Recommended

Digo 22 Oktober 2014: Menuju Kamp OPM di Wilayah Indonesia

141022-png-journey-to-digo-2Tujuan saya datang ke sini adalah untuk mengunjungi sebuah kamp pengungsi OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kamp itu terletak di tengah hutan rimba, dan saya akan harus menyeberangi sungai-sungai yang berbahaya. Lebih aneh lagi, kamp itu ternyata terletak di dalam wilayah Indonesia!

Hujan yang mengguyur Tarakbits seharian tak kunjung reda, saya mulai gelisah. Saya tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di desa ini. Tetapi dengan cuaca begini, dan tanpa pemandu, saya tak mungkin bisa mencapai tempat itu.

Sore sekitar pukul 15, hujan mengecil, lalu berhenti. Kepala sekolah Stanis Angoro berlari tergopoh-gopoh ke rumahnya—tempat saya menginap—untuk menyuruh saya berkemas. “Cepat, ada dua murid dari desa Binkawuk mau pulang ke desa mereka. Kamu ikut mereka. Sampai di sana, kamu cari orang yang bisa antar kamu sampai ke Digo,” katanya.

Binkawuk adalah sebuah desa yang jauh lebih kecil daripada Tarakbits, katanya hanya satu jam perjalanan saja. Tetapi sungguh saya tidak menyangka, perjalanan yang bagi orang-orang sini paling mudah, justru telah membuat saya babak belur. Sekitar sepuluh menit kami berjalan meninggalkan Tarakbits, tiba-tiba hujan turun lagi dengan begitu derasnya. Tanpa payung, saya harus menaruh tas punggung saya di balik jaket. Lagi pula, jalanan di daerah ini berbukit-bukit, mendaki sangat curam lalu turun dengan curam, di tengah hutan rimba yang pekat. Dua anak lelaki yang mengantar saya itu bertelanjang kaki, mereka melesat bagai pelari. Saya berulang kali memanggil mereka untuk menunggu saya. Lebih memalukan lagi, saya terpaksa meminta mereka untuk menuntun saya. Hujan membuat tanah lempung merah sepanjang jalan ini menjelma menjadi lumpur, menuruni bukit yang curam berulang kali membuat saya tergelincir. Hujan membuat kaca mata saya basah. Langit menggelap, di dalam hutan yang lebat itu pandangan saya pun gelap. Saya hanya tahu maju, dan terus maju. Bahkan tak punya lagi energi untuk mengamati jalan yang telah saya lewati.

“Kamu tak akan bisa sampai ke Digo, jalan ke sana jauh lebih panjang dan sulit daripada ini,” komentar seorang bocah itu, ketika dia menggandeng saya menuruni bukit terjal terakhir menuju desa Binkawuk. Saya sungguh merasa seperti orang lumpuh di sini. Tiga bukit kecil ini telah membuat sekujur tubuh saya basah kuyup, sepatu saya penuh lumpur, dan semangat saya padam. Satu setengah jam perjalanan, hampir pukul 17, kami tiba.

Bocah itu membawa saya ke rumah keluarganya. Rumah panggung itu terbuat dari bilah-bilah kayu yang tidak rapat, atapnya dari daun sagu. Dia meminta saya untuk melepas celana, baju, jaket, dan sepatu saya, untuk dia keringkan di samping perapian.

Ketika langit sudah benar gelap, datanglah sang tuan rumah. Dia adalah sesosok lelaki mungil berkepala nyaris botak. Lelaki ini hanya setinggi pundak saya, mungkin hanya 140 sentimeter. Namanya Felix Ahole, berusia 46 tahun, juru doa Katolik di desa ini.

Pertama dia menginterogasi saya. Saya sangat berhati-hati menjelaskan tujuan saya datang ke sini, karena kita tidak bisa memastikan lawan bicara saya ini mendukung pihak yang mana dalam konflik kemerdekaan Papua. Tetapi Papa Felix ternyata sama sekali tidak bermasalah dengan Indonesia, atau pun identitas saya sebagai orang Indonesia.

“Saya juga sebenarnya orang Indonesia,” kata Felix dalam bahasa Inggris, “Saya lahir di sana. Paman kami adalah komandan tentara di Koramil di Kabupaten Boeven Digoel, Papua Indonesia. Dia orang asli Binkawuk. Ayahnya dulu adalah polisi di seberang batas sana, waktu Belanda masih berkuasa. Dia tidak pernah kembali lagi ke Papua Nugini, jadi warga sana, punya anak di sana, dan mendidik anak-anaknya di sana.”

141022-png-journey-to-digo-1

Teman-teman dan anggota keluarga Felix berdatangan melihat saya. Mereka semua bercerita bahwa mereka punya sanak famili di seberang batas sana, dan mereka tidak punya masalah apa pun dengan Indonesia. Yang jadi masalah justru adalah para pengungsi West Papua yang mau merdeka dari Indonesia, dan kini bermukim di tanah mereka.

Dari mereka pulalah baru saya tahu, ternyata kamp pengungsi Digo itu terletak di wilayah Indonesia. Setengah perjalanan menuju Digo, ada patok yang menandai perbatasan Indonesia dan Papua Nugini di desa Benkim.

Di antara mereka ada Samson Katem, seorang pemuda yang tingginya hanya setelinga saya. “Keluarga kami adalah pemilik tanah tradisional untuk daerah Digo, dan aku ingin mereka semua pergi dari situ.”

Kalau benar klaimnya seperti itu, maka dia adalah warga Papua Nugini yang memiliki tanah adat di wilayah Indonesia. Hal seperti ini sebenarnya cukup lazim, karena jauh sebelum garis batas internasional ditetapkan, penduduk sudah punya tanah tradisional yang melintas garis batas lurus ciptaan bangsa-bangsa Eropa itu.

“Kenapa kamu ingin mereka pergi?” tanya saya.

Pertanyaan saya itu langsung membuat semua dari enam lelaki di ruangan ini berkasak-kusuk dalam bahasa Ningerum mereka sendiri. Mereka berkasak-kusuk lama, lebih dari lima belas menit, dan saya yang tidak mengerti sepatah kata pun merasa terabaikan. Setelah itu, mereka semua hening. Samson akhirnya berkata dengan berapi-api, “Itu adalah tanahku, milikku. Aku tidak pernah memberi mereka izin. Mereka merusak alamku, berburu dan membunuh hewan-hewan dalam hutanku. Tanahku dipakai tanpa izin.” Dia menangis.

Para pengungsi OPM yang sekarang tinggal di Digo itu datang bersama gelombang akbar pengungsian dari Irian Jaya (Papua di bawah kekuasaan Indonesia) pada tahun 1984. Mereka semula tinggal di Tarakbits. Tetapi kemudian, terjadi perselisihan soal tanah dan makanan dengan penduduk setempat, akhirnya pada tahun 1987 para pengungsi ini terpaksa meninggalkan Tarakbits. Sebagian dikirim ke kamp pengungsi resmi PBB di Iowara, sebagian lagi mundur, masuk lebih dalam ke hutan: Digo.

Samson menjanjikan akan menemani saya ke Digo besok pagi. Papa Felix berkata, memang lebih baik Samson yang antar, karena lelaki tua itu sedang tak enak badan. Keesokan paginya, saya bangun dan mengenakan kembali semua baju, celana, sepatu, dan jaket saya yang masih basah, siap berangkat. Tetapi Samson sudah datang menggeret satu bocah kecil yang terus menunduk, berkata, “This fellow is sick. Hari ini saya sibuk.”

Anaknya yang sakit itu adalah alasan mendadak Samson untuk tidak bisa mengantar saya ke Digo. Papa Felix menggeleng-geleng lesu, “Bagaimana lagi? Mesti saya yang antar kamu, karena kamu adalah tamu. Padahal perut saya sakit…”

Saya yakin, Samson menyesali emosinya yang meledak-ledak saat bicara soal pengungsi OPM itu kemarin, dan kini dia takut berhadapan muka dengan mereka, sehingga mencari-cari alasan untuk tidak jadi pergi. Papa Felix yang malang, pukul 9 kami berangkat bersama, dan sepanjang jalan dia mengeluh, “Perut saya sakit…”

141022-png-journey-to-digo-4

Bertelanjang kaki sambil membawa parang, Papa Felix begitu lincah menyusuri jalan yang bersimbah lumpur karena hujan kemarin dan tadi pagi. Meninggalkan Binkawuk, perjalanan lumayan datar. Kami memasuki jalan setapak di tengah hutan yang pekat. Terkadang jalan itu tertutup rerumputan yang setinggi dada—saat itulah parang yang dibawa Papa Felix bekerja. Satu jam perjalanan, kami menemui sungai besar pertama (untuk sungai-sungai kecil, total ada belasan, saya tak hitung lagi). Papa Felix mengatakan, kita akan menyeberangi tiga sungai besar dalam perjalanan ini—dan ini sumber ketakutan saya, di samping jalan turunan yang licin oleh lumpur. Sungai ini hanya sedalam pinggang, tapi tidak terlalu lebar. Papa Felix melepas celananya. Saya juga melepas sepatu, celana, dan tas punggung saya, untuk dibawa dulu oleh Papa Felix ke seberang. Setelah itu dia balik lagi, untuk menuntun saya menyeberangi sungai Ok Tum, yang ternyata airnya begitu deras ini.

Papa Felix memutuskan kami untuk mengambil jalan pintas untuk menghemat waktu. Yang namanya jalan pintas di hutan tentu lebih sulit dilewati daripada jalan biasa. Naik bukit, turun bukit, naik lagi, dan turun lagi. Tepat sebelum sungai kedua, ada tebing terjal setinggi tiga meter yang harus saya turuni (dengan menggelesot). Sungai Ok Namet ini sedalam dada, bahkan saya harus mendongak supaya wajah saya tak basah. Proses yang sama: lepas sepatu dan celana plus baju, dituntun menyeberangi sungai, lalu pakai lagi sepatu dan celana plus baju. Papa Felix menggeleng-geleng. “Kalau seperti ini, bisa-bisa malam nanti kita baru sampai di Digo.” Dia bilang, kami baru seperempat perjalanan.

Perjalanan berikutnya lumayan datar dan panjang. Sekitar pukul 12, kami sampai di sebuah tanah lapang di puncak bukit. Papa Felix bilang, inilah perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Dia menunjuk desa di puncak satu bukit di kejauhan, mengatakan, “Itulah Benkim. Patok perbatasan ada di desa itu.”

141022-png-journey-to-digo-3

Langit cerah dan matahari yang menyengat membuat saya kelelahan luar biasa. Saya minta kami beristirahat sejenak di sini. Sambil duduk di bawah naungan rerumputan yang lebih tinggi daripada tubuh kami, Papa Felix mulai bercerita.

Dia lahir tahun 1963 di sisi Indonesia, dan pada tahun kelahirannya itu kedua orangtuanya meninggal. Abang dari ayahnya kemudian membawanya pindah dari Kobontam (di sisi Indonesia, waktu itu adalah wilayah Nugini Belanda) ke Binkawuk. “Waktu itu kami orang perbatasan bebas berpindah,” kata Papa Felix, “jadi orang lalu-lalang merawat tanah di sisi batas yang sebelah sini atau sebelah sana.”

Papa Felix tidak punya memori apa pun tentang Papua di bawah kuasa Belanda. Sama-sama tidak ada pembangunan apa-apa di sana seperti di sini, sepertinya. Kemudian dia pergi ke Kiunga, di mana dia lihat orang-orang kulit putih Australia berkuasa. Semua guru dan uskup adalah orang Eropa. Tahun 1977 dia masuk sekolah menengah di Kiunga, lalu melanjutkan studi keperawatan, dan dikeluarkan karena gagal dalam mata kuliah Penanganan Kehamilan dan Bayi (di Papua Nugini, sangat mudah pelajar dikeluarkan dari sekolah untuk hal yang paling sepele sekali pun). Dia kemudian balik ke Binkawuk, dan pada tahun 1999 dia dilantik menjadi juru doa gereja Katolik.

141022-png-journey-to-digo-5

Berada di tengah kekosongan alam ini, bicara soal batas, ternyata terasa begitu absurd. Tidak tampak batas apa-apa di sini. Hanya rimba liar dan kebesaran alam. Tetapi melintasi garis yang tak kasatmata ini, kita sudah melintas negeri, melintas sistem dan penguasa, melintas memori sejarah dan propaganda kebangsaan.

Di dua sisi batas ini, manusia-manusia berbeda yang sejatinya sama, menjalani takdir kehidupan yang sepertinya berbeda tetapi pada hakikatnya sama. Di seberang sana, mereka juga hanya menonton bagaimana kekayaan alam mereka dikeruk sedangkan mereka tetap terpuruk dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sedangkan di sini, kisah serupa juga dimainkan, cuma beda aktornya saja.

“Ketika Ok Tedi didirikan, kami belum berpendidikan, sehingga mereka memberi layanan gratis dan tanpa kami mengerti, mereka sudah membuat perjanjian dengan tuan tanah yang masih bodoh untuk mengelola tambang,” kata Papa Felix, “Setelah kami sekarang berpendidikan, mereka tetap tidak mengizinkan kami untuk bernegosiasi untuk kompensasi.”

Warga Tarakbits dan Binkawuk tidak termasuk dalam skema kompensasi Ok Tedi, karena mereka tidak dialiri langsung oleh Sungai Ok Tedi dan Sungai Fly yang tercemar. Padahal, menurut pengakuan Papa Felix, semua sungai di sini—Ok Berim, Ok Tarim, Ok Ao, Ok Ma, Ok Meni—sudah tidak ada ikannya lagi sejak pertambangan beroperasi, dan kini mereka tidak punya makanan. Itulah sebabnya, warga sini pada tahun 1994 mendirikan Asosiasi Ningerum Barat, dan memilih seorang warga desa bernama Boka Kondra sebagai pemimpin mereka. Mereka tidak terlalu digubris oleh pemerintah pusat dan perusahaan pertambangan, sehingga Boka Kondra menghimbau warga untuk memberikan suara padanya dalam pemilihan umum, sehingga dirinya bisa jadi wakil rakyat untuk memperjuangkan aspirasi mereka di ibukota. Tahun 2002, dia terpilih jadi anggota parlemen, sepuluh tahun duduk di sana, dan sekarang malah sudah jadi menteri. Tapi tetap tidak ada perubahan di sini. Hanya janji, janji, dan janji.

“Apa yang akan kau katakan, kalau kau bertemu dengan Boka Kondra di hadapanmu?” tanya saya.

“Saya tidak tahu. Dia orang besar, dia tidak akan menemui saya,” kata Papa Felix lirih.

“Andai kata. Kita hanya berandai-andai,” kata saya.

“Tidak ada. Dia orang besar. Saya hanya akan bersalaman dengannya dan tersenyum.”

“Tidak ingin mengatakan yang lain?”

“Tidak ada. Dia adalah kami sendiri, darah kami sendiri, orang kami sendiri, tetapi kenapa sekarang dia mengabaikan kami? Kami sedih, tapi kami tidak akan katakan ini padanya,” Papa Felix menunduk, sambil menggesek-gesekkan kakinya di tanah, sambil memandangi telapak tangannya yang tebal dan seruas ibu jarinya yang hilang karena terbakar di tungku perapian rumahnya waktu masih kecil dulu.

Mereka hanya korban yang bisa pasrah. Sedangkan di seberang batas sana, ada pergolakan yang sedang berlangsung, melawan keadaan dan penguasa. Tapi pada akhirnya mereka yang bangkit berjuang pun akan dihadapkan juga pada ketidakberdayaan. Para pengungsi OPM yang akan segera saya temui di Digo ini hanyalah salah satu contohnya.

141022-png-journey-to-digo-6

Kami meneruskan perjalanan. Kami sebenarnya sudah berada di Indonesia, tetapi saya tidak merasakan perubahan apa-apa. Masih alam liar dan rimba yang sama pekat dengan di sisi Papua Nugini. Menuruni bukit, kami tiba di sebuah persimpangan. Jalan itu, kata Papa Felix, adalah menuju Benkim, dan tentara perbatasan Indonesia berpatroli lewat sini untuk melihat patok perbatasan. Setelah beberapa rawa sagu, kami bersiap melintasi sungai besar ketiga, yang menjadi penanda tiga perempat perjalanan: Ok Wik.

Ini adalah rintangan terberat. Pertama, kami harus menuruni tebing yang sangat terjal setinggi lima meter (tentu saja saya menggelesot), lalu sungai Ok Wik ternyata begitu lebar dan dalam sampai ke pinggang, walaupun airnya jernih dan tenang, tetapi dasarnya adalah batu berlumut. Kami tidak bisa menyeberang langsung, tetapi menyusuri sungai itu sampai sepuluh meter (saya terpeleset berkali-kali), lalu menyeberang dengan telanjang bulat. Dan setelah itu masih harus menyeberangi satu batang kayu bulat berlumut (sangat licin setelah hujan) yang menjadi jembatan yang melintang ke bukit terjal berikutnya. Dari jembatan kayu ini, melihat ke sungai di bawah, teramat menakutkan. Tetapi Papa Felix melintas begitu santai, seperti pemain akrobat yang sudah terlalu terbiasa memainkan atraksi.

Seperempat jalan terakhir ini justru adalah yang paling sulit. Masih ada empat sungai kecil yang harus kami lewati, juga lautan rawa sagu yang lembek dan lengket lagi dalam sampai ke pinggang. Saya sudah mati rasa. Sudah enam jam perjalanan, dan kami belum makan apa-apa selain sagu untuk sarapan tadi pagi. Saya hanya bisa membuka mulut untuk bernapas, ketika kami baru saja menuruni bukit terjal dan Papa Felix menuding ke rumah gubuk di puncak bukit berikutnya.

“Digo,” katanya, “Kita sampai.”

141022-png-journey-to-digo-7

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Digo 22 Oktober 2014: Menuju Kamp OPM di Wilayah Indonesia

  1. like always, Good Journey. Nggak sabar nunggu cerita selanjutnya.

  2. Naik turun bukit terjal. Nyebrang sungai berarus deras. Lintasi rawa sagu lembek n lengket.
    Byuuuuuhhhhhhh.

  3. wow…seandainya orang baik rebutan jadi gubernur disana

Leave a comment

Your email address will not be published.


*