Antara Perempuan, Agama, dan Keberagaman
Mata perempuan itu terpejam dalam hening dan damai. Kakinya bersila dalam posisi lotus, dia duduk bermeditasi di atas stupa. Sikap tangannya membentuk dharmachakra mudra, perlambang kebijaksanaan sebagaimana ditunjukkan Sang Buddha ketika mengajarkan dharma. Tapi yang membuatnya istimewa, kepala perempuan itu dibalut kerudung Islami.
Ini adalah patung luar biasa, yang menjadi alasan utama saya mengunjungi Jakarta Biennale, yang digelar di Museum Nasional, Jakarta. Patung dari batu dan resin ini dinamai Sri Naura Paramita, merupakan karya seniman muda Alfiah Rahdini.
Kepada saya, Alfi mengatakan bahwa karya ini terinspirasi dari arca Prajnaparamita yang dilihatnya di Candi Gayatri, Tulungagung. Arca ini sering dianggap menggambarkan kecantikan sempurna perempuan Jawa kuno. Arca yang dia saksikan itu sudah kehilangan kepala dan tangannya, namun itu membuat Alfi tersadar, betapa awamnya dia terhadap kesenian Hindu-Buddhis peninggalan Majapahit itu. Juga betapa asingnya dia terhadap budaya dan peradaban luhur leluhurnya sendiri.
Sepulang dari perjalanan itu, Alfi kemudian mulai melakukan riset, dan menemukan bahwa pembuatan patung itu didasarkan pada kitab suci Prajnaparamita Sutra, yang mengajarkan “kesempurnaan dalam kebijaksanaan”. Riset itu mengilhaminya membuat patung menyerupai Prajnaparamita versi modern, dengan menggunakan cetakan dirinya sendiri. Dia duduk dalam postur meditasi, mengenakan celana panjang dan hijab, tanpa melepas kacamata yang selalu menemaninya sehari-hari. Di pergelangan tangannya juga masih melingkar arloji pintar Xiaomi. Demikianlah terlahir Sri Naura Paramita, Prajnaparamita versi Indonesia abad ke-21.
“Ini seperti melihat masa lalu dari sudut pandang masa kini,” jelas Alfi.
Karya ini sangat menarik bagi saya, karena menggabungkan tiga unsur yang berkelindan sekaligus tak jarang berkontradiksi satu sama lain: perempuan, identitas keagamaan, dan keberagaman.
Saya beruntung, kunjungan saya ke Jakarta Biennale kali ini bertepatan dengan acara diskusi tentang karya Alfi ini. Dua pembicara lainnya juga kebetulan ada kawan baik saya: Inaya Wahid putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan penulis sekaligus jurnalis Feby Indirani.
Acara dibuka dengan Inaya yang berjubah hitam panjang duduk bersila di depan patung karya Alfi dan membacakan cerpen karya Feby. Cerpen berjudul “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya” ini mengisahkan tentang Annisa yang tiba-tiba saja kehilangan hidungnya. Tentu itu hal yang aneh, tapi Annisa tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari karena dia mengenakan niqab, yang menutupi seluruh wajahnya kecuali mata, sehingga wajah-tanpa-hidungnya tidak terlihat siapa pun. Annisa sendiri semula memakai jilbab biasa, tetapi suaminya mengatakan bahwa itu tidak cukup untuk perempuan salihah. Demikianlah Annisa memakai niqab, yang membuatnya tetap bisa melihat dunia luar tapi tidak mengizinkan dunia melihat wajahnya. Seiring waktu, Annisa kehilangan sebagian demi sebagian dari wajahnya, hingga akhirnya bibirnya pun hilang, dan dia menjadi perempuan yang kehilangan wajah.
Cerpen karya Feby itu menggambarkan realitas perempuan Muslim urban Indonesia. Sebagai perempuan Muslim yang besar di era rezim Orde Baru Suharto, Feby menyaksikan sendiri bagaimana jilbab telah mengalami pergeseran makna yang luar biasa. Banyak anak muda di zaman sekarang yang mungkin tidak tahu, bahwa di masa Orde Baru itu pemakaian jilbab sempat dilarang di ruang publik. Jilbab pada masa itu menjadi perlambang kebebasan dan simbol perlawanan terhadap rezim.
Tapi, setelah runtuhnya Orde Baru, terjadi perubahan yang bertolak belakang. “Jilbab semakin dirayakan, yang tidak memakai kerudung kini telah menjadi minoritas,” jelas Feby. “Setelah itu, pakai jilbab saja kemudian tidak cukup. Kerudungnya kurang syari. Jilbab pendek harus semakin panjang, baju semakin panjang, muka harus ditutup. Muncul pula perda-perda syariah yang pertama-tama mengatur tentang pakaian perempuan. Semakin beriman seseorang dianggap akan terlihat dari penampilannya.”
Perdebatan tentang apakah jilbab adalah simbol kebebasan ataukah represi terhadap perempuan adalah debat yang kompleks. Feby mencontohkan kasus di Eropa, tentang guru TK yang dilarang memakai niqab, karena wajah yang tidak terlihat itu bisa mengurangi interaksi antara guru dengan siswa. Ini kemudian menjadi polemik, apakah pelarangan itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan ekspresi beragama.
Tentu ini bukan masalah hitam putih yang mudah dikatakan mana benar dan mana salah. Melalui cerpen “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya” itu Feby mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang pemakai niqab, yang merasakan bahwa niqab itu justru memberinya kebebasan dan kemerdekaan pada pemakainya dari tatap mata lelaki, sekaligus rasa amannya karena mematuhi perintah suami dan agama.
“Ada begitu banyak aspek yang berkelindan di balik jilbab,” timpal Inaya. “Masalah ini tidak semata-mata soal A adalah benar dan B adalah salah.” Dia mengakui bahwa mereka bertiga yang berbicara di mimbar ini sama-sama telah menjadi minoritas hari ini, sebagai perempuan Muslim yang “tidak solehah” menurut standar orang-orang karena tidak berjilbab. “Jilbab telah menjadi penanda ‘Dia adalah dari kelompok kami’ atau ‘Dia bukan dari kelompok kami’.”
Inaya melontarkan sebuah lelucon yang pernah dikatakan ayahnya dulu. Saat itu Gus Dur ditanyai orang-orang mengapa di Bantul terjadi gempa. Gus Dur pun menukas, “Karena Nyi Roro Kidul dipaksa pakai jilbab.”
Itu adalah lelucon yang mengandung banyak makna, dan bisa membangkitkan perenungan mendalam tentang agama, spiritualitas, dan identitas. Tapi di masa sekarang, siapa yang berani membuat lelucon seperti itu? Bisa-bisa dia diseret ke pengadilan dengan dakwaan penistaan agama.
Gus Dur bisa begitu karena dia adalah Gus Dur, yang bahkan tidak mungkin ditiru oleh putrinya sendiri. “Aku ingin ketawa tapi aku takut dipersekusi,” kata Inaya. “Di zaman sekarang ketawa saja bisa dipersekusi, apalagi bikin lelucon seperti itu.”
Inaya mengakui, di masa sekarang ini dia bahkan harus berpikir sangat-sangat panjang sebelum memposting apa pun pikirannya di media sosial. Tak jarang dia menulis status di Facebook, tapi kemudian dihapusnya sebelum sempat dipublikasi karena takut. Ketakutan itu membuat di tak henti-hentinya melakukan sensor terhadap dirinya sendiri.
Bahkan untuk acara hari ini pun, Inayah semat mengusulkan mengenakan kerudung, hijab, atau niqab saat membacakan cerpen “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya” karya Feby, agar lebih menjiwai tokoh Annisa dalam cerita itu. Tetapi setelah melalui berbagai pertimbangan, dia dan Feby akhirnya memutuskan untuk tidak memakai kerudung sama sekali.
“Bayangkan, betapa sulitnya kami perempuan hari ini untuk menentukan pakaian kami sendiri,” kata Inaya.
Karya seni yang baik bukan hanya memukau dari sisi estetika belaka, tetapi sanggup membangkitkan perenungan mendalam dari metafora-metaforanya, bahkan membangkitkan perdebatan dalam dimensi kehidupan nyata yang lebih luas. Patung “Sri Naura Paramita” karya Alfi ini tentunya adalah karya yang demikian.
Sama seperti Inaya dan Feby, Alfi pun harus melewati banyak sekali pertimbangan untuk mengekspresikan pemikiran melalui karya-karyanya. Pasca Orde Baru, muncul banyak tekanan baru yang memaksa sejumlah seniman yang berhenti berkarya. Menyanyi dianggap haram, menari dianggap haram, melukis dianggap haram. Terlebih lagi, membuat patung.
“Patung di ruang publik sering dipersekusi karena dianggap berhala,” jelas Alfi. “Persekusi juga terjadi terhadap patung perempuan yang menampilkan bagian tubuh tertentu, yang dipandang keliru menurut interpretasi agama tertentu.”
Padahal, seni membuat patung dan pahat batu adalah tradisi yang telah berlangsung di Nusantara selama berabad-abad. Patung karya Alfi ini melibatkan unsur-unsur dari tradisi Hindu-Buddhis yang telah ribuan tahun menjiwai Nusantara, seperti misalnya teratai, postur samadhi, dan posisi mudra. Prajnaparamita sendiri menunjukkan kebhinekaan dalam sistem Majapahit, sinkretisme yang menonjolkan energi perempuan yang merangkul agama, budaya, dan segala aspek kehidupan lainnya. Alfi kemudian menggabungkan identitas Nusantara masa lalu itu dengan konteks masa kini, yaitu perempuan berjilbab yang kini telah menjadi mayoritas di Indonesia modern.
Karya patung ini membangkitkan sejumlah polemik. Terlepas dari begitu banyak pujian yang diterima, Alfi juga menerima sejumlah serangan dari orang-orang memprotes mengapa unsur agama-agama yang berbeda-beda itu dicampuradukkan. Dan tepat semalam sebelum diskusi ini berlangsung, terjadi kasus yang cukup serius terkait patung ini.
Seorang pengguna internet di sebuah kota kecil Sumatra melihat foto patung ini dari iklan Jakarta Biennale, dan menggunakannya sebagai foto profilnya sendiri di Whatsapp. Tiba-tiba dia mendapat ancaman dari sebuah ormas keagamaan tertentu di daerahnya yang menuntut dia meminta maaf secara terbuka atas pemasangan foto itu. Kalau tidak, dia akan diseret ke pengadilan dengan dalih penistaan agama.
Kasus itu menunjukkan kekakuan pemikiran tentang identitas, agama, dan spiritualitas di kalangan masyarakat awam. Padahal, sejarah, budaya, dan peradaban sebuah bangsa itu senantiasa berubah. Identitas itu pun cair, bercampur, saling memengaruhi, dan senantiasa berubah. Demikian pula dengan nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas, semuanya terus berubah bersama aliran kehidupan yang tiada berhenti.
Sri Naura Paramita adalah sebuah pengingat bagi orang Indonesia akan budaya dan identitas leluhur sendiri. Di balik keindahannya, tersembunyi begitu banyak makna kebijaksanaan, yang apabila direnungi, akan memperkaya kehidupan batin kita di masa kini.
Leave a comment