Recommended

Ferghana: Lembah Hijau Bertabur Konflik


Kuali Percampuran

Perjalanan sejarah bangsa Sogdia itu menunjukkan bahwa bangsa bisa terus berpindah, bercampur, bermetamorfosis, dan berganti budaya. Pada pertengahan abad ke-8, pasukan Muslim Arab menginvasi Asia Tengah, lalu menyebarkan agama Islam dan bahasa Persia. Dalam sekejap, bangsa Sogdia yang semula Buddhis pun berubah menjadi Muslim dan berbahasa Persia.

Selain itu, Asia Tengah juga diramaikan dengan kehadiran para nomad Turk, yang telah bermigrasi ratusan tahun dari tanah air asal mereka di Mongolia Utara atau Siberia Selatan. Para nomad Turk ini mencari padang rumput baru untuk ternak mereka, juga berdagang dengan para saudagar Sogdia dari Jalan Sutra. Sebagai bangsa yang masih nomad, orang Turk sangat tangguh berperang, sehingga banyak direkrut para penguasa Arab sebagai tentara-budak. Mereka pun perlahan meninggalkan kepercayaan shamanisme mereka dan menjadi Muslim. Pada abad ke-10, para tentara-budak Turk mulai menumbangkan para penguasa Arab dan Persia majikan mereka, sehingga satu demi satu bermunculan negara Turk di Asia Tengah. Penggunaan bahasa Turk pun semakin menyebar luas.

Invasi pasukan Mongol di bawah Jenghis Khan pada abad ke-13 juga menambah warna bangsa di Asia Tengah. Kawasan ini menjadi daerah kekuasaan putra kedua Khan, Chagatai. Orang-orang Mongol keturunan Chagatai kemudian mengadopsi bahasa Turk dan menganut agama Islam, sehingga menciptakan percampuran bangsa Turko-Mongol. Salah satu keturunan Turko-Mongol ini adalah Timur, sang penakluk besar dari abad ke-14 yang bercita-cita membangkitkan kembali kejayaan  Jenghis Khan. Dialah yang paling berjasa membangun kota Samarkand menjadi mahakarya seni yang dikagumi dunia.

Uzbekistan membanggakan kejayaan Jalan Sutra dalam sejarah nasionalnya. [Agustinus Wibowo]

Dari kerajaan yang dibangun Timur inilah, negara Uzbekistan modern mengklaim akar sejarahnya. Timur diagungkan sebagai Bapa Pendiri Bangsa Uzbek. Bahasa yang dipakai Timur yaitu bahasa Chagatai, sebuah dialek bahasa Turk yang penuh kosakata bahasa Persia dan banyak dipakai di Lembah Ferghana, ditetapkan sebagai standar baku bahasa nasional Uzbekistan-modern.

Namun Timur sendiri tidak pernah menyebut dirinya Uzbek. Sebaliknya, nama ‘Uzbek’ pertama kali digunakan oleh kelompok suku-suku nomad Turk pimpinan Shaybani dari padang rumput Kazakhstan yang menyerang kerajaan Timur di abad ke-15. Justru karena serangan orang-orang Uzbek inilah, raja Babur, cicit keturunan Timur yang berkuasa di Ferghana, harus kabur meninggalkan kampung halamannya dan berlindung di Afghanistan. Dari Afghanistan, Babur kemudian menyerang India dan mendirikan Dinasti Mughal di sana. Taj Mahal, bangunan peninggalan Mughal yang kini menjadi kebanggaan India, sebenarnya berakar dari sejarah dan budaya Asia Tengah, terutama Lembah Ferghana.

Sementara itu, para keturunan Shaybani yang berhasil menggulingkan kerajaan Timur, kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan Uzbek yang bertahan hingga abad ke-19. Merekalah yang berjasa membangun kota-kota peradaban Uzbek seperti Bukhara, Khiva, dan juga Koqand di Lembah Ferghana. Tetapi bangsa Uzbek-modern sudah terlanjur menganggap diri mereka sebagai keturunan Timur, sedangkan Shaybani dianggap sebagai musuh bangsa karena menyerang dan menghancurkan negara Timur. Shaybani kemudian dilupakan dalam sejarah nasional Uzbekistan, dan bahasa ‘Uzbek’ mereka juga ditinggalkan. Namun nama “Uzbek” peninggalan Shaybani tetap abadi melekat pada jati diri bangsa ini.

Jadi siapakah bangsa Uzbek yang sebenarnya?

Asia Tengah adalah sebuah kuali percampuran, dan Uzbek adalah produk dari adukan berbagai genetik, budaya, dan agama dari bangsa-bangsa yang terus berpindah dan berubah. Dalam diri mereka ada perpaduan unsur-unsur Indo-Eropa, Turk, Mongol, Persia, Arab, dan Cina. Menentukan definisi bangsa secara tegas dan pasti adalah hal yang sangat sulit, bahkan bertentangan dengan fakta sejarah. Namun justru inilah yang dilakukan para penguasa Soviet yang berkuasa di Asia Tengah pada awal abad ke-20, yang menentukan nasib berbagai bangsa yang hidup di sini, hingga hari ini.  

Penciptaan Bangsa-bangsa

Asia Tengah dipecah dalam negara-negara dan garis perbatasan yang rumit. [Agustinus Wibowo]

Setelah kaum komunis Bolshevik menggantikan Kekaisaran Rusia untuk berkuasa di Asia Tengah, para penduduk lokal memberontak melawan pemerintah komunis. Untuk mencegah para penduduk Asia Tengah kembali bersatu dan memberontak, Stalin pada tahun 1920an hingga 1930an menggambar ulang peta Asia Tengah secara total dengan garis batas yang tidak ada padanannya dalam sejarah. Dia memecah belah kawasan luas itu menjadi sejumlah negara bagian—yang disebut sebagai “Republik Sosialis Soviet”. Setiap republik inilah yang kelak akan menjadi negara-negara merdeka Uzbekistan, Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, dan Turkmenistan.

Bukan hanya menciptakan republik, Stalin juga menciptakan bangsa. Satu bangsa untuk setiap republik. Uzbek untuk Uzbekistan, Tajik untuk Tajikistan, dan seterusnya. Setiap “bangsa” ini didefinisikan atas dasar perbedaan etnik dan bahasa. Moskwa kemudian mengerahkan para antropolog, ahli linguistik, ahli etnografi, dan sejarawan untuk menjelaskan dan menetapkan definisi orang-orang mana saja yang disebut Uzbek, atau Tajik, atau Kirgiz. Ada bangsa-bangsa yang dihapus namanya, ada bangsa-bangsa yang dilebur, ada bangsa-bangsa yang direkayasa kelahirannya. Bangsa-bangsa ini pun bisa berganti nama sesuai hasrat penguasa di Moskwa, seperti misalnya Kazakh yang semula disebut Kirgiz, dan Kirgiz yang semula disebut Kara-Kirgiz.

Pusat pemberontakan melawan Bolshevik adalah Lembah Ferghana, sehingga lembah ini menjadi target utama Moskwa dalam upaya pemecahbelahan ini. Lembah ini dipecah untuk tiga negara—Uzbekistan, Kirgizstan, dan Tajikistan—dengan garis batas yang paling tidak masuk akal. Wilayah ketiga negeri itu dibuat saling kait-mengait, sehingga mereka akan saling berseteru satu sama lain. Pertikaian akan membuat mereka sibuk sendiri sehingga lupa untuk menggalang kekuatan melawan Moskwa, dan sebaliknya, justru semakin bergantung pada Moskwa untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.

Perbatasan yang rumit di Ferghana menyebabkan banyak orang Uzbek “terdampar” di dalam wilayah Kirgizstan. [Agustinus Wibowo]

Ini adalah rencana akbar yang genius. Tetapi tentu tidak ada yang mengira bahwa Soviet bisa runtuh pada tahun 1991. Setelah itu, republik-republik Soviet ciptaan Stalin di Asia Tengah ini mendadak naik status menjadi negara-negara merdeka, dan garis batas di antara mereka pun naik status menjadi garis batas internasional. Perkara garis batas ini saja sudah menimbulkan banyak masalah baru, karena jalan raya, rel kereta api, jaringan listrik, dan saluran air dari satu negara sering melintasi wilayah negara lain. Misalnya, untuk bepergian dengan kereta api dari Ferghana ke Samarkand, yang sama-sama berada di Uzbekistan, orang harus melewati wilayah Tajikistan yang bermusuhan dengan Uzbekistan. 

Masalah perbatasan yang ruwet itu sangat nyata di Ferghana. Pada tahun 2008, saya pernah mengunjungi sebuah desa Halmiyon, yang tepat terletak pada perbatasan antara Uzbekistan dan Kirgizstan. Di desa ini, garis batas itu melintang di tengah jalan gang sempit di tengah desa. Rumah-rumah yang berjajar di sebelah kiri gang adalah Uzbekistan, sedangkan yang di sebelah kanan gang adalah Kirgizstan. Penduduk bebas hilir-mudik menyeberangi gang ini. Mereka bebas “keluar negeri”, bahkan sampai seratus kali dalam sehari kalau mereka mau, tanpa merasakan apa-apa. Bahkan garis batas itu juga ada yang melintang di tengah rumah warga, yang membuat dapurnya berada di Kirgizstan sedangkan kamarnya di Uzbekistan. Penghuni rumah itu setiap hari makan di Kirgizstan dan tidur di Uzbekistan.

Semua orang yang tinggal kampung kecil ini sejatinya adalah orang-orang etnik Uzbek yang sama, bicara bahasa Uzbek yang sama dan menjalankan tradisi Uzbek yang sama. Namun sekarang, anak-anak yang tinggal di sisi gang Uzbekistan pergi ke sekolah Uzbekistan, di mana mereka belajar bahasa nasional Uzbek, memuja pahlawan-pahlawan nasional Uzbekistan, dan merayakan sejarah peradaban Jalan Sutra. Sedangkan anak-anak yang tinggal di sisi Kirgizstan harus pergi ke sekolah Kirgizstan, belajar bahasa Kirgiz, dan mengisi otak mereka dengan memori kejayaan leluhur bangsa nomad padang rumput. Asuhan sekolah dua negeri berbeda akan membesarkan anak-anak yang semula sama itu menjadi dua bangsa berbeda dengan nasib yang sama sekali berbeda.

Halaman Selanjutnya

1 2 3

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Ferghana: Lembah Hijau Bertabur Konflik

  1. Selalu enak dibaca….

  2. gamblang dan sangat jelas, saya suka

  3. Ternyata sangat rumit sekali ya persoalan-persoalan yg ada di wilayah Asia Tengah. Bersyukur hidup di Indonesia yg masih bisa damai dan tentram tanpa harus mengalami konflik yg menegangkan dan berbahaya dengan negara tetangga.

  4. Tulisannya panjaaangggg tapi tetap nyandu utk dibaca smp akhir.👌👍

  5. Bacaan gurih menemani perjalanan, bersyukur Indonesia merasakan damai

Leave a comment

Your email address will not be published.


*