Recommended

kebanggaan

Selimut Debu 48: Masa Lalu Gemilang

Mungkin masa lalu gemilang itu telah berlalu… Dengan sepeda motornya, Nikzat membawaku ke Tapa Sardar, peninggalan Buddhis di Ghazni. Tapa Sardar terletak sedikit di luar kota, dekat dengan jalan raya utama. Musafir China termasyhur, Hsuan Tsang dari Dinasti Tang mengunjungi situs religius ini pada tahun 644 M. Dari catatan perjalanannya, tertulis bahwa di tempat ini terdapat stupa raksasa di puncak bukit, ditemani dua bangunan yang mempunyai dinding yang diukir indah. Tetapi hampir sama sekali tidak tersisa apa-apa di sini. Seorang lelaki yang bekerja untuk Departemen Kebudayaan Ghazni berkata padaku bahwa Taliban telah menghancurkan segalanya yang ada di sini. “Masa lalu yang gemilang sudah berlalu sama sekali.” Menyedihkan. Afghanistan telah kehilangan ribuan tahun peradaban bersejarah hanya karena perang beberapa puluh tahun. Berabad-abad kejayaan dihapus hanya oleh beberapa tahun kebodohan. Sesungguhnya Tapa Sardar sudah hancur jauh lebih awal daripada itu. Juga karena perang. Sebuah catatan lain dari sejarawan Arab mengatakan, kehancuran pusat peradaban Buddhis di sini sudah dilakukan pada abad ke-8 M oleh serdadu Muslim. Saat itu, Ghazni perlahan berubah fungsi dari pusat peradaban Buddhis menjadi pusat peradaban Islam, dan raja-raja Muslim dari Arab maupun Afghanistan sangat terkenal dalam upaya mereka menghancurkan “berhala-berhala” agama Hindu atau Buddha, mulai dari Afghanistan, Pakistan, hingga [...]

January 1, 2014 // 2 Comments

Garis Batas 75: Bahasa Uzbek

Bahasa Uzbek, huruf Rusia masih terlihat di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Konon Lembah Ferghana adalah pusat peradaban bangsa Uzbek. Orang-orangnya bicara bahasa Uzbek yang paling murni dan halus. Saya merasakan kesopanan yang luar biasa, karena orang tua di Lembah Ferghana bahkan menyapa anak-anaknya dengan siz – Anda, dan bukannya san – kamu – seperti orang-orang Uzbek di tempat lain.  Bagaimanakah asal-muasal Bahasa Uzbek? Ratusan tahun lalu, bahasa ini masih belum lahir. Yang ada adalah bahasa Turki Chaghatai, dari rumpun bahasa Altai. Sama seperti ketika itu nama Bahasa Indonesia belum ada, karena orang hanya kenal bahasa Melayu. Bahasa Uzbek menjadi penting, ketika tahun 1920’an, etnis-etnis Asia Tengah ‘ditemukan’, dan masing-masing bangsa harus punya bahasanya sendiri.  Pertanyaannya, bahasa yang mana yang layak menjadi Bahasa Uzbek? Sebelum tahun 1921, yang disebut ‘Bahasa Uzbek’ adalah bahasa Kipchak, yang dipakai di sekitar Bukhara dan Samarkand. Bahasa ini sangat rumit, karena seperti halnya bahasa Kirghiz, juga punya banyak aturan keharmonisan vokal. Pada saat itu, bahasa Qarluq yang dipakai di Ferghana dan Kashka-Darya dikenal sebagai Bahasa Sart. Tata bahasanya lebih mudah, karena tidak memakai harmonisasi vokal. Bahasa Sart, dipakai oleh umat Muslim yang sudah tidak nomaden, kaya akan kosa kata dari Bahasa Arab dan Persia. Selain itu, di [...]

September 26, 2013 // 5 Comments

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO) Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana.  Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet.  Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika [...]

September 20, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 70: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (2)

Bocah-bocah Uzbek di sekolah Kirghiz (AGUSTINUS WIBOWO) Gulshan adalah sebuah desa di Uzbekistan yang dipotong-potong oleh garis perbatasan Kyrgyzstan yang hanya para komrad Soviet dan Tuhan yang tahu apa mengapanya. Ada perbatasan di tengah gang kecil, ada keluarga yang dipecah-pecah oleh batas negara, ada bangunan rumah yang separuh ikut Uzbekistan separuh ikut Kyrgyzstan. Tepat di sebelah Gulshan, ada desa Halmiyon. Orang-orangnya, kulturnya, rumah-rumahnya, bahasanya, semua sama persis dengan Gulshan, yang cuma sepuluh langkah kaki jauhnya. Bedanya, di Halmiyon yang berkibar adalah bendera merah Kyrgyzstan. Saidullo mengendarai mobil Tico-nya, made in Uzbekistan, membawa saya melintasi jalan setapak di belakang desa. Jalan ini tak beraspal dan becek. Gunung-gunung salju berjajar di hadapan. Itu gunungnya Kyrgyzstan, Negeri Gunung Surgawi yang memang tak pernah lepas dari gunung dan salju. Sebenarnya jalan setapak ini juga sudah masuk wilayah teritorial Kyrgyzstan. Saya sedang dalam misi penyelundupan lintas batas tanpa paspor masuk ke wilayah Kyrgyzstan secara ilegal. Tetapi kata Saidullo, ini sudah biasa, orang-orang Halmiyon pun tidak mungkin bisa hidup tanpa interaksi dengan Gulshan, demikian pula sebaliknya. Apalagi pernikahan internasional antara penduduk dua desa sudah sangat lazim. Saidullo mengemudikan kendaraannya ke pusat Halmiyon. Saya dibawa ke sebuah sekolah, gedungnya berdiri megah, papan namanya bertulis “Sekolah Toktogul No. [...]

September 19, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 69: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (1)

Presiden kita, kebanggaan kita. (AGUSTINUS WIBOWO)) Desa Gulshan di selatan kota Ferghana ini memang tidak tampak istimewa. Deretan rumah berbaris di sisi sebuah gang sempit yang tidak beraspal. Dari depan rumah kita tidak bisa melihat kehidupan si empunya rumah. Kultur orang Uzbek membungkus rumahnya rapat-rapat di balik tembok. Inilah satu hal yang membuat tempat ini berbeda. Orang-orang yang rumahnya di berada di sisi kiri gang memegang paspor Uzbekistan, sementara di sebelah kanan adalah warga negara Republik Kirghizia. Saya masih terpesona dengan lapangnya ruang tamu di rumah Temur Mirzaev, seorang kawan Uzbek yang belajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Ruangan ini begitu lapang, karpet-karpet merah menyala menghiasi dinding. Tiga buah bohlam lampu menggantung tersebar begitu saja di sudut-sudut ruangan. Tiba-tiba satu bohlam mati. Yang dua tetap nyala.             “Listrik Uzbekistan putus,” kata Saidullo. Listrik Uzbekistan? Maksudnya? “Lampu tadi disambung dengan listrik dari Uzbekistan,” jelas Saidullo, “sedangkan yang dua ini pakai listriknya Kyrgyzstan. Musim dingin begini, biasa, listriknya Uzbekistan sering putus.” Ketika rumah-rumah lain kegelapan gara-gara pemadaman listrik mendadak, rumah ini tak akan pernah gelap gulita karena ada cadangan listrik dari negara tetangga. Rumah Temur berada di sisi jalan yang menjadi wilayah Kyrgyzstan. Kakek Hoshim, Nenek Salima, Saidullo, istri Saidullo dan [...]

September 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 67: Air Mata Pengantin

Kelin Salom (AGUSTINUS WIBOWO) Seperti kata orang, tidak ada senyuman terhias di wajah seorang kelin, mempelai wanita Uzbek. Yig’lama qiz yig’lama, jangan menangis, gadisku, jangan menangis. Demikian lagu Yor-yor mengalun sentimentil, mengiringi sang kelin memasuki kehidupannya yang baru. Butir-butir air mata membasahi pipinya. Kelin muncul dari balik pintu, diiringi sekelompok wanita tua yang semuanya berkerudung. Pakaiannya putih berpadu dengan rompi panjang hitam berbodir indah. Wajahnya ditutup selembar kain putih transparan yang penuh dengan sulaman. Kedua tangannya terbuka lebar, masing-masing memegang ujung kain yang menutupi kepalanya. Kelin membungkukkan badan, perlahan-lahan. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Inilah gerakan salom-salom, memberi salam, menghormati wanita-wanita dari keluarga mempelai pria. Kelin berbelok ke kiri, tiga kali salom-salom, ke kanan, tiga kali salom-salom. Kepala sang kelin terus tertunduk. Tak ada senyum kebahagiaan layaknya pengantin-pengantin di negara kita. Di sini, semuanya berjalan serius, diiringi lagu Yor-yor yang sangat berat menekan perasaan. Selembar kain sutra atlas bermotif wajik-wajik merah, kuning, hijau, dan putih digelar di atas tanah. Kelin berdiri di ujung kain itu, menghadap ke arah rumah. Di ujung lainnya, satu per satu wanita dari keluarga kuyov – mempelai pria, memberikan hadiah-hadiah kepada kelin. Kelin memberikan salom-salom tiga kali, yang kemudian langsung dipeluk oleh wanita dari keluarga [...]

September 16, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 66: Yor-Yor

Yor-yor (AGUSTINUS WIBOWO) Adakah yang lebih sempurna dari ini, menghadiri pesta pernikahan tradisional Uzbek di jantung peradaban Uzbekistan, Lembah Ferghana? Yor-yor mengalun lembut menyebar tangis, ibu-ibu tua berkerudung menari-nari, dan mempelai perempuan sesenggukan di balik cadar. Kebetulan sekali waktu saya masih asyik menghabiskan waktu di pabrik sutra Yodgorlik di Margilan, ada orang yang membagikan sobekan kertas undangan pernikahan. Acaranya besok pagi. “Sudah, datang saja,” kata Firuza. Tetapi saya kan tidak diundang. “Tak masalah. Orang Margilan sangat suka kalau acara pernikahannya didatangi orang asing. Malah kadang undangan disebar sembarangan di pasar-pasar.” Dengan muka setebal tembok, saya datang ke alamat yang tertulis di atas sobekan kertas undangan itu. Bukannya dicerca pertanyaan macam-macam, saya malah disambut tuan rumah dengan penuh kehangatan. Keramahan Lembah Ferghana di Uzbekistan memang tidak perlu diragukan lagi. Para tamu pria duduk di halaman, yang sudah dipasangi tenda dan berdinding karpet-karpet bermotif indah. Merah menyala. Tamu-tamu mengenakan chapan, jubah tebal yang sebagian besar berwarna gelap, cocok untuk musim dingin begini. Kakek-kakek tua mengenakan topi bulu hitam, tinggi dan besar. Tuan rumah segera menyiapkan roti nan dan teh hijau, bagian tak terpisahkan dari meja makan Uzbekistan. Melihat ada tamu asing yang datang, tuan rumah buru-buru memperkenalkan saya ke anggota keluarga. Saya [...]

September 13, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 65: Plov

Makan malam bersama. (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini sutra, di sana sutra. Kehidupan di kota sutra Margilan memang tak terpisahkan dari ipak, sutra. Tetapi yang membuat saya lebih terpukau adalah keramahan dan kemurahan hati orang-orang Lembah Ferghana, seperti yang telah saya dengar sejak lama. Lembah Ferghana disebut-sebut sebagai jantungnya kebudayaan Uzbek. Bahasa Uzbek yang paling murni katanya berasal dari sini. Lembah ini ditinggali lebih dari 8 juta penduduk, yang menjadikannya sebagai tempat terpadat di seluruh penjuru Asia Tengah. Di sini pulalah agama Islam mengakar kuat dalam keseharian, bercampur dengan adat dan kebudayaan. Tetapi yang paling membuat penduduknya bangga adalah keramahtamahan yang konon tiada bandingannya di mana pun. Tidak sulit untuk membuktikannya. Saya yang tidak sampai sehari di Margilan, langsung diajak Firuza Turdameyeva untuk menginap di rumahnya yang tersembunyi jauh di dalam gang di pinggiran kota Margilan. Gadis Uzbek yang cantik jelita ini bekerja sebagai desainer kain sutra. Kulit Firuza putih bersih. Matanya besar dan bulat. Hidungnya mancung. Senyum selalu terkembang di bibirnya yang secantik delima. Wajahnya benar-benar boleh dikatakan sebagai kecantikan tipikal Uzbek, kecantikan yang berasal dari Lembah Ferghana. Tetapi Firuza bukan tipe gadis desa. Pakaiannya modis, roknya cuma sedengkul. Saya heran bagaimana dia bertahan dalam udara yang sedingin ini. Sepatu [...]

September 12, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 64: Di Sini Sutra di Sana Sutra

Selamat datang di negeri sutra (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menghela nafas lega ketika berhasil melepaskan diri dari Halim, yang masih ingin terus menempel ke mana pun saya pergi. Tetapi, petualangan kemarin ke kantor polisi cukup sudah, dan saya tidak mau setiap malam harus tidur merangkul erat-erat tas kamera. Akhirnya Halim hanya minta 5.000 Sum untuk ongkos pulang, dan pergi dengan tertunduk lesu. Masih dengan jantung yang berdebar-debar, saya memutuskan melanjutkan perjalanan untuk menemukan apa yang saya cari-cari selama ini. Kota Ferghana adalah kota besar di seluruh Lembah Ferghana, dengan barisan gedung yang semuanya berbentuk kotak, di pinggir jalan yang diteduhi pohon-pohon rindang. Tetapi Lembah Ferghana, bukan hanya kota Ferghana. Orang yang datang ke sini pasti bertanya-tanya, “Mana lembahnya?” Sejauh mata memandang, ke segala penjuru, tak tampak sama sekali gunung apa pun. Lembah ini luas sekali, sampai 22 ribu kilometer persegi, sampai orang pun lupa berada di lembah.  Kota-kota berdiri di dasar lembah, mulai dari Margilan kota Sutra, Andijan tempat lahirnya Raja Babur, hingga Kokand kesultanan agung Asia Tengah, semakin menyemarakkan lintasan sejarah Uzbekistan. Lembah Ferghana ini adalah salah satu perhentian utama di zaman Jalan Sutra, oasis bagi karavan-karavan unta berduyun-duyun melintasi gunung-gunung surgawi, barisan Pegunungan Tien Shan dan Pamir, membawa segala [...]

September 11, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)) Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan. Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek [...]

September 3, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 52: Asyiknya Belajar Bahasa Indonesia

Pelajar bahasa Indonesia di Tashkent (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya tari-tarian Indonesia yang ikut menyemarakkan keindahan khasanah budaya Uzbekistan, orang-orang Uzbek pun mulai belajar bahasa nasional kita. Gedung yang terletak di jantung kota Tashkent ini bernama Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sinilah Temur Mirzaev, mahasiswa asal Lembah Ferghana berusia 20 tahun, mendalami Bahasa Indonesia. Temur boleh dikata adalah mahasiswa yang kemampuan bahasa Indonesianya paling menonjol diantara mahasiswa lainnya. Selain menjadi yang terbaik di sekolahnya, ia juga berhasil mendapat beasiswa satu tahun belajar Bahasa Indonesia di Surabaya, mengikuti program Dharmasiswa yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui KBRI. Tak heran dia sama sekali tidak kesulitan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan saya. Bahkan ia sesekali menggunakan kata-kata bahasa gaul yang otentik, seperti cuek, curhat, nih, dong, deh. “Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,” kata Temur bercerita, “saya suka kulturnya, budayanya, alamnya…” Kebetulan nama Temur, dibaca ‘Timur’, pas sekali dengan propinsi Jawa Timur. Di Surabaya Temur tinggal di kost-kostan di tengah gang kampung dan sempat menghadiri acara pernikahan tradisional Jawa Timuran di Kediri. Temur pun terbiasa makan nasi putih, mie instan, dan menjalani kehidupan kampung. Mungkin karena kenang-kenangannya akan Surabaya dan Indonesia, ia menjuluki saya ‘Mas Jagoan’. [...]

August 26, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 51: Ada Indonesia di Uzbekistan

Ozoda dan murid-muridnya (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak banyak negara seperti Uzbekistan. Bukan hanya terkunci daratan, semua negara yang mengelilinginya di keempat penjuru pun sama-sama tak punya lautan. Demikian jauhnya Uzbekistan dari laut, sampai ke utara, selatan, timur, barat, untuk mencapai lautan harus lewat setidaknya dua negara. Tetapi itu bukan berarti orang sini tidak peduli dengan Indonesia, negeri romantis berdebur ombak nun jauh di seberang lautan sana. “Setangkai anggrek bulan…, yang hampir gugur layu….” lagu tempo doeloe mengalun lembut di gedung kepemudaan Samarkand, kota bersejarah Uzbekistan yang terkenal dengan untaian monumen peradaban. Para penonton yang terkesima, ikut berdiri, dan mengayun-ayunkan badannya mengikuti irama lagu kepulauan yang mendayu-dayu. Kalau tidak diberi tahu bahwa yang menyanyi bukan orang Indonesia, melainkan orang Uzbek tulen, saya pun tak percaya. Lafal penyanyinya fasih, iramanya pas, dan emosinya sudah tepat, walaupun kemudian saya menemukan bahwa penyanyinya sendiri tidak tahu apa artinya. Tepuk tangan bergemuruh mengakhiri persembahan lagu Indonesia oleh sepasang penyanyi Uzbek itu. Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan tari-tari tradisional, yang nama-namanya pun tidak semuanya saya kenal, macam Badinding, Sukaria, Piring, Batik, Puspito, dan Yapong. Semuanya dibawakan oleh pelajar-pelajar Uzbek dari Samarkand, dan saya hanya bisa terkesima. Saya dibawa ke sini oleh staff penerangan Kedutaan Besar [...]

August 23, 2013 // 1 Comment