Selimut Debu 58: Masih Tidur
Pagi bermula dengan begitu damai di Ishkashim. Pagi yang biasa, sejuk yang biasa, dan kemalasan yang biasa ala daerah pegunungan.
Para lelaki di toko roti mulai sibuk membuat roti nan yang datar dan panjang. Mereka membuat roti dengan meletakkan adonan tepung yang sudah berbentuk di dalam tungku bokhari di dalam lobang di bawah tanah, dengan api yang menjilat-jilat langsung ke permukaan roti. Hasilnya adalah roti tebal yang renyah saat hangat. Para bocah di restoran baru saja menikmati sarapan dengan mencelupkan serpihan-serpihan roti ke dalam semangku teh susu yang asin rasanya.
Ishkashim adalah juga sebuah kota pasar. Jalanan utamanya hanya segaris, merupakan jalan sempit berlumpur yang pada kedua sisinya berbaris toko-toko dan kios-kios kecil. Barang yang mereka jual kebanyakan buatan China, tetapi mungkin dalam waktu dekat akan dimeriahkan dengan barang-barang produk negeri-negeri Asia Tengah. Katanya ada rencana untuk membuka zona perdagangan bebas di sebuah pulau di tengah Sungai Amu, sehingga para pedagang dari kedua sisi perbatasan bisa bertransaksi dengan mudah tanpa harus mengurus visa. Ini diharapkan bisa memacu perdagangan antara Afghanistan dan Tajikistan
Barang Indonesia pun sudah mencapai sudut terjauh Afghanistan ini. Setidaknya, kita bisa melihat foto-foto Ikke Nurjannah yang tersenyum di atas pembungkus sampo sachet Emeron, atau juga meneguk teh hijau hangat dan terkejut menemukan di dasar gelas terdapat tulisan “Royalex – Made in Indonesia”.
Sama seperti kotanya yang malas, kantor polisi Ishkashim juga malas. Aku tiba di sini pukul 7:00 tepat untuk mengurus surat izin menuju daerah perbatasan di Pamir. Surat izin ini mutlak diperlukan kalau memasuki daerah Koridor Wakhan, yang sensitif karena merupakan perbatasan dengan berbagai negara.
Petugas di kantor polisi memintaku untuk datang lagi pukul 8, karena sang komandan “masih tidur”.
Alih-alih mengatakan sekarang masih belum jamnya bertugas, dia menggunakan alasan “tidur”. Aku jadi berpikir, mungkin tidur memang aktivitas yang paling klop di kota yang mengantuk ini.
Selain itu, surat izin yang aku dapatkan di Faizabad ditujukan kepada pejabat di Distrik Wakhan, bukan kepada komandan Ishkashim. Rasa cemasku berlipat ganda, karena aku tidak tahu jalur birokrasi mana yang harus kutempuh.
Pada pukul 8, dengan sangat malasnya kehidupan pun baru saja dimulai di Ishkashim. Satu per satu toko mulai buka. Para bocah melintasi jalanan dengan sepeda mereka. Orang Afghan memang terkesan sangat macho dan jagoan, tetapi mereka juga imut dan romantis karena mereka menghiasi sepeda dengan bunga-bunga plastik nan cantik. Ini mengingatkanku pada para sopir truk Pakistan yang juga pencinta seni, menghiasi truk mereka dengan lukisan bunga-bunga.
Pagi juga adalah waktu untuk memberi makan para binatang. Para bocah gembala mulai menggiring sapi-sapi mereka, juga keledai-keledai dan kuda-kuda, menuju ke padang rumput di perbukitan. Pemandangan Ishkashim ini sungguh sangat “Asia Tengah”. Padang hijau yang menghampar seperti karpet sungguh luas seperti di Mongolia. Keindahan ini semakin dikuatkan oleh barisan puncak bertudung salju yang mengelilingi keempat penjuru.
Mereka bilang, kehidupan di dusun yang tinggi dan dingin ini tidak pernah berubah drastis. Tempat ini juga sudah lama tidak mengalami konflik apalagi perang.
Aku melihat bangkai truk di mana-mana, yang aku duga adalah bekas milik Rusia, karena pasukan Soviet dulu didatangkan ke Afghanistan dari sini, dari republik-republik Asia Tengah yang ada di seberang sungai Amu Darya. Tajikistan sendiri adalah salah satu basis militer Soviet dalam perang Afghanistan. Ishkashim dan Koridor Wakhan adalah pintu gerbang penting bagi tentara Rusia saat menggempur Afghanistan.
Sedangkan kekacauan akibat perang Mujahiddin dan pendudukan Taliban juga tidak pernah benar-benar datang ke tempat ini. Damai, nyaman, tenang, seperti harusnya kehidupan padang rumput selama berabad-abad.
Saat aku duduk di rerumputan memandangi para sapi yang merumput dan para penggembala cilik yang menghalangi ternak mereka memakani tanaman orang, aku berjumpa dengan Gul Mir. Dia adalah seorang lelaki 65 tahun dari dusun tetangga. Aku bertanya bagaimana hidup di masa sekarang ini dibandingkan zaman perang dulu. Dia bilang, “Kehidupan sesudah perang jauh lebih baik, karena selama masa perang, orang-orang Afghan banyak pergi ke luar negeri. Di berbagai negara asing itulah mereka melihat kehidupan yang lebih baik. Sekarang, setelah kembali ke Afghanistan, mereka pun belajar dari kehidupan yang mereka rasakan di luar negeri.”
Dia percaya, kalau tidak ada perang, kehidupan di Afghanistan tidak bakal berubah, karena orang tidak tahu akan dunia luar.
Dia adalah orang Afghan pertama yang kutemui yang begitu optimis memandang perang, bahwa tanpa perang ini kehidupan tak akan lebih baik, dan perang adalah solusi supaya kehidupan jadi lebih baik.
Tapi apakah memang hanya dengan perang, orang Afghan baru bisa melihat dunia luar?
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Ada Ike Nurjanah?
keren penulisan dan penggambaran suasananya….ck..ck….ck…
semakin ingin berkelana saja
paling seneng liat foto2 perjalananx si
mana ne buku2 qm digramed btm..koq g ada jual..cek donk gus..