Garis Batas 85: Bukan Emas Tulen
Abad emas menyelimuti seluruh penjuru negeri Turkmenistan. Patung-patung emas berdiri menyambut datangnya era baru, lengkap dengan slogan, semboyan, motto, dan berbagai ragam jargon. Altyn Asyr, Abad Emas, apa pun namanya, kini menjadi salah satu frase yang paling banyak disebut-sebut di negeri ini.
Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Marat yang penduduk asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa saja dan terus datar tanpa perubahan.
Umurnya baru dua puluhan, tetapi wajahnya sudah nampak tua sekali. Mungkin karena kebosanan luar biasa setiap hari kerut-kerut baru muncul di wajahnya.
“Turkmenistan ini sama sekali bukan tempat untuk bekerja,” keluhnya, “tidak ada uang di sini.”
Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mobil, pendapatannya berkisar antara 30.000 hingga 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil sebenarnya, cukup untuk membeli selembar tiket pesawat terbang domestik atau setengah piring nasi plov di pasar.
Tetapi masalahnya tak banyak mobil yang bisa dicuci di ibukota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak kehilangan sumber pemasukan.
“Masih jauh lebih baik Uzbekistan. Orang-orang di sana lebih cerdas dan pintar, tahu bagaimana caranya mencari uang,” keluhnya lagi.
Senada kisahnya dengan Mikail, seorang warga keturunan Rusia.
“Hidup di Turkmenistan sangat sulit. Kami tidak punya uang dan pekerjaan untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Sebagai seorang etnis Rusia, beban hidup jadi berlipat ganda.
“Kalau kamu tidak bisa bahasa Turkmen, kamu tidak bisa bekerja. Semuanya sekarang ditulis dalam bahasa Turkmen. Saya cuma bisa baca huruf Rusia. Saya sudah tinggal di sini 40 tahun, tetapi tidak bisa juga bahasa mereka,” tuturnya.
Sungguh tragis jalan hidupnya. Dari seorang mekanik armada laut, Mikail kini bertahan hidup sebagai pedagang sayur. Dari teritori laut yang menggelorakan kebanggaan Uni Soviet, mulai dari Aral, Kaspia, hingga ke Baikal, kini hidupnya tertawan di pojokan pasar Ashgabat.
Turkmenistan, seperti halnya Uzbekistan dan Kyrgyzstan, mengambil langkah ekstrim mengharamkan semua hal yang berbau-bau Soviet pada masa awal kemerdekaannya. Bahasa nasional dipromosikan dan bahasa Rusia ditanggalkan. Yang tidak bisa bahasa nasional, terutama etnis Rusia, kehilangan pekerjaan. Infrastruktur pendidikan dan ilmu pengetahuan, yang semula hanya dalam bahasa Rusia, langsung dikonversi habis-habisan ke dalam bahasa lokal, yang sebenarnya masih belum cukup siap. Akibatnya terjadi eksodus besar-besaran para ilmuwan dan teknisi Rusia. Ekonomi macet.
Kyrgyzstan, setelah mengalami beberapa kali demonstrasi besar-besaran dan kehancuran ekonomi, akhirnya mengembalikan kembali bahasa Rusia di tempat terhormat. Di Tashkent, populasi etnis Rusia tinggal orang-orang yang super kaya dan yang super miskin, karena kebanyakan kelas menengah sudah beremigrasi ke luar negeri. Turkmenistan, yang sedang berusaha mencapai zaman utopis abad emas, juga menghasilkan sebuah generasi orang-orang Rusia yang terus tertekan, terperosok kelas sosialnya, terkenang kejayaan masa-masa Soviet dulu, dan terpaksa melewatkan hari-hari dengan berat hati.
Rumah Mikail terletak di sebuah apartemen kuno tak jauh dari pusat kota. Lantainya dari kayu. Bau apek langsung menyergap ketika pintu dibuka. Anak lelakinya berwajah Asia, mungkin karena faktor genetis istri Mikail yang orang Turkmen jauh lebih kuat. Si bocah langsung sibuk menyiapkan teh tanpa gula sementara saya duduk-duduk di sebuah ruangan yang dinding-dindingnya dilapis permadani.
“Empat puluh tahun aku hidup di sini. Aku sudah bernafas bersama Turkmenistan. Hanya satu dosaku, tak bisa bahasa Turkmen. Itu saja. Dan itulah yang menjadi sumber segala penderitaan ini,” terang dia.
Diskriminasi bukan hanya dirasakan etnis minoritas macam Mikail. Istrinya, yang orang Turkmen asli, sampai sekarang masih belum bisa juga jadi pegawai negeri. Sebabnya karena ia datang dari kota Turkmenabat dan tidak dianggap sebagai warga Ashgabat penuh. Nasibnya pun berakhir sebagai pedagang sayur di pojok pasar.
Saya tenggelam dalam lembar demi lembar koleksi prangko Mikail. Prangko Turkmenistan memang indah, penuh dengan gambar-gambar warna-warni. Hampir semuanya berisi propaganda, tentang kejayaan, masa depan yang gemilang, Abad Emas yang membentang, welas asihnya Turkmenbashi, kesucian Ruhnama, dan seterusnya. Mikail juga bercerita tentang anak gadisnya yang akan menari di lapangan peringatan kemerdekaan nanti sore, memuja-muja kebesaran Turkmenbashi, Ruhnama, dan Abad Emas. Anehnya, ada sedikit nada bangga terselip di wajahnya, terlepas dari segala keluh kesahnya tentang kebijaksanaan Turkmenbashi.
Altyn Asyr adalah sebuah utopia yang dijanjikan oleh sang Turkmenbashi. Dengan cadangan minyak dan gas alam yang sangat besar, dengan penduduk hanya lima juta jiwa, dengan sifat netralitas Turkmenistan yang konon diagung-agungkan oleh seluruh masyarakat dunia, Turkmenbashi menjanjikan rakyatnya untuk mencapai angka GDP per kapita sama dengan Kuwait.
Alih-alih menjadi Kuwait-nya Asia Tengah, Turkmenistan malah menempuh jalan isolasi total yang mirip dengan Korea Utara. Satu dekade lebih berselang, gaji rata-rata penduduk Ashgabat masih berkutat di angka 50 dolar. Sudah bukan berita lagi kalau gaji pegawai negeri tidak turun berbulan-bulan. Turkmenbashi bahkan pernah menghapuskan uang pensiun, yang menyebabkan para orang tua malang terkatung-katung hidupnya.
Bersamaan dengan dimulainya Abad Emas, Turkmenistan semakin jauh dari dunia normal. Selain nama hari dan bulan yang aneh-aneh, Turkmenbashi juga mengeluarkan dekrit-dekrit ajaib, seperti anjuran pada generasi muda untuk mengunyah tulang demi kesehatan gigi, larangan bagi pria untuk berambut panjang dan berjenggot, larangan pertunjukan balet dan opera, larangan kepada pembaca berita untuk memakai kosmetik, penutupan rumah sakit dan perpustakaan di desa-desa, dan segala proyek-proyek pembangunan fantastis seperti Turkmen Disneyland, istana es di tengah padang pasir, patung emas yang berputar mengikuti matahari, gedung-gedung megah berarsitektur Eropa, sampai air mancur terbesar di dunia.
Saya berdiri dengan penuh takjub di hadapan monumen Arch of Neutrality dengan patung emas raksasa Turkmenbashi di puncaknya, salah satu mahakarya sang Presiden yang mengantar rakyatnya ke depan pintu gerbang Abad Emas.
“Hah? Kamu pikir patung itu betul-betul emas?” seorang mahasiswa Turkmen terkejut melihat kekaguman saya terhadap patung emas itu.
“Itu bukan emas. Setiap tahun di bulan Januari, para pekerja harus menggosok patung itu supaya warnanya tetap berkilau. Apakah emas tulen perlu digosok?”
Sebuah pertanyaan retorik yang menggelitik dalam hingar bingarnya Abad Emas ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 Juli 2008
Negara aneh yg terisolir peradaban