Port Moresby 18 Agustus 2014: Bertualang di Kota Para Raskol
Port Moresby adalah kota pertama yang membuatku merasa bahkan naik bus pun adalah petualangan besar.
Dengan kriminalitasnya yang sangat tinggi, bertahun-tahun ini Port Moresby selalu masuk daftar kota paling tidak layak huni di dunia—tahun 2003 bahkan nomor 1 dari 130 kota dunia menurut majalah The Economist. Dua minggu di kota ini, saya belum pernah melihat orang asing yang berjalan kaki di jalanan Port Moresby, sendirian atau ditemani, kecuali seorang lelaki kulit putih paruh baya di daerah Town dekat pelabuhan yang tidak membawa satu tas pun. Saya juga tidak pernah bertemu dengan turis asing lain.
Bagi para orang asing, satu-satunya alat transportasi adalah mobil pribadi. Kebanyakan mereka bahkan tidak berani naik taksi, khawatir perampokan atau penodongan atau penculikan oleh sopir taksi. Para ekspatriat selalu bepergian dengan mobil. Mereka bahkan punya SOP: tidak berkendara setelah pukul delapan malam. Santi, seorang Indonesia pekerja supermarket Indonesia yang sudah tinggal di sini selama empat tahun, mengatakan, kalau terpaksa harus keluar malam, jangan pernah berhenti di tengah perjalanan. “Kalau ada yang menghadang di jalan, tabrak saja dulu, urusan lain belakangan.” Terkadang mobil dilempari batu atau dihentikan orang di jalan. Bahkan kalau ban bocor pun, mereka terus memaksa menancap gas sampai rumah; tak seorang pun berani turun dari mobil untuk mengganti ban, apalagi di tengah malam. Sudah dua kali ban mobilnya sampai rusak total karena dipaksa jalan dalam keadaan bocor. Raskol, para bajingan, bisa muncul di tempat dan waktu dan dengan cara yang tidak pernah kita duga. Dan raskolisme itu benar nyata, sampai banyak eskpat bosan yang rela membayar uang langganan US$1.000 per tahun untuk masuk klub eksklusif Yacht Club (dan masih harus membayar harga makanan yang minimal U$30 per porsi), karena mungkin sudah tidak ada lagi ajang sosialisasi lain.
Tapi saya merasa, saya takkan pernah mengenal Port Moresby kalau terus-terusan diantar dengan mobil kedutaan. Saya memutuskan sebuah petualangan: menumpang bus kota sebagaimana warga lokal. Memikirkan ini, saya bahkan sampai tidak bisa tidur semalaman, berkutat dengan strategi kerugian yang paling minim jika terjadi apa-apa. Paginya, saya meninggalkan semua barang berharga dan kartu-kartu bank di kamar, dan hanya menaruh uang tunai secukupnya di dalam dompet.
Pertama-tama saya mengunjungi sebuah biro tur dengan berjalan kaki dari Kedutaan Indonesia di daerah Kitogara, menyusuri jalan raya John Guise Dr yang lebar bertrotoar, ke arah barat satu setengah kilometer menuju mal Vision City. Ini daerah kantor pemerintahan dan kedutaan asing, seharusnya cukup aman. Saya sudah sering lewat jalan ini dengan mobil bersama staf Kedutaan, tetapi tidak satu pun orang yang saya kenal pernah menyusuri jalan ini berjalan kaki sendirian. Begitu keluar dari pagar kedutaan, saya mulai gentar. Tak banyak mobil lalu lalang, hampir tak ada pula pejalan kaki. Bagaimana jika meloncat raskol dari balik pohon? Bagaimana kalau mereka muncul dari lapangan? Saya merangkul tas punggung berisi kamera di depan dada, menunggu ada perempuan pejalan kaki yang melintas yang bisa saya ajak jalan bersama.
Tapi tak ada. Tak bisa bergantung pada siapa-siapa, saya berjalan sendiri. Setiap berpapasan dengan lelaki muda, ketakutan itu muncul. Apakah saya sudah termakan prasangka orang asing tentang warga lokal, padahal mereka bahkan tidak pernah menjejakkan kaki sendiri di jalanan kota yang mereka tinggali ini? Saya teringat anjuran seorang kawan: Berjalanlah dengan percaya diri, seolah kamu sudah terbiasa. Saya hanya memasang senyum dan menyapa siapa pun yang saya takuti, “Youpela orait, a?” Dan balasan yang saya terima adalah senyuman manis dari para lelaki, yang memuji saya sekaligus memperingatkan saya untuk tetap berhati-hati. Sepuluh menit pertama berlalu lancar. Saya mulai bisa mengatur napas dan langkah kaki. Tetap memasang senyum, tetap menyapa “You orait, a?” pada semua orang. Dan sebisa mungkin berjalan bersama warga lokal, walaupun hanya untuk beberapa langkah. Akhirnya, setelah berganti empat kali teman seperjalanan, saya sampai di pertigaan Waigani Dr, berbelok ke utara sekitar 900 meter menuju Laguna Hotel. Jalan ini lebih menyeramkan daripada John Guise Dr karena lebih sepi. Saya berjalan mempercepat langkah, sementara tak jauh di depan saya ada lima pemuda bertato yang berjalan begitu lambat sambil bersiul-siul.
Bohong kalau saya tidak takut. Saya memberanikan diri menyalip mereka, dengan terlebih dahulu menyapa, “Youpela orait?” Mereka menanyakan asal negara saya, lalu bertanya, “Kamu menikmati Papua Nugini?” “Tentu saja,” jawab saya. Dan kami pun menjadi teman seperjalanan hingga saya sampai di depan gerbang Hotel Laguna.
Hotel-hotel di Port Moresby seperti penjara. Mereka memiliki gerbang berlapis-lapis yang masing-masing dijaga petugas bersenapan. Tujuan saya ke Hotel Laguna adalah untuk mengunjungi kantor biro tur yang menguruskan tiket saya menuju Daru besok lusa. Di sini semua harus dibayar tunai, dan ternyata harga tiket yang K467 (US$180) itu lebih mahal daripada perkiraan saya. Saya terpaksa berhutang dengan mereka dan berjanji melunasi sisanya besok. Setelah selesai urusan tiket, saya bertanya pada Christabel, pegawai perempuan bertubuh tambun yang senyum gigi putihnya berkontras dengan kulitnya yang hitam, tentang bagaimana cara naik bus menuju Hanuabada. Hanuabada adalah daerah permukiman nelayan di selatan kota, sekitar 10 kilometer jauhnya, di mana saya akan menemui seorang pastor Indonesia yang sudah belasan tahun menetap di Papua Nugini.
Christabel langsung menjerit. “Naik bus? Kamu tidak pakai mobil sendiri? Kamu tidak pakai taksi? Itu bahaya sekali. Kenapa kamu tidak naik taksi saja?”
Saya menunjukkan dompet saya. “Saya tidak punya uang untuk naik taksi.” Dalam saku saya hanya ada uang K7 (US$3), dan dalam dompet saya hanya ada 7.000 rupiah (untuk mengelabui raskol seolah-olah mereka mendapat keuntungan besar), sedangkan untuk naik taksi setidaknya butuh K20 hingga K30.
“Kenapa kamu tidak suruh perempuan yang mau kamu temui itu jemput kamu?” katanya menyelidik.
“Saya bukan mau ketemu perempuan. Saya ada janji dengan pastor di gereja.”
Tiba-tiba seorang customer perempuan bertubuh gemuk dengan rambut pendek yang duduk di sebelah saya, sesama pembeli tiket, menimpali, “Gereja mana? Katolik atau Union Church?”
“Gereja Katolik,” kata saya.
“Kamu naik taksi saja,” katanya, “Terlalu berbahaya kalau naik bus sendirian.”
“Saya tak punya uang untuk itu. Lagi pula, saya ingin tahu rasanya naik bus.”
“Saya umat gereja itu, saya kenal semua pastor dan suster di sana. Suruh pastor menjemput kamu.”
“Tidak mungkin, Mother,” kata saya.
“Telepon saja Michael untuk jemput kamu.”
“Saya tidak tahu siapa itu Michael.”
Perempuan itu langsung mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan uang 30 kina, dan melambaikannya ke arah saya. “Take this and go!”
Saya membelalak, tidak menyangka mendapat respons seperti itu. “Thank you very much, Mother, tapi saya tidak bisa menerimanya.”
Christabel mendesak saya menerima saja uang itu. “Kenapa kamu tidak terima? Itu blessing. Ucapkan terima kasih dan ambil saja.”
Customer perempuan itu mengatakan, bahkan dia pun tidak berani naik bus di kota ini. Itu sama saja dengan bunuh diri. Dia memberiku uang, murni karena iba. Tapi bagaimana aku bisa menerima uang darinya? Aku bahkan tidak mengenalnya. Lagi pula, aku yakin, K7 yang aku punya ini cukup untuk pergi ke Hanuabada dan kembali.
Keluar dari Hotel Laguna, saya kembali ke Jalan Waigani yang lengang, lebar, kosong, dengan kesepiannya yang menyeramkan. Saya tidak menemukan siapa pun pejalan yang melintas untuk bisa saya ajak berjalan bersama. Saya berjalan lima puluhan meter menuju halte. Hanya ada seorang pemuda duduk di situ, dan saya merasa sangat tidak nyaman dengan tatapan matanya yang tajam pada saya. Begitu bus No. 11 mendekat, saya langsung meloncat masuk.
Musik pantai ceria gaya Jamaika dalam bahasa Inggris Rusak Tok Pisin menyambut saya. Juga tatapan mata takjub para penumpang yang melihat orang asing menumpang bus bersama mereka. Mereka tertawa, dan sangat antusias memasang pose begitu saya mengeluarkan kamera. Tidak pernah saya melihat kendaraan umum yang seceria ini dengan kamera turis asing, apalagi diiringi musik full house yang bisa membuat kita bergoyang. Bus Port Moresby adalah semacam coach dengan empat baris kursi, masing-masing bisa diduduki empat penumpang. Semua penumpang mendapat tempat duduk, dan tidak tersedia ruang untuk penumpang berdiri atau untuk melakukan pencopetan. Sebenarnya, bus adalah transportasi yang sangat aman.
Juga paling murah. Dari Waigani saya menuju 4-mile, yang hanya K0.50, di mana saya berganti bus menuju Town K0.50 yang berjalan menyusuri Pantai Ella Beach yang biru kristal membentang dan di pasar dekat pelabuhan saya berganti lagi bus menuju Hanuabada, juga hanya dengan K0.50. Di Hanuabada, jalanan sempit di sebelah perkampungan yang menjorok sampai ke laut, berada di atas air dengan ditopang balok-balok kayu seperti di Koki. Hanya di sini lebih tua, dan jalanan yang terbuat dari barisan balok kayu itu sudah banyak berlubang, sehingga kita harus meniti bahkan meloncat sampai setengah meter. Meleset sedikit, kau bisa tercebur. Tiang-tiang rumah dari kayu, terkikis air laut sehingga menjadi tipis dan setiap satu atau dua tahun harus diganti. Penduduk menceritakan, pernah ada kejadian rumah yang ambrol ke dalam laut karena kayu penyangganya sudah keropos.
Di sinilah Pastor Paul Liwun dari Flores menyambut saya. Dia sudah tinggal belasan tahun, “baru” empat tahun di Hanuabada. Bahkan sebagai orang Flores yang bisa mirip warga lokal, dan dengan profesinya sebagai pastor—sebuah profesi yang membuat raskol segan—Pastor Liwun sudah mengalami perampokan berkali-kali. Pernah sekali dengan penodongan pistol, di perkampungan yang lama di daerah perbukitan.
Koran lokal memuat laporan Bank Dunia bahwa bisnis di Papua Nugini tertahan karena biaya tinggi akibat kriminalitas dan kekerasan. Lebih dua pertiga perusahaan menghabiskan 5 persen biaya tahunan mereka untuk jasa keamanan swasta. Perusahaan juga melaporkan kerugian sebesar $59.000 per tahun untuk pencurian oleh staf mereka sendiri. Perusahaan akan berfokus untuk melindungi keamanan asetnya, dan biayanya itu mereka bebankan pada konsumen melalui harga tinggi, pilihan yang lebih sedikit, serta ketiadaan produk dan layanan baru. Pada akhirnya, semua orang di Papua Nugini harus membayar demi kriminalitas ini.
Tepat sehari sesudah laporan itu, Perdana Menteri O Neill merespons: tingkat kriminalitas menurun dalam tiga terakhir, terbukti dengan jumlah penghuni penjara menurun lebih dari 50 persen (dari 1000 lebih menjadi 450). Walaupun, orang tentu bertanya, menurunnya penghuni penjara ini apakah karena para raskol sudah bertobat ke jalan yang benar, ataukah karena polisi tidak bekerja untuk menangkapi raskol. Kenyataannya, laporan di koran yang sama menunjukkan jumlah penghuni penjara di Papua Nugini adalah 4280; 31 persen di antaranya adalah penghuni yang sudah pernah menjalani hukuman sebelumnya, dan jumlah narapidana yang melarikan diri sebanyak 1600 orang.
Port Moresby adalah kota unik di dunia. Di antara kota-kota yang tak layak huni lainnya, ada Lagos dengan kekacauan konfliknya, ada Bogota dengan mafia narkotikanya, Karachi dengan kriminalitas dan terorismenya, tetapi Port Moresby sama sekali tidak memiliki kekacauan sevulgar itu. Di balik sekilas penampilannya dan orang-orangnya yang easy going, ini adalah kota yang dikuasai oleh gang raskol, yang mewariskan cerita seperti perampokan bank dengan senapan mesin M-16, perampokan mobil oleh gerombolan bersenjata, hingga perkosaan massal terhadap penumpang perempuan yang diseret turun dari bus. Rumah- orang-orang kaya di kawasan elit semuanya dikelilingi tembok tinggi dengan gulungan kawat berpisau di atasnya, masih dikawal satuan pengaman bersenjata.
Raskol menyebabkan harga barang yang makin mahal, dan mahalnya barang membuat tekanan hidup sehingga makin banyak anak muda yang menjadi raskol. Ini adalah sebuah lingkaran setan yang sulit diurai. Apalagi banyak perusahaan lebih memilih merekrut pegawai asing daripada orang lokal, sebuah langkah yang lebih mahal tetapi lebih efisien, sekaligus menyebabkan pengangguran semakin parah dan tekanan hidup penduduk lokal semakin meningkat dan raskolisme semakin menggila. Saya sempat tinggal di beberapa permukiman kumuh di Port Moresby, yang membuat saya sadar bahwa ketakutan terhadap raskol ini bukan hanya monopoli kami orang asing. Bahkan penduduk lokal pun banyak yang tidak berani keluar rumah sendirian atau menumpang kendaraan umum, juga tidak mengunjungi daerah permukiman yang lain apabila mereka tidak kenal siapa-siapa di sana. Setiap permukiman bagai sebuah “cluster” bagi penghuninya; mereka bekerja di kota dan pulang ke permukiman masing-masing, tidak berkeliaran di tempat yang bukan zona mereka. Tidak ada yang bisa menjamin keamanan, bahkan seorang pejabat tinggi kementerian bisa ditembak mati oleh pengawalnya sendiri di dalam kantornya sendiri.
Dan kembali kau lihat jalanan Port Moresby. Dengan bukit-bukitnya yang bagai barisan kurva, dengan lautnya yang biru kelam dan berkilau, dengan taman-taman kotanya dan monumen-monumen Cendrawasihnya, dengan orang-orang yang antusias bergaya di depan kamera serta memiliki hasrat besar untuk melindungi, juga bus-bus yang memainkan musik ceria, kau mungkin akan bertanya apakah kengerian yang diceritakan orang-orang itu bukan sekadar ilusi dari tempat lain. Kau mungkin menyangsikan apakah semua paranaoia ini tidak berlebihan. Hingga kau tak tahu, apakah harus mendengarkan cerita dan fakta dan ketakutanmu, atau mengabaikan mereka semua.
Keesokan harinya, saya pergi ke Universitas Papua New Guinea, menumpang bus No. 7 yang seharga K1.00, untuk menjumpai Benyamin, seorang dosen dari Universitas Cendrawasih Papua yang ditugaskan mengajar bahasa Indonesia di Papua Nugini. Sebagai orang Papua dari seberang perbatasan, Pak Ben juga enggan menumpang bus kecuali terpaksa, dan tetap berhati-hati terhadap raskol. Beliau memperkenalkan saya kepada Andreas, seorang mahasiswa Papua Nugini kelahiran 1990 yang sudah tiga kali mendapat beasiswa ke Indonesia. Andreas penuh semangat, minggu depan dia akan berangkat ke Universitas Negeri Yogyakarta untuk program pascasarjana Linguistik Terapan. Dia bercerita, pertama kali dia mendapat beasiswa adalah untuk belajar bahasa Indonesia selama tiga bulan di Jayapura. Saat itu, orangtuanya tidak mengizinkan berangkat. “Indonesia terlalu bahaya,” kata mereka. Apalagi dengan kasus penembakan terhadap OPM di Papua, Andreas sangat takut jadi korban penembakan berikutnya oleh tentara Indonesia. “Sebelum saya berangkat,” dia berkata, “yang saya tahu tentang Indonesia adalah itu negara komunis penjajah, yang setelah menjajah West Papua akan menjajah Papua Nugini.”
kok gak tuntas cerita si andreasnya mas ?
Hend Lim
Salam mas Agus,
Senang banget bisa baca artikel baru perjalanannya lagi, Saya penggemar tulisan anda, dan tahun ini ada rencana mau backpacking sendiri ke negara2 -stan,
karena keracunan buku – buku nya itu.
Sblmya sory cak agus ga beli bukunya tp saya baca blognya sampe katam. Bener2 cwo sejati yg berani melakukan perjalanan kyk sampean.. ngutip slogan iklan, menang “Pria punya selera”..
We want more, we want more, 3333X…
selalu excited membaca kisah-kisah perjalanan anda… informatif dan penuh kejutan. keren!
Dah dibukukan apa belum ‘petualangan’ di Papua Nugininya.
“Sebelum saya berangkat,” dia berkata, “yang saya tahu tentang Indonesia adalah itu negara komunis penjajah, yang setelah menjajah West Papua akan menjajah Papua Nugini.” <~ Waow, sebegitukah pandangan negara tetangga yang satu ini terhadap indonesia? Padahal kalau dari deskripsi port moeresby di tulisan ini, bahkan lebih seram dari jayapura 😐
Saya sering sekali kepo dengan negeri tetaangga yang tidak pernah terdengar ini. Sering menonton video youtube melihat pemandangan prot moresby. Baru disini saya tahu cerita sebenarnya, dan semakin tertarik pergi kesana… Trimakasih kak Agus ceritanya….
Terimakasih banyak tuk cerita perjalananmu di Kota Port Moresby.
keberanianmu mengalahkan banyaknorangbasing yg hidup disini penuh dengan prasangka dan ketakutan.
Kejahatan itu ada dimana mana. Tergantungbdari kita bagaimana mengantisipasi keadaan itu.
Profisiat
pertama kali ke port moresby..
malam2 main ke down town..
tiba2 di sapa serombongan pelaut Indonesia…
mereka terheran2 dg “keberanian” saya sendirian di down town..
setelah tahu kalau ini adalah kali pertama saya menginjakan kaki di png..mereka sangat tidak menyarankan rambut lurus untk berjalan sendiri di kota ini..dan mereka pun dg senang hati mengantar pulang ke kapal saya..dan sambil berjalan mrk bercerita ttg parahnya rasscal di png,indahnya ella beach..serunya buka cafe..
dan saya pun rutin tiap hari minggu ikut pertemuan di kedutaam dg wni yg stay di png.berangkat dari pelabuhan “uji nyali” naik bus..pulang nyari tumpangan he he…
makasih mas dah nulis ttg png..
banyak memory tertinggal di sana..
*nb jg lupa to “uji nyali” di gordon market….dimana anda akan serasa rusa di sarang singa …ha ha
Wah tapi untungnya Port Moresby bukan zona konflik, kaya di Timur Tengah. Udah banyak pertempuran kriminalitasnya bisa lebih parah daripada otot moresby
Iya ngegantung pisan
tulisan yang hebat mas…
ijin copas dikit, buat ref…
wow, gotham city versi PNG