Recommended

Tajikistan

Selimut Debu 56: Ladang Candu

Jarak dari Faizabad menuju kota Ishkashim di timur hanya 160 kilometer. Tetapi seperti halnya seluruh jalanan di Badakshan, jalanan ini pun berdebu, tidak beraspal. Transportasi sangat sulit dan tidak terjamin. Provinsi yang sejuk ini termasuk daerah paling tertinggal di Afghanistan. Bahkan ibukota provinsi pun sama sekali tidak memiliki jalan beraspal. Selama di Faizabad aku tinggal di rumah seorang jurnalis merangkap petani bernama Jaffar Tayyar, di pinggiran kota. Seperti biasa, semua kendaraan umum jarak jauh berangkat pagi-pagi buta karena bepergian di negeri tanpa jalan beraspal dan tanpa listrik di malam hari sangatlah berbahaya. Untuk mencapai terminal bus Faizabad, aku harus meninggalkan desa tempat tinggal Tayyar sejak pukul 4 subuh. Tidak ada kendaraan yang langsung menuju Ishkashim. Semua harus berhenti dulu di Baharak, 42 kilometer atau sekitar 2 jam perjalanan dari Faizabad, dengan ongkos Af 150 (US$3).  Baharak adalah dusun pasar yang teramat biasa. Di sinilah kita bisa menemukan kendaraan menuju Ishkashim. Semua kendaraan baru berangkat ketika penumpang penuh, tapi Ishkashim bukanlah tujuan yang umum, sehingga jadi berangkat atau tidaknya sangat tergantung pada keberuntungan. Aku beruntung karena ketika aku tiba di Baharak, ada sebuah kendaraan Toyota 4WD (yang bertuliskan besar-besar “ATOYOT”, mungkin yang menulis adalah orang Afghan yang terbiasa menulis dari kanan [...]

January 13, 2014 // 4 Comments

#1Pic1Day: Perjalanan Mematikan | Perilous Journey (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

   Perilous Journey (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Pamir was supposed to be winter settlement of the Kyrgyz herdsmen, before the international borderline dividing Afghanistan with British India and Soviet Union was fixed. Once the border was enforced, the Kyrgyz were locked in Pamir for all seasons through the year. The road to Little Pamir, used to pass through some easier paths in today’s Tajikistan, now is 5-day journey on horseback through the perilous steep paths next to high cliffs. Perjalanan Mematikan (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Pamir seharusnya adalah lokasi permukiman musim dingin dari masyarakat gembala Kirgiz, sebelum ditetapkannya perbatasan internasional yang memisahkan Afghanistan dari British India dan Uni Soviet. Setelah perbatasan diberlakukan, para nomaden Kirgiz terkunci di Pamir untuk keempat musim sepanjang tahun. Jalan menuju Pamir Kecil, dulunya adalah lintasan yang jauh lebih mudah di wilayah yang sekarang Tajikistan, tetapi kini berupa perjalanan mematikan lima hari berkuda melintasi jalan setapak yang curam di pinggir [...]

October 8, 2013 // 6 Comments

#1Pic1Day: Danau Agung | The Great Lake (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

The Great Lake (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Lake Chaqmaqtin, the second biggest lake in Afghan Pamir after Zor Kol or Lake Victoria, is the water source of Murghab River. The lake is 9 kilometer and 2 kilometer in size. The lake water provides life to several nomadic Kirghiz settlements nearby. The north bank of the water body is the winter settlements while the south bank is for summer period. Behind the snow-capped mountains at the north side is Tajikistan’s Gorno Badakhshan Autonomous Oblast region. Danau Agung (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Danau Chaqmaqtin, danau terbesar kedua di Pamir Afghan setelah Danau Victoria (Zor Kol), adalah sumber air utama bagi Sungai Murghab yang mengaliri Pamir di sisi Afghanistan maupun Tajikistan. Danau ini panjangnya 9 kilometer dan lebarnya 2 kilometer. Air danau menghidupi sejumlah permukiman nomaden Kirgiz di sekitarnya. Sisi utara danau adalah daerah permukiman di musim dingin, sedangkan sisi selatan danau adalah untuk musim panas. Di belakang pegunungan bertudung salju di sebelah utara danau itu adalah wilayah Tajikistan. [...]

October 7, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 77: Sekali Lagi, Visa Oh Visa…

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Bila diingat, perjalanan saya di Asia Tengah melintasi negara-negara pecahan Uni Soviet ini, selalu disibukkan dengan urusan visa. Kira-kira hampir separuh konsentrasi saya habis hanya untuk memikirkan trik-trik melamar visa. Seperti diketahui, paspor Indonesia bukan yang terbaik untuk melancong di sini. Kita tidak bisa nyelonong begitu saja ke kedutaan negara Stan untuk minta visa, tanpa terlebih dahulu mengurus yang namanya ‘letter or invitation‘ atau dalam bahasa kerennya disebut priglashenie, surat undangan. Surat undangan ini harus direstui dulu oleh kementerian luar negeri negara yang dituju, melalui proses berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Salah satu cara mudah untuk mendapatkan priglashenie, terutama untuk Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Uzbekistan, adalah dengan menghubungi biro perjalanan di negara yang akan dituju. Kantor-kantor travel di sana sudah terbiasa memenuhi permintaan priglashenie. Dengan hanya membayar 30 dolar dan menunggu paling lama dua minggu kita sudah bisa mendapatkan surat undangan dari negara yang dimaksud. Ini baru surat undangan, prasyarat untuk bikin visa. Visanya sendiri bermacam-macam ceritanya. Ingat kedutaan Tajikistan di Kabul yang benderanya terbalik-balik dan diplomatnya menjual visa seperti calo menjual tiket waktu Lebaran? Di Dushanbe, kedutaan Kyrgyzstan juga cukup antik karena hanya buka sehari dalam seminggu. Di Bishkek, kedutaan Uzbekistan punya kegemaran mengadakan ujian [...]

September 30, 2013 // 6 Comments

#1Pic1Day: Menggapai Harapan | Grabbing Hopes (GBAO, Tajikistan, 2006)

Grabbing Hopes (GBAO, Tajikistan, 2006) School children from an elementary school in Langar are happily exercising in the school garden. Despite the isolation and economic backwardness of the GBAO province, education is always on top priority of local governments. The literacy rate is almost 100% and little primary schools are available in main villages. Menggapai Harapan (GBAO, Tajikistan, 2006) Murid-murid sekolah dari sebuah SD di Langar, GBAO, Tajjikistan, sedang bermain di halaman sekolah. Walaupun provinsi GBAO terisolasi total dan tertinggal secara ekonomi, pendidikan selalu menjadi prioritas pemerintah daerah. Tingkat melek huruf hampir mencapai 100 persen, dan bangunan sekolah dasar tersedia di desa-desa yang terjauh sekali [...]

September 27, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Peninggalan KGB | KGB Legacy (GBAO, Tajikistan, 2006)

KGB Legacy (GBAO, Tajikistan, 2006) The Pamir border town of Murgab is among the host of Tajikistan’s last Lenin statues. The statue is located near the offices of the former KGB and the police militia. After the independence of Central Asian nations, anything Soviet-related was removed from sight. Lenin statues and street names were replaced by those of national heroes, and Cyrillic script replaced by Latin. Peninggalan KGB (GBAO, Tajikistan, 2006) Kota perbatasan Murghab di Pamir memiliki salah satu dari beberapa patung Lenin yang masih tersisa di Tajikistan. Patung itu terletak di dekat bekas kantor KGB dan kantor polisi. Setelah kemerdekaan negara-negara Asia Tengah, banyak peninggalan bekas Uni Soviet yang dihancurkan atau dipindahkan. Patung-patung Lenin dan nama jalan Lenin diganti dengan ikon pahlawan lokal (sekarang menjadi pahlawan nasional), dan huruf-huruf Sirilik di sejumlah negara telah diganti menjadi huruf [...]

September 26, 2013 // 0 Comments

#1Pic1Day: Sesudah Perang | Life After War (GBAO, Tajikistan, 2006)

Life After War (GBAO, Tajikistan, 2006) Madam Dudkhuda is a typical town dweller in the Pamir Mountains. She works as bread baker, earning less than US$20 per month, while her geologist husband only earns about US$150 a year. There is no adequate job offered by the government, so most people in the mountainous province become unemployed or underemployed. Recently some NGOs like the Aga Khan Foundation and Acted provided some training programs to the communities, as well as microcredit financial aid, to help the rebuilding of the economy after years of civil war. Sesudah Perang (GBAO, Tajikistan, 2006) Nyonya Dudkhuda adalah seorang warga kota biasa dari Pegunungan Pamir. Dia bekerja sebagai pembuat roti, dengan pendapatan kurang dari US$ 20 per bulan, sementara suaminya yang bekerja sebagai ahli geologis hanya memperoleh US$ 150 per tahun. Kurangnya pekerjaan yang dapat disediakan oleh pemerintah menyebabkan sebagian besar penduduk di provinsi pegunungan ini menjadi pengangguran atau setengah pengangguran. Saat ini beberapa LSM internasional seperti Aga Khan Foundation dan Acted telah menyediakan program pelatihan kepada masyarakat, juga bantuan finansial dengan skema mikrokredit, untuk membantu pembangunan ekonomi pasca tahun-tahun perang [...]

September 25, 2013 // 2 Comments

#1Pic1Day: Mata Hijau, Rambut Pirang, … dan dari Tajikistan | Green Eyes, Blond Hair, from Tajikistan (GBAO, Tajikistan, 2006)

Green Eyes, Blond Hair, from Tajikistan (GBAO, Tajikistan, 2006) In Tajikistan and parts of northern Afghanistan, it’s not uncommon to meet people with green eyes and blond hair. Some people said, they were descendants of Alexander the Great (known as “Sikander”). But according to ancient mumies archeological findings, the area around Taklamakan basin in Central Asia was inhabited by Caucasoid people some thousand years Before Christ. Mata Hijau, Rambut Pirang, … dan dari Tajikistan (2006) Di Tajikistan dan sebagian Afghanistan utara, cukup banyak dijumpai orang-orang bermata hijau dan berambut pirang. Ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari Iskandar yang Agung dari Makedonia (di daerah itu masih banyak nama “Sikander”, terjemahan lokal dari Aleksander atau Iskandar). Tetapi menurut penemuan mumi [...]

September 24, 2013 // 2 Comments

#1Pic1Day: Perjalanan Menembus Angkasa | A Journey through Sky (Ainy Pass, Tajikistan, 2006)

  A Journey through Sky (Ainy Pass, Tajikistan, 2006) With high mountains covering 93% of its total area, Tajikistan is blessed with natural beauty but cursed by the relating problems, especially transport. Traveling through high passes becomes impossible in winter as the mountains are covered by snow. During Soviet Union era, travel from the capital Dushanbe to the northern city of Khojand (formerly Leninabad) used to be possible through the lowlands of Uzbekistan. But since the independence, worsening relations between Uzbekistan and Tajikistan have forced travelers to go through high mountain passes: Ainy (3378 m) and Anzob (3372 m). The Chinese government is now helping with projects to repair the road and build tunnels to make the trip possible all year round.   Perjalanan Menembus Angkasa (Ainy Pass, Tajikistan, 2006) Dengan pegunungan tinggi yang menutupi 93 persen wilayahnya, Tajikistan diberkahi dengan keindahan alam yang dahsyat, tetapi juga dikutuk dengan banyaknya masalah terutama di bidang transportasi. Bepergian melintasi puncak-puncak gunung tinggi menjadi mustahil di musim dingin, karena pegunungan tertutup salju. Pada era Uni Soviet, perjalanan dari ibukota Dushanbe ke kota Khojand (dulunya Leninabad) di Tajikistan utara bisa dilakukan melalui dataran rendah di Uzbekistan. Tetapi sejak kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia Tengah, juga [...]

September 23, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)) Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan. Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek [...]

September 3, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 24: Cita Rasa Osh

Restoran Laghman Uyghur (AGUSTINUS WIBOWO) Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, adalah sebuah kejutan luar biasa setelah mengalami beratnya hidup di GBAO-nya Tajikistan. Kota ini, walaupun dikelilingi gunung-gunung, suhunya sangat hangat. Osh adalah kota dalam definisi yang sebenarnya, dengan hiruk pikuk manusia dan segala kesibukannya. Bukan kota-kota di GBAO macam Khorog dan Murghab yang hanya menyimpan kisah sedih pegunungan terpencil. Arus mobil dan bus kota berseliweran tanpa henti. Jalanan pasar penuh sesak oleh orang-orang yang berbelanja. Gedung-gedung tinggi berbentuk balok berbaris sepanjang jalan. Penduduk Osh adalah percampuran berbagai suku bangsa. Ada orang Kyrgyz yang berwajah Mongoloid. Ada orang Uzbek yang berwajah keturki-turkian. Ada gadis-gadis Korea yang berpakaian modis. Banyak juga orang Rusia dan Tatar yang berkulit putih pucat. Dering ringtone telepon seluler seakan tak pernah putus di tengah riuh rendahnya pasar kota Osh. Tetapi kejutan yang paling menggembirakan setelah meninggalkan GBAO adalah, saya tidak akan pernah kelaparan di Osh. Dalam bahasa Tajik, Osh memang berarti makanan. Apakah memang ada hubungan antara kata ini dengan melimpahnya makanan lezat di Osh? Duduk di atas dipan, sambil menghirup panasnya secangkir teh hitam dan menyaksikan mengalirnya sang waktu adalah kebiasaan kakek-kakek Uzbek dan Kyrgyz melewatkan hari mereka di Osh. Sambusa, pastel kecil berbentuk segitiga [...]

July 17, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 23:Perbatasan di Puncak Gunung

  Jalan mendaki menuju Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO) Saya bagun pagi-pagi sekali, sekitar pukul tujuh. Udara masih teramat dingin meski langit baru mulai terang. Rasa cemas karena visa saya bakal berakhir hari ini membuat tidur saya tidak lelap. Setiap detik yang terbayang hanya penjara Tajikistan.  Mungkin memang karena bintang jatuh, di tengah udara pagi yang dingin saya melihat dua truk Kamaz melintas. Saya melompat kegirangan. Sementara anak buah Khurshed memeriksa rombongan kedua truk itu, suami Tildahan membantu saya ber-chakchak, bernegosiasi dengan para supir, yang bersedia mengangkut saya sampai ke Sary Tash di Kyrgyzstan. Sary Tash adalah kota pertama Kyrgyzstan dari perbatasan Tajikistan. Negosiasi berjalan lancar. Deal, 20 Somoni.  Dengan perasaan lega, saya lemparkan backpack ke dalam truk dan melompat naik. Saya duduk dengan manis sambil tersenyum-senyum sendiri mengingat kegelisahan tadi malam. Di kejauhan gunung-gunung raksasa berbaris sepanjang jalan. Kamaz berjalan pelan. Supir-supir tidak berbicara bahasa Tajik sama sekali. Mereka juga bukan orang yang ramah. Saya berusaha memecah kekakuan dengan berbagai gurauan kecil, tetapi mereka hanya memandang saya sinis dari sudut mata mereka yang lancip. Tak apalah. Pemandangan di luar sana begitu agung. Barisan gunung-gunung bersalju sambung-menyambung. Jalan beraspal terkadang merayap mendaki dengan sudut kemiringan yang nyaris tegak. Tak dinyana, kendaraan sebesar [...]

July 16, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 22: Keluarkan Saya dari Sini!!!

  Dusun Karakul di pinggir danau (AGUSTINUS WIBOWO) Terjebak di tempat terpencil ini dengan visa yang sudah hampir habis berarti bencana. Penjara Tajikistan bukan tempat yang asyik bagi wisatawan. Tetapi, saya hampir tak tahu lagi bagaimana caranya keluar dari sini. Sebenarnya, kemarin ada truk yang melintas. Khurshed berteriak-teriak memanggil saya dan menyarankan untuk ikut dengan truk yang akan pergi ke Kyrgyzstan. Namun, karena batas waktu visa saya masih dua hari lagi, saya katakan saya masih ingin menikmati indahnya danau Karakul yang menyimpan kesunyian penuh misteri ini. Hari ini, saya bangun pagi-pagi, menyaksikan cantiknya matahari merekah di atas kesunyian danau dan barisan rumah-rumah balok. Angin dingin bertiup kencang, menerpa wajah, dan membekukan setiap partikel kotoran dalam hidung. Sakit sekali. Di tengah dinginnya angin, di bawah langit biru yang kemudian berubah menjadi gelap berselubung awan, saya menanti kendaraan lewat. Dua jam menunggu, sejauh mata memandang, 25 kilometer ke utara dan 10 kilometer ke selatan, sama sekali tidak ada kendaraan yang tampak. Saya lihat truk Kamaz melintas tepat pukul dua belas siang. Ini adalah kendaraan pertama yang saya lihat sejak pagi tadi. Begitu kecewanya saya mengetahui bahwa penumpang sudah penuh. Saya tahu betapa membosankannya bekerja di sini sebagai tentara perbatasan. Yang ada hanya [...]

July 15, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 21: Danau Kematian

Karakul, danau besar di puncak atap dunia, adalah sebuah danau raksasa. Tak ada kehidupan di dalamnya.  Dalam bahasa Kirghiz, Karakul berarti danau hitam. Danaunya sendiri tidak hitam, malah biru kelam memantulkan warna langit yang cerah. Yang hitam adalah kehidupannya. Dalam danau yang sangat asin ini, tak ada satu pun makhluk yang bisa hidup. Danau ini tercipta oleh sebuah meteor yang jatuh menghantam bumi, jutaan tahun silam. Biksu Buddha Xuanzang, ribuan tahun yang lalu, pernah lewat sini. Marco Polo pun pernah melintas. Kini, danau ini masih menyimpan misteri dalam keheningannya. Di dekat danau ada sebuah dusun kecil. Penduduknya berasal dari etnis Kirghiz , hanya ada satu orang Tajik. Saya sebenarnya dikenalkan oleh orang-orang di Murghab untuk menginap di rumah orang Tajik yang polisi ini. Tetapi, ketika saya sampai di Karakul, si polisi sudah tidak tinggal di sini lagi. Saya pun menginap di sebuah rumah keluarga Kirghiz yang memang sudah dipersiapkan oleh organisasi Perancis, Acted, di Murghab, sebagai losmen untuk melayani orang asing. Keluarga ini tidak bisa bahasa Tajik, tetapi si suami bisa sedikit-sedikit. Setidaknya mereka bisa menyanyikan lagu kebangsaan Tajikistan dengan bangga, “Zindabosh e vatan Tajikistan e azadi man…,” walaupun tidak tahu artinya sama sekali. Tildahan, istrinya, seorang wanita muda yang [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 20: Bagaimana Caranya Keluar dari Sini?

Bazaar Kota Murghab (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimana caranya keluar dari Murghab? Saya sudah tak sabar lagi ingin keluar dari kota yang penuh dengan kemuraman hidup ini. Apalagi, visa Tajikistan saya hanya tersisa empat hari. Saya harus selekasnya masuk ke Kyrgyzstan sebelum visa kadaluwarsa. Murghab memang bukan tempat yang nyaman untuk menunggu kendaraan. Sudah dua hari saya menunggu di pasar Murghab yang sepi dan malas itu. Begitu pula dua orang backpacker bule, orang Israel dan Amerika, yang saya temui di sana. Di sini, tidak seperti di Langar, banyak sekali mobil. Tetapi, tidak ada penumpang. Orang tidak mampu membayar karcis perjalanan yang melambung. Harga bensin di Murghab 3.40 Somoni per liter, lebih murah daripada di Langar yang terpencil. Selain kami bertiga, tidak ada lagi yang berniat pergi ke Kyrgyzstan. Melihat backpacker bule  para supir tidak mau melewatkan kesempatan berharga. Tiga ratus dolar, tidak bisa ditawar, untu menyewa jeep sampai ke kota Osh di Kyrgyzstan sana. Saya tidak tertarik untuk menyewa kendaraan. Angka ratusan dolar jauh sekali di atas kemampuan dompet saya. Tapi, Si Turis Amerika sudah tidak sabar lagi. Visanya berakhir hari ini. Kalau dia tidak berada di Kyrgyzstan malam ini juga, nasibnya akan berakhir di tangan para tentara Tajik yang rakus, atau [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 19: Di Atas Reruntuhan Mimpi

Gulnoro dan kesusahan hidupnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Murghab memang didirikan di atas sebuah mimpi: sebuah kota perbatasan Uni Soviet yang tangguh di puncak pegunungan Pamir. Orang-orang dari lembah Wakhan, Shegnon, bahkan Kyrgyzstan, datang ke sini untuk membangun harapan dan impian itu. Tetapi negeri impian tidak selalu indah. Kota ini terisolasi dari dunia luar setelah perang saudara meletus di negara baru Tajikistan. Penduduk bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga tak punya makanan. Mereka tak seberuntung orang-orang desa yang masih bertahan hidup dari ladang-ladang dan kebun. Di Murghab, orang hanya punya sepetak rumah. Tak ada uang, berarti juga tak ada makanan. Saya menginap di rumah Gulnoro, wanita berumur 54 tahun, adik khalifa Yodgor dari desa Langar. Gulnoro sudah lama sekali tidak melihat kakaknya. Terakhir kali dua tahun lalu. Jarak dari Murghab ke Langar tak lebih 270 kilometer, tetapi paling murah orang harus membayar 50 Somoni, sekitar 15 dollar. Sedangkan gaji Gulnoro sebagai guru sekolah dasar hanya 80 Somoni per bulan, itu pun masih berat untuk menghidupi keluarganya. Pulang kampung ke Langar adalah prioritas kesekian dari tumpukan tuntutan hidup. Suami Gulnoro tidak bekerja. Beig, 56 tahun, sudah hampir setahun ini menganggur. Dulu dia bekerja di Rusia. Karena kemiskinan negerinya, banyak sekali pria-pria Tajik yang [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 18: Kisah Seorang Geologis dari Murghab

Komplek rumah bobrok dan kosong di pinggiran Murghab. [AGUSTINUS WIBOWO] Barisan rumah muram dengan bayang-bayangnya yang seram menyambut kami ketika tiba di komplek perumahan yang ditinggali Dudkhoda di pinggiran kota Murghab. Seperti rumah hantu, lusinan rumah reyot yang atapnya ambruk dengan dinding yang mengelupas berbaris dan bersaf di komplek ini. Sepertinya hanya keluarga Dudkhoda yang tinggal di tempat ini. Rumah-rumah lain tak berpenghuni. Tetapi, barisan rumah yang hampir rubuh ini mengajarkan sesuatu yang paling berharga dalam perjalanan saya ke Murghab. Tentang cinta dan pengharapan. Rumah Dudkhoda hanyalah sepetak ruangan berukuran 3 kali 4 meter yang dihuninya bersama istri dan dua orang anaknya, ditambah seekor kucing kecil. “Musim dingin di Murghab sini dingin sekali, jadi rumah kecil itu yang bagus,” Dudkhoda beralasan menutupi kekurangannya. Puterinya yang baru berumur 9 tahun langsung sibuk mengiris kentang yang dibawa ayahnya ketika saya dan rombongan supir-supir truk Kyrgyzstan datang. Istrinya menyiapkan penggorengan penuh dengan minyak. Para supir dan kernet dari Kyrgyzstan duduk mengelilingi meja kecil. Tak ada listrik. Mata orang-orang Kirghiz berkelap-kelip memantulkan sinar lampu petromaks yang menggantung di langit-langit. Saya menangkap rasa lapar yang amat sangat  di mata itu. Dudkhoda menyiapkan sepoci teh hijau. Tak ada gula. Ia tak punya uang. Harga gula mahal, [...]

June 9, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 17: Padang Gembala

Anak-anak Kirghiz bermain di dekat truk Kamaz. (AGUSTINUS WIBOWO) Semalam di Alichur, tidur di dalam stolovaya, di atas lantai dingin dan dibungkus selimut tebal yang kotor, mungkin bukan idaman semua petualang. Supir-supir truk yang tidak saya kenal dan saya ingat wajahnya, kecuali satu dua orang saja, tidur berjajar seperti ikan yang digelar di pasar. Dalam kegelapan total, suara dengkuran sahut menyahut, seakan bersaing dengan lolongan anjing-anjing gembala di luar sana. Tak bisa tidur, saya membuka mata. Yang terlihat hanya hitam. Tiba-tiba sebuah tangan merangkul saya. Di warung yang sempit ini memang tidak banyak tempat. Saya berbagi tikar dan selimut dengan Dudkhoda, pria Tajik yang menjadi teman bicara saya. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia sudah pulas. Tapi, tidak terdengar dengkuran dari mulutnya. Ada hembusan napas yang lebih cepat dari biasanya. Saya diam saja. Tiba-tiba telapak tangan asing itu meraba-raba tubuh saya. Aduh, apa lagi ini? Bau vodka tercium kuat. Dudkhoda tidak sedang tidur lelap. Sepertinya ia butuh sesuatu untuk pelampiasan hasratnya. Suara dengkuran supir-supir Kirghiz masih bersahutan tanpa henti, seperti konser orkestra. Perjuangan Dudkhoda pun tidak pernah berhenti. Berkali-kali saya mengembalikan tangan itu ke tempat yang seharusnya. Berkali-kali pula tangan itu mendarat lagi di atas tubuh saya. Malam [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 16: Semalam di Alichur

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua kesusahan hidup di Tajikistan, yang paling berat adalah transportasi. Langar memang sangat terpencil. Letaknya bukan di jalan utama, sehingga dalam sebulan mungkin hanya ada satu kendaraan saja yang lewat. Saya ingin meneruskan perjalanan ke utara, menuju Pamir Highway yang menghubungkan Tajikistan dengan Kyrgyzstan, negara tujuan saya berikutnya. Tetapi menunggu satu bulan di Langar tentu saja bukan pilihan. Visa Tajikistan, yang saya beli dengan harga 250 dolar di Kabul, hanya memberi saya ijin tinggal satu bulan. Khalifa Yodgor memang orang baik. Tahu kesulitan saya, ia membantu mencarikan saya kendaraan yang akan membawa saya melanjutkan perjalanan. Pemilik mobil yang satu ini memang sudah lama menganggur. Tahu saya ingin ke Alichur, dia langsung mengeluarkan sederetan hitung-hitungan yang membuat kepala saya pening. “Jarak Langar ke Alichur 120 kilometer. Pergi pulang 240 kilometer. Naik turun gunung, 1 liter bensin cuma untuk 3 kilometer. Kamu paling tidak harus memberi 80 liter bensin.” “Bisa bayar tidak pakai uang?” “Terserah kamu, mau bayar pakai bensin atau bayar pakai uang?” Apakah dia menganggap saya sebagai suplier bensin yang selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Atau memang di sini, di mana BBM langka sampai harganya mencekik leher, bensin [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 15: Tajikistan Sudah Kuat

Pembukaan jembatan Afghanistan – Tajikistan. Tilo dan seorang komandan Tajik bernegosiasi dengan para pejabat Afghan di tengah jembatan. (AGUSTINUS WIBOWO) Impian orang-orang desa, baik di Tajikistan sini maupun di Afghanistan sana, tentang sebuah pertemuan kembali, masih berupa impian. Bazaar bersama yang disambut dengan penuh suka cita itu ternyata hanya buka sekali saja. Jembatan kembali disegel, dijaga ketat oleh penjaga perbatasan yang tak kenal kompromi. Tiga bulan lalu, saya mengintip-ngintip Tajikistan dari seberang sana. Bersama dengan para petinggi Afghan yang penuh dengan mimpi dan harapan. Saya melihat secuil Tajikistan: beberapa tentara Tajik yang dengan fasih berbicara bahasa Persia, menandatangani surat-surat dan mengucapkan selamat kepada Shah dari Panjah. Saya datang kembali ke jembatan ini. Kali ini dari sisi Tajikistan, mengintip-intip Afghanistan yang berupa barisan gunung gundul di seberang sana. Tempat ini sepi. Mati. Tentara perbatasan Tajikistan menjaga rapat-rapat pintu gerbang menuju jembatan. Mereka juga perlahan-lahan dibunuh kesepian dan kebosanan. Tentunya tentara-tentara muda ini datang ke sini bukan karena pilihan mereka. Sebagian besar mereka datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang dari kota modern Dushanbe, ada yang dari kota Khojand jauh di utara sana. Mereka datang ke sini karena terpaksa. Anak-anak muda ini sedang menjalani wajib militer. Di Tajikistan semua pemuda wajib mengikuti [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

1 2 3 4 5