Tabubil 17 Oktober 2014: Apakah Saya Masih di Papua Nugini?
Kota ini mengejutkan saya. Bangunan modern berpagar-pagar berbaris rapi sepanjang dua sisi jalan beraspal mulus. Tidak ada sampah berceceran. Tidak ada bercak-bercak merah ludahan pinang di dinding maupun jalanan. Semua orang menyeberang jalan hanya pada jalur penyeberangan. Sungguh saya bertanya: Apakah saya masih di Papua Nugini?
Tabubil adalah sebuah kota kecil dan sunyi di kaki Pegunungan Bintang, dikelilingi barisan pegunungan yang diselimuti rimba tropis yang teramat lebat. Sesungguhnya, dengan lokasi yang terpencil ditambah kondisi geografisnya, Tabubil bukanlah material untuk menjadi kota modern. Curah hujan di daerah ini termasuk yang tertinggi di dunia. Lebih dari 300 hari dalam setahun, Tabubil diguyur hujan. Dan hujan di Tabubil itu sungguh bagai air bah yang mencurah dari langit tanpa belas kasihan. Awan gelap bisa menggelayut di langit Tabubil sampai berhari-hari, dan penduduk selalu pergi ke mana-mana dengan membawa payung.
Tabubil ada karena tambang. Pada tahun 1976, perusahaan pertambangan Australia, BHP, mulai bernegosiasi dengan pemerintah Papua Nugini untuk memegang kontrol atas tambang emas dan tembaga di daerah ini. Pada tahun 1981, perusahaan tambang Ok Tedi Mining Limited terbentuk dengan BHP sebagai pemegang kepentingan utama. Perusahaan inilah yang membangun Tabubil menjadi kota pertambangan.
Tabubil terletak pada sebuah jalan utama yang belum sepenuhnya beraspal, yang berawal dari kota pelabuhan Kiunga di tepian Sungai Fly, sekitar seratus kilometer di selatan Tabubil, dan berujung pada tambang Ok Tedi sekitar 30 kilometer di barat-laut Tabubil. Dan ini adalah satu-satunya ruas jalan raya yang ada di seluruh Western Province.
Sepanjang jalan, debu mengepul seperti badai pasir di gurun. Sesekali kerikil dan batu beterbangan dan bergemeletuk di badan mobil. Tetapi jangan khawatir. Kaca depan semua bus yang berlalu lalang antara Kiunga dan Tabubil dilapisi jejaring logam, untuk melindungi penumpang. “Ini wajib,” kata sopir bus kepada saya, “aturan dari perusahaan.”
Di sepanjang jalan tertulis rambu-rambu peringatan keselamatan. Tentang berapa kecepatan maksimal, tentang semua kendaraan harus minggir untuk memberi jalan pada konvoi mobil-mobil perusahaan sampai mobil terakhir dalam konvoi melintas, juga tentang bagaimana mengetahui berapa jumlah kendaraan dalam satu konvoi perusahaan. Mayoritas rambu itu dalam bahasa Inggris, tetapi ada juga yang dalam bahasa Pidgin, misalnya Go Isi Isi (dari bahasa Inggris: Go Easy Easy), yang artinya “Jalan pelan-pelan!”
Sebelum memasuki Tabubil, terdapat sebuah pos pemeriksaan yang sangat ketat. Semua penumpang diharuskan turun, lalu masing-masing membuka tas dan menunjukkan isinya. Penjaga pos menggeledah. Satu benda terlarang penting yang mereka awasi adalah pinang. Benda yang hampir selalu ada di mulut orang Papua Nugini itu diperlakukan seperti narkotika di sini, dilarang keras untuk dibawa masuk. Kota ini sepertinya bertekad bulat menjadi kota bebas pinang. Bus juga diperiksa, dan setelah dinyatakan aman, diizinkan melewati gerbang portal. Barulah kemudian semua penumpang boleh naik dan melanjutkan perjalanan masuk ke kota.
Untuk bisa masuk ke kota ini tidaklah mudah. Saya sebelumnya harus mengurus permohonan dengan mencantumkan tanggal berapa saya datang, tanggal berapa saya pergi, di mana saya tinggal, dan tujuan kunjungan. Saya berencana menginap di gereja Assembly of God, dan pendeta dari gereja itu harus mengajukan permohonan untuk menampung saya itu kepada perusahaan beberapa hari sebelum kedatangan saya. Setelah permohonan itu disetujui, barulah saya boleh datang ke kota ini. Ini seperti visa; saya tidak boleh tinggal di kota ini melebihi tanggal yang saya ajukan, kecuali saya mengurus permohonan baru.
“Semua di sini diatur oleh perusahaan,” kata pastor Aloi asal Flores, Indonesia, yang bertugas di Gereja Katolik Tabubil, “General Manager dari perusahaan adalah bos di kota ini, semua yang ada di sini adalah miliknya.” Yang memegang posisi GM perusahaan saat ini adalah seorang warga Australia yang beristrikan perempuan Thailand.
Di seluruh penjuru kota, di mana-mana terlihat rambu-rambu dan papan peringatan, menunjukkan bahwa keteraturan sangat dijunjung di sini. Tidak seorang pun yang berani melanggar aturan, karena mereka bisa ditendang oleh perusahaan. Termasuk gereja. Gereja hanya boleh beroperasi hingga pukul 22:30. Jika sampai pukul 23:00 masih ada aktivitas, maka polisi akan datang, dan jika mereka masih saja meneruskan aktivitas, maka mereka harus mengemasi barang dan bersiap pindah keluar dari kota ini.
Demikian juga dengan menampung pendatang ilegal tanpa persetujuan perusahaan. Bahkan staf perusahaan pertambangan pun dilarang keras untuk membawa tamu menginap di rumah tinggal mereka (yang tentunya disediakan oleh perusahaan) tanpa persetujuan terlebih dahulu. Bahkan untuk tamu anggota keluarga pun harus diurus dulu izinnya, dan hanya boleh menginap satu atau dua hari. Setiap saat bisa saja datang pengawas perusahaan untuk mengetuk pintu rumah staf dan mencari apakah ada pendatang ilegal. Kalau ketahuan, mereka langsung dipecat dan dipulangkan. Saya merasa seperti dunia 1984: semua harus ingat bahwa The Big Brother is watching you!
Selain pinang, benda lain yang diwaspadai di kota ini adalah alkohol. Minum tidak dilarang, tetapi mabuk di jalan sangat dilarang. Jika seseorang ketahuan mabuk-mabukan sampai tiga kali, maka orang itu akan diusir keluar kota dan tidak boleh kembali lagi.
Semua orang takut diusir, karena pada hakikatnya semua orang adalah pendatang di sini. Tabubil dihuni sekitar 10 ribu jiwa, dan lebih dari 2.000 orang adalah staf langsung dari perusahaan. Sisanya adalah keluarga, pegawai pemerintah, pelayan masyarakat, dan pelaku bisnis, dan tidak ada yang sama sekali independen dari aktivitas pertambangan. Pertambangan Ok Tedi adalah bisnis terbesar di seluruh Western Province. Pertambangan ini menyumbang lebih dari separuh dari ekonomi seluruh provinsi, dan sekitar 25 persen dari total pendapatan ekspor Papua Nugini. Tak heran, Tabubil menjadi permukiman terkaya di seluruh kawasan, dan menyedot orang dari seluruh penjuru negeri. Selain itu, komunitas ekspatriat juga cukup besar di Tabubil. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia, dengan yang terbanyak tentu adalah warga Australia, disusul Filipina.
Terlepas dari jarak Tabubil yang hanya puluhan kilometer dari perbatasan Indonesia, tidak banyak orang Indonesia di sini (kecuali kalau kau juga menghitung para pengungsi OPM dari West Papua, yang cukup banyak di kota ini dan lebih sebagai migran ekonomi daripada pengungsi politik). Di sini saya menemukan Hengky, seorang lelaki Tionghoa paruh baya asal Sulawesi yang bekerja sebagai manajer sebuah supermarket.
Tidak mudah untuk berkontak dengan Hengky. Saya sudah mengiriminya SMS berkali-kali dan tak dijawab. Barulah setelah Pastor Aloi dari Gereja Katolik memperkenalkan saya secara langsung kepadanya, dia bersedia menemui saya. Rupanya Hengky, seperti halnya kebanyakan orang di kota ini, takut kalau berbicara dengan jurnalis bisa dianggap melanggar aturan dari perusahaan.
Dia terbiasa hidup dengan kewaspadaan. Ayahnya adalah mantan anggota TNI yang pernah ikut dalam Perang Pembebasan Irian Barat, sementara di daerah ini banyak sekali pengungsi dari Irian Barat yang meninggalkan kampung halaman yang kini berada di bawah pemerintahan Indonesia. Karena itulah, terhadap orang-orang West Papua di kota ini, Hengky selalu menolak bicara soal politik; hubungan dengan mereka hanyalah soal bisnis.
Hengky pertama kali datang ke Papua Nugini pada tahun 1993; saat itu, uang kina Papua Nugini nilainya masih lebih tinggi daripada dolar Amerika. Tahun 1994 terjadi krisis politik di Papua Nugini, sehingga mata uang pun anjlok drastis. Kejahatan kriminal (raskol) pun lebih banyak di masa itu. Dia pindah ke Tabubil tahun 1997, ketika aturannya masih belum seketat sekarang, dan siapa pun masih bebas datang berkunjung.
Duduk di ruang kerjanya yang sempit di lantai atas sebuah supermarket kecil yang dikelolanya, Hengky menawari saya menyantap Pop-Mie asal Indonesia. Sambil menyeruput kuah mi, saya mendengarkan Hengky mendaftar aturan-aturan yang berlaku di Tabubil:
- Dilarang keras menyediakan kantung plastik.
- Di pasar tidak boleh menjual makanan yang sudah dimasak.
- Tidak boleh berjualan kecil-kecilan di sekitar rumah. Orang hanya boleh berjualan di tempat yang sudah ditentukan.
- Semua toko atau perusahaan yang tidak mengikuti aturan, tidak serius berbisnis, atau merugi, akan ditutup paksa.
- Kontraktor yang tidak mengikuti aturan keselamatan (termasuk jika ada yang mabuk di tempat kerja), atau jika terjadi kecelakaan, maka akan dicabut izinnya dan semua stafnya diusir.
- Syarat keamanan dan kesehatan untuk membuka warung sangat tinggi. Perusahaan akan memeriksa apakah ada tikus, makanan yang kedaluwarsa, bahkan sampai pada apakah ada kabel yang terkelupas atau putus. Begitu ada pelanggaran, warung akan ditutup dan semua pegawainya dipulangkan.
- Kabel yang putus di tempat kerja hanya boleh disambung oleh staf khusus kelistrikan. Kipas angin yang rusak hanya boleh diperbaiki oleh staf perusahaan yang terkait.
- Pekerja restoran tidak boleh pakai sandal, harus pakai sepatu bot yang sesuai standar keselamatan. Ini termasuk koki, pegawai katering, sampai pembersih. (Jika ada pegawai yang datang tidak pakai sepatu, maka Hengky akan menyuruhnya pulang, daripada jika terjadi apa-apa, misalnya kaki pegawai itu luka kena pisau, perusahaan bisa dilarang beroperasi dan semua pegawainya diusir.)
- Semua pegawai juga wajib memakai seragam, mulai dari apron, penutup kepala, masker, sarung tangan.
- Semua perusahaan katering harus mengikuti dan lulus kursus keselamatan.
- Perusahaan makanan dilarang memelihara kucing untuk menangkap tikus.
- Mengebut adalah pelanggaran serius. Polisi mengawasi dengan kamera khusus yang bisa memantau dari jarak jauh.
- Staf yang mabuk di tempat kerja langsung dipecat dan diterbangkan pulang.
- … ….
Aturan-aturan ini, yang mengatur hingga detail-detail paling kecil, terus memanjang tanpa akhir. Semuanya atas nama keselamatan. Sementara di penjuru lain negeri ini, orang-orang menjalani hidup bebas (dan berbahaya) nyaris tanpa hukum dan aturan sama sekali. Di hadapan Hengky, saya tak berhenti bertanya, “Tolong yakinkan saya, apakah benar saya masih di Papua Nugini?”
Ijin share 🙂
This looks amazing.
Selalu menarik untuk membaca tulisan mas agustinus wibowo
Sy baru tahu…
Saya juga gak percaya ini di Papua Nugini? Saya iseng search Tabubil berhubung teman ayah saya kerjanya di situ, ayahnya Expat dari Filipin dan Ibunya wanita asal Papua, Indonesia.
Wauw, masih terkesima dengan ulasan tentang Tabubil. 🙂
sungguh disiplin sekali ya kota ini