi pertama kali ke Indonesia tahun 2005, tinggal dua tahun di Merauke, yang membuatnya bisa bahasa Indonesia. Sisi berasal dari Distrik Morehead yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Desanya sekitar 100 kilometer dari perbatasan Indonesia, tetapi hanya 30 kilometer ke Australia.

Peta daerah pesisir. Saibai, Boigu, dan Dauan adalah wilayah Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Peta daerah pesisir. Dari Saibai, Boigu, dan Dauan terus ke selatan adalah wilayah Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi dengan rambut rasta (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi dengan rambut rasta (AGUSTINUS WIBOWO)

“Apa istimewanya Merauke bagi kamu?” saya bertanya.

“Hidup di sana lebih bagus to,” katanya, “Di mana-mana ada sawah, orang-orang ramah, tidak ada raskol, Sisi bisa naik ojek naik taksi, bisa belanja tanpa dikawal. Di sana semua orang sibuk kerja, semua punya uang. Di sini tak ada kerja, Sisi tak punya kerja.”

“Apa yang kamu lakukan di Merauke sampai dua tahun?”

Kitorang tangkap kepiting dan ikan, pi jual ke pasar.”

“Kamu tidak takut tentara Indonesia?”

“Takutlah. Sisi ada dengar tentara suka bunuh orang. Tapi tinggal di sana baru Sisi tahu mereka orang baik. Di Indonesia bagus banyak tentara, di sini tak ada tentara jadi banyak raskol. Banyak orang PNG bilang Indonesia itu bahaya, karena dia orang pi sana curi jadi tentara Indonesia tangkap, pukul, masukkan penjara. Dia orang juga tak bisa bahasa Melayu, jadi tak bisa mengerti orang Merauke bilang apa.”

“Bagaimana orang-orang di Merauke? Biarpun saya dari Indonesia, saya belum pernah ke sana.”

“Di sana semua orang putih,” katanya sambil menempelkan telunjuknya di lenganku, tersenyum manis. “Sisi senang berhubungan dengan orang-orang putih seperti kamu.” Sisi menggambarkan pada saya peta desa-desa sepanjang pesisir Papua Nugini. Saya bertanya apakah dia bisa bantu saya ke sana.

“Sisi sering bantu orang Indonesia. Kamu mau berangkat kapan? Sisi bantu.”

“Tapi Sisi, saya mungkin tidak sama dengan orang-orang Indonesia lain yang pernah kamu bantu. Saya tidak ada uang banyak. Saya bukan bisnis, bukan perusahaan, bukan tugas negara.”

Kami sepakat pada harga 200 kina berangkat, 200 kina pulang. Itu sekitar US$180 atau 2 juta rupiah. Harga normal penumpang.

Malam harinya, Sisi menelepon saya dan menanyakan apakah mungkin jika saya membayar 500 kina total. Saya mulai meragukan kejujurannya. Apalagi Sisi penuh ketidakpastian, dan hanya mengatakan kita akan berangkat di akhir pekan. Saya meminta maaf karena biaya ini sudah terlalu besar buat saya, lebih baik saya tidak jadi berangkat.

Hari ini, Sabtu pagi, hujan deras masih mengguyur Daru sejak semalam, petir masih menyambar-nyambar. Sisi mengirim SMS meminta saya bersiap ke pelabuhan, kita akan berangkat. Saya cukup membayar dengan harga yang kami sepakati semula.

Saya percaya, mereka orang-orang pesisir, orang laut, tentu mereka sudah tahu apakah cuaca layak untuk berperahu di samudra lepas. Sisi menyambut di daerah pasar Daru tempat berlabuhnya kano dan perahu dari daerah pesisir, menunjukkan dinghy yang akan kami tumpangi, dengan mesin 40 PK (daya kuda) yang ditempelkan di bagian belakang perahu. Sisi bilang mesin itu dibeli di Merauke karena lebih mudah didapat dan murah daripada harus ke Port Moresby. Di dalam dinghy ini ada operator mesin Issaiah, ayahnya yang bernama Keikei, seorang pemuda kekar bernama Mark, girlfriend Sisi bernama Marcella, Sisi, dan saya. Sisi menunjukkan sebuah surat tulisan tangan di kertas folio, ditulis oleh presiden Distrik Morehead, yang dia bilang adalah boyfriend-nya; surat itu menerangkan bahwa saya adalah pegawai supermarket China yang mau pergi jalan-jalan ke daerah Morehead. “Dengan ini kamu aman,” katanya.

Saya memercayakan nasib sepenuhnya pada mereka. (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya memercayakan nasib sepenuhnya pada mereka. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pendatang dari Sungai Fly bepergian dengan kano ke Daru. Kano kayu ini tidak sanggup digunakan untuk melintasi lautan pesisir selatan yang ganas. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pendatang dari Sungai Fly bepergian dengan kano ke Daru. Kano kayu ini tidak sanggup digunakan untuk melintasi lautan pesisir selatan yang ganas. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dalam hati saya tebersit kekhawatiran. Saya tidak terlalu mengenal orang-orang ini, sekarang saya sendirian dalam perahu mereka, menyerahkan sepenuhnya nasib saya pada mereka. Saya dengar, daerah pesisir tempat Sisi tinggal itu daerah berbahaya, tahun kemarin ada pedagang dari Indonesia yang dibunuh di sana oleh warga lokal dan kasusnya masih misterius. Mereka bisa melakukan apa pun pada saya di tengah perjalanan nanti, dan saya tak punya kuasa apa-apa. Saya hanya berpegang teguh bahwa Sisi adalah putri angkat dari Sila Wainetti, orang terpandang di seluruh Daru.

Sudah pukul sepuluh, langit masih gelap oleh mendung pekat. “Apakah ini akan jadi perjalanan yang berat?” saya bertanya pada Issaiah si operator mesin.

“Tenang saja,” katanya, “Percayakan pada saya.”

Sisi meminta saya memakai pelampung, dan dia juga memasang pelampung pada tubuhnya. Hanya ada dua pelampung di perahu ini. Kami berangkat, bersama sebuah dinghy lain dengan tujuan yang sama dan juga berisi enam penumpang. Di Papua Nugini, karena ketiadaan alat transportasi publik, orang biasa berpatungan untuk bepergian dengan masing-masing membayar jatah bahan bakar yang dibutuhkan untuk perjalanan. Uang saya itu cukup untuk membeli 30 liter minyak. Saya, Sisi, Marcella duduk berhimpitan, berhadapan dengan Issaiah yang mengendalikan mesin dan Mark yang membantunya. Barang-barang kami ada di bagian depan perahu, dibungkus terpal. “Jangan duduk di haluan perahu, kalau kau tidak mau punggungmu patah,” kata mereka kepada saya yang belum berpengalaman.

Meninggalkan pelabuhan Daru, perahu kami langsung disambut gelombang keras.

“Aku tidak pernah melihat gelombang sebesar ini,” kata Sisi dalam bahasa Inggris. “Ini memang keras, tetapi aku pernah mengalami jauh lebih hebat daripada ini,” sahut Marcella, juga dalam bahasa Inggris. Sisi dan Marcella berbahasa Inggris satu sama lain, karena walaupun desa mereka berdekatan, bahasa mereka tidak sama. “Ini tidak ada apa-apanya,” kata Issaiah yang sekampung dengan Sisi, berteriak pada kami karena suaranya ditelan gemuruh mesin. Dia tampak sangat menikmati mengendalikan mesin itu, sehingga perahu kami meliuk-liuk berzig-zag di antara ombak. Setiap kali melewati satu gulungan ombak, perahu terhentak, sekujur tubuh rasanya seperti ditampar bersamaan. Saya membayangkan betapa hebatnya para nenek moyang mereka, yang terus berpindah dari pesisir pulau utama menuju pulau-pulau di Serat Torres dengan perahu kayu tradisional mereka. Hanya dayung dan layar, tanpa mesin, gagah berani menerjang ombak.

Cukup malu saya katakan, ini pengalaman pertama saya benar-benar naik perahu. Tanpa menghitung beberapa kali menumpang kapal feri dan sekali menumpang perahu nelayan untuk menemani teman pergi menyelam, saya tidak pernah bersinggungan dengan laut sedekat, selama, dan seintens ini. Betapa terputusnya saya dari lautan, yang seharusnya menjadi roh kehidupan negeri kepulauan terbesar di dunia: Indonesia. Betapa kehidupan di Jakarta membuat saya lupa bahwa kita adalah negeri bahari dengan hampir 80 persen wilayah berupa lautan. Kau mungkin membaca banyak tentang laut, melihat banyak gambar laut, tetapi kau takkan pernah memahami betul seberapa dahsyat dan berkuasanya samudra sebelum kau benar berada di dalamnya, di dalam pelukannya. Dan pengalaman laut pertama saya justru terjadi di Papua Nugini.

Kecelakaan. Tak sampai setengah jam kami meninggalkan Daru, di tengah badai dan ombak yang menampar wajah-wajah kami, Sisi menjerit ke arah perahu kecil satunya dalam konvoi kami. Mesin perahu mereka jatuh ke laut! Para lelaki untuk terjun ke laut (yang hanya sedalam dada) untuk mengangkat mesin dan memasang baut kembali ke bagian belakang perahu. Kami hanya menunggu setengah jam di perahu kami yang tidak bergerak di tengah laut, dan angin yang menderu dipadukan sekujur tubuh yang basah oleh air laut membuat semua orang menggigil; terdengar gemeretak gigi dan keroncongan perut.

Tentang hujan deras sepanjang malam dan badai angin yang kami alami sekarang ini, Sisi memberitahu kami bahwa ini adalah ulah seorang penyihir di Daru. Penyihir tua itu ingin berhubungan seks atau menikahi—saya tak tahu pasti—seorang gadis kecil, dan orangtua gadis itu tidak setuju, sehingga penyihir marah dan menimpakan badai ke atas Daru.

Di Papua Nugini, bahkan fenomena alam yang paling natural pun bisa dihubungkan dengan mistis.

Kami melanjutkan perjalanan tak sampai setengah jam, sekarang giliran perahu kami yang kena masalah. Mesin kami tidak sengaja terbelit jaring yang dipasang nelayan desa Tureture di pantai, sehingga macet. Kami juga harus berhenti satu jam lebih untuk memotong putus benang jaring dari mesin, dengan meminjam pisau dari nelayan. Lagi-lagi para penumpang harus menahan siksaan karena angin.

Nelayan Tureture membantu kami keluar dari jeratan jaring (AGUSTINUS WIBOWO)

Nelayan Tureture membantu kami keluar dari jeratan jaring (AGUSTINUS WIBOWO)

Issaiah gagah mengendalikan mesin (AGUSTINUS WIBOWO)

Issaiah gagah mengendalikan mesin (AGUSTINUS WIBOWO)

“Apakah kita bisa sampai di Buzi hari ini juga?” saya bertanya. Kalau normal, seharusnya delapan jam ke Buzi, tetapi sudah pukul satu siang kami masih di Tureture, hanya satu jam perjalanan dari Daru.

We hope so,” kata Sisi.

Meninggalkan Tureture, perahu semakin menjauh dari pantai menuju ke samudra kelabu, agar perahu bisa bergerak lebih cepat di laut dalam. Tapi gelombang semakin tinggi dan menghajar perahu kami berkali-kali. Saya tidak tahu apakah Issaiah tidak bisa melihat celah gelombang, atau karena gelombang ini terlalu sulit diprediksi. “Ini king tide!” seru Sisi. Pasang besar. “Mungkin seharusnya kita tidak berangkat hari ini.” Para lelaki meloncat ke dalam laut untuk membelokkan arah perahu, dan kami yang di atas perahu sibuk membuangi air yang menggenangi dasar perahu. Sekali lagi, perahu kami diterjang ombak, kami bisa tenggelam. Sisi berteriak bertalu-talu, “Oh Jesus!!!

Ini perjalanan perahu pertama saya, langsung berhadapan dengan pasang besar dan cuaca buruk, di wilayah lautan Torres Strait yang menghubungkan laut Coral di timur dengan Laut Arafura di barat yang memang sudah terkenal untuk keganasannya. Terlebih lagi daerah laut antara Tureture dan Olmawata yang tersohor mematikan ini. Sisi menangis terus memanggil nama Yesus, sedangkan Marcella yang berbadan tinggi itu bersandar pada tumpukan kargo, tertidur lelap.

Sisi meraba kepalanya. “Apa ini?” dia tersentak, melihat satu jalinan rambut rasta miliknya copot di telapak tangannya.

“Bagaimana rasanya?” saya bertanya.

“Seperti ada bagian yang kosong di kepalaku,” katanya sambil meraba kepala.

Beristirahat di pulau kecil di seberang Mabudauan (AGUSTINUS WIBOWO)

Beristirahat di pulau kecil di seberang Mabudauan (AGUSTINUS WIBOWO)

Setelah Mabudauan, ombak sudah mereda (AGUSTINUS WIBOWO)

Setelah Mabudauan, ombak sudah jauh lebih mereda, walaupun masih menyakitkan (AGUSTINUS WIBOWO)

Ombak mulai mereda setelah kami melintasi Mabudauan, di mana kami beristirahat di sebuah pulau kecil di sisi selatan. Ini adalah kamp para nelayan Mabudauan untuk menangkap ikan dan udang. Sebuah pulau hijau damai berpasir halus, tapi tanpa penghuni karena tidak ada sumber air tawar. Sisi mengumpulkan kayu untuk membuat api. Sisi memintaku melepas baju dan mengeringkannya di atas api. “Air laut tidak sama dengan air tawar,” katanya dalam bahasa Inggris yang dia jauh lebih fasih, “Kalau terlalu lama melekat di tubuhmu nanti akan gatal-gatal.” Issaiah menanyakan apakah saya menikmati perjalanan tadi, sebagaimana dia sangat menikmatinya.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Sigabaduru. Antusiasme saya semakin membuncah, karena sebentar lagi saya sudah bisa melihat Australia di sisi selatan. Saya berulang kali menanyakan, menunjuk ke pulau apa pun yang tampak di selatan: “Apakah itu Australia?” Setelah terus-menerus menggeleng, mereka akhirnya mengangguk. “Ya, itu Australia!” Pulau Saibai milik Australia hanya 3 kilometer dari pantai Papua Nugini. Saibai adalah pulau datar sepanjang 20 kilometer dan didominasi tanaman bakau, sering dilanda banjir pada musim hujan dan pasang besar, dihuni 380 jiwa, adalah destinasi penting bagi masyarakat desa-desa pantai Papua Nugini untuk berbelanja dan menjual tangkapan laut. Dari sini, yang terlihat hanya pulau hitam dengan pepohonan rapat, tidak ada beda dengan mainland Papua Nugini yang terus menyambung tanpa henti di sisi utara sana. Itulah perbatasan. Alam di dua sisi garis ini mungkin tak terlalu jauh berbeda, tetapi di sana adalah negeri berbeda, hukum berbeda, dunia berbeda. “Mari kita ke Saibai saja, biar orang-orang Australia itu masukkan orang Indonesia ini ke dalam kalabus,” kata Sisi menunjuk saya sambil tertawa. Kata itu artinya penjara.

Di belakang sana adalah Saibai, Australia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di belakang sana adalah Saibai, Australia. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dauan, Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Dauan, Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Menahan terjangan angin (AGUSTINUS WIBOWO)

Menahan terjangan angin (AGUSTINUS WIBOWO)

Di samping Saibai adalah pulau Australia lain bernama Dauan, berupa gunung segi tiga menjulang lancip dan hanya berpenduduk 170 jiwa. Sedangkan di seberang kedua pulau itu, di utara perahu kami, adalah desa Papua Nugini bernama Sigabaduru (atau “Siga”). Sebuah kampung besar dengan seribuan penduduk, tetapi dari perahu kami hanya melihat satu gubuk di kejauhan. Matahari sudah hampir tenggelam, dan kami belum juga sampai juga ke Buzi, yang masih sekitar dua jam dari Siga.

“Tidak bisakah kita bermalam di sini saja?” saya bertanya.

“Bisa kalau mau,” kata Marcella, “Kakakku adalah kepala kampung di sini.”

“Kamu mau mati?” kata Sisi pada saya, “Di sini banyak alkohol, orang mabuk, raskol! Mereka akan bunuh kamu!”

Saya tidak tahu harus seberapa jauh memercayainya. Raskol lebih merupakan fenomena di perkotaan, bukan di desa di mana semua orang saling mengenal satu sama lain. Tapi saya juga tidak berhak bersuara banyak di sini, karena saya hanya orang asing yang cuma membayar ongkos penumpang. Nasib saya di tangan mereka, pemilik kendaraan dan tempat tinggal.

Langit sudah mulai meremang ketika kami meninggalkan Siga. Perahu yang satu itu bermasalah lagi, mesinnya kembali jatuh ke dalam laut. Para lelaki kembali meloncat ke air untuk memperbaiki. Tetapi tidak mudah, sekarang langit sudah semakin gelap. Angin dingin semakin menusuk. Saya hanya meringkuk ketika dalam kegelapan total kami melanjutkan perjalanan ke arah barat.

Kegelapan ini mencengkamku. Di utara sana, pepohonan bakau yang rapat menutup sepanjang pesisir Papua Nugini kini telah menyatu dengan kegelapan angkasa. Gelombang laut kini begitu tenang. Tapi terlalu tenang. Dan di sinilah lokasi paling berbahaya. Kami berada di antara selat sempit antara daratan utama di utara dan satu pulau kecil di selatan, yang jauhnya tak sampai dua kilometer. Di sini terlalu dangkal, dengan hamparan koral yang sangat berbahaya untuk dilintasi orang yang tidak berpengalaman, apalagi ketika laut sedang surut seperti saat ini. Marcella mengeluh, kami tidak seharusnya melakukan perjalanan malam ini, perahu kami bisa menabrak karang dan bocor, tenggelam di sini. Apalagi daerah ini juga dihuni banyak buaya.

Di tengah kegelapan total langit malam yang tertutup mendung, kedua perahu saling memandu hanya dengan lampu senter. Saya tidak ingin apa pun lagi selain perjalanan ini cepat berakhir.

Saya melihat ke kiri, ke arah selatan. Ada taburan titik-titik cahaya yang berkilauan terang, bagai kota besar yang muncul terlalu mendadak. “Apa itu?” saya bertanya.

“Itu Boigu, Australia,” kata Marcella.

Sedangkan di sebelah kanan, di utara, hanya ada dua atau tiga titik cahaya lemah dan terkadang menghilang, seperti cahaya lilin yang diterpa angin. “Dan itu?”

“Ber, Papua Nugini. Kita tidur di sini malam ini,” kata Sisi.

Marcella berteriak-teriak dalam bahasa lokal. Dari kejauhan menyahut para lelaki, yang berlarian datang. Sisi tidak mengizinkan saya turun sebelum para lelaki tiba dan menggandeng saya sampai ke desa. Dalam malam saya merangkul erat seorang lelaki bertelanjang dada, meraba langkah, berkali-kali tergelincir. Pantai ini, sepenuhnya adalah lumpur, seperti lumpur licin di sawah padi yang baru diairi. Rasanya bagai tiba di sebuah desa primitif yang berada tepat di seberang sebuah metropolis.

Selamat datang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat datang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

12 Comments on Daru 23 Agustus 2014: Nenek Moyangku Orang Pelaut

  1. Hamfreeet, foto dan ceritanya bikin merinding. Jelas, ini pengalaman mahal, hanya beberapa manusia saja yang bisa merasakan pengalaman seperti ini. Keren!

  2. Sampai menahan napas membacanya, seru 🙂

  3. gbr peta: pulau/daratn yg warna kuning masuk wilayah PNG sedangkn yg warna hijau wilayah kekuasaan ausie. begitukah?

  4. Masyaallah….sampai nahan nafas membaca petualangan Agus.
    Semoga Agus selalu dalam lindungan Allah dan limpahan hidayahNya.

  5. Ditunggu segera bukunya Mas Agus….

  6. langsung jatuh cinta dengan tulisan dan fotonya.

    Rambut rasta sering disebut dengan dreadlock mas.. sebuah kepercayaan dari orang rastafari cmiww

    salut dengan cara penyampaian lewat kata per kata

    https://bukanrastaman.wordpress.com/

  7. walau tertinggal jauh dari jawa ternyata papua lebih baek dari png, I love papua

  8. Mas Agus, mau nanya rhs ya…. kalau Sisi membaca tulisan yang menyebutkannya petentang-petenteng megal megol dengan sandal jepit usang, kira2 protes gak ya…?

  9. Saya tercekat melihat gelombang air laut yang terpotret itu, membayangkan tubuh yang dihantam berkali-kali. Dalam kepasrahan tersebut, selain Tuhan, siapa lagikah sosok yang diingat Mas Agus dalam kecamuk badai tersebut? 🙂

  10. suka sama tulisannya, makasih mas udah mau berbagi cerita

Leave a Reply to Fahmie Ahmad Cancel reply

Your email address will not be published.


*