Recommended

Indonesia

Titik Nol 179: Heera Mandi (1)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO) “Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore. Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal. Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat. “Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.” Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan. “Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid. Matahari memanggang Lahore [...]

April 30, 2015 // 0 Comments

Antara: Penulis Indonesia berbagi pengalaman di London

Minggu, 19 April 2015 06:56 WIB | 9.486 Views Pewarta: Zeynita Gibbons London (ANTARA News) – Penulis Indonesia berbagi pengalaman dengan pecinta buku dalam ajang pameran bergengsi London Book Fair 2015 yang digelar di gedung Olympia, London pada 14-16 April 2015. Penulis Indonesia, Agustinus Wibowo di London, Minggu mengatakan, berbagi pengalaman bersama Elizabeth Pisani, penulis buku “Indonesia Exploring the Improbable Nation” di London Book Fair merupakan pengalaman berkesan dalam hidupnya. “Tampil dalam London Book Fair merupakan salah satu percakapan terbaik yang pernah saya tampilkan di talkshow,” ujar “travel writer” berusia 34 tahun yang merupakan penulis buku “bestseller” “Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol”. Indonesia untuk pertama kalinya tampil dalam London Book Fair yang didukung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dengan menghadirkan lebih dari 15 penerbit Indonesia dalam pameran selama tiga hari ini. Stan Indonesia selain memperagakan sekitar 200 judul buku juga mengelar “talkshow” yang menampilkan diskusi buku “Lelaki Harimau” karya Eka Kurniawan yang baru diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Man Tiger”. Selain itu, peluncuran buku “Sophis TEAcation – An Anthology of Porcelain Teacups Collecting”, acara bincang-bincang tentang buku digital/animasi serta kisah perjalanan [...]

April 19, 2015 // 0 Comments

CNN Indonesia: Penulis Indonesia Berjaya di London Book Fair

Vega Probo, CNN Indonesia Jumat, 17/04/2015 12:25 WIB   Jakarta, CNN Indonesia — Stand Indonesia di ajang London Book Fair (LBF), meriuh saat digelar acara bincang-bincang Indonesian Travel Writing: When Indonesians See The World yang menghadirkan penulis Agustinus Wibowo, pada Kamis (16/4), pukul 11 waktu Inggris. Agaknya publik London mulai jatuh hati pada kisah-kisah seru yang dipaparkan oleh penulis Indonesia. Sebagaimana diketahui, Agustinus adalah penulis buku best seller berjudul Selimut Debut, Garis Batas, dan Titik Nol. “Kalau ditotal sekitar 30 orang yang mendengarkan acara, baik di tempat duduk maupun dari luar stand. Di luar stand juga diputar video-video Afghanistan yang menarik pengunjung untuk datang,” tulis Agustinus melalui surel kepada CNN Indonesia (17/4). Stand Indonesia, 5B140, menampilkan 223 judul buku pilihan dari berbagai penerbit. LBF adalah ajang jual beli rights buku. LBF diramaikan 25.000 pelaku industri dari 124 negara. Selain itu, juga digelar acara diskusi dan pameran foto. “Stand Indonesia terletak di corner dengan lemari buku di sisi-sisi tembok yang menampilkan buku anak-anak, sastra, dan fotografi. Ruangan terbuka di keempat sisi tembok sehingga pengunjung bisa mengalir dari berbagai arah,” kata Agustinus. Pengalaman Lebih Berharga Ketimbang Uang Pria yang kenyang bertualang ini tak tampil sendirian, melainkan bersama Elizabeth Pisani, penulis Indonesia Etc. [...]

April 17, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 153: Keresahan yang Terpendam

Terpenjara [ilustrasi] (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik terali besi pintu gerbang penjara kota Gilgit, saya berjumpa dengan kedua gadis Indonesia yang terpenjara. Dua gadis itu bertubuh pendek. Berkaus lengan panjang dan mengenakan celana training. Warna kerudung mereka mencolok, menyembulkan rambut hitam di dahi. “Mas dari Indonesia ya?” sapa gadis kedua yang baru datang. Suaranya lembut. Ramah sekali. “Sendirian ke sini? Kenapa ke sini?” Saya bercerita tentang Rajja Sadafar dari kantor District Commissioner di Gilgit. Si gadis mengangguk-angguk, mengucapkan terima kasih. Gadis yang satu lagi, yang semula berteriak-teriak mengusir saya, kini datang mendekat dan bergabung dalam percakapan. Tetapi, belum sempat kami bercakap-cakap banyak, dan masih cuma taraf basa-basi, tiba-tiba terdengar suara menggelegar. “Jao!Tum jao! Pergi! Pergi kamu!” Seorang sipir berlari sambil membentak, membuat gerakan seperti mengusir ayam. Tak pernah saya diperlakukan seperti ini selama berada di Pakistan, yang orang-orangnya ramah dan lembut. “Jao!” teriaknya lagi. Kini sudah hampir menyeret saya menjauh. Di kejauhan, Mariam dan Christina sayup-sayup memandang. Saya tak tahu apa yang mereka pikirkan. Pertemuan ini sangat mengecewakan. Sudah sekian lama saya memimpikan untuk bertemu dengan kedua gadis ini. Sebenarnya saya sudah mendengar kisah mereka sejak dua bulan silam, dari gosip-gosip yang beredar di Gilgit. Adalah Rajja Sadafar yang membuat saya [...]

March 25, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 152: Terpenjara

Terpenjara [ilustrasi] (AGUSTINUS WIBOWO) Di kota Gilgit, ada dua kawan kita yang terkucil dalam penjara. “Kasihan sekali,” kata Rajja Sadafar, seorang pegawai pemerintahan di kantor Deputy Commissioner, “mereka sendirian di sini. Tak ada yang mengunjungi. Tak ada kawan, tak ada keluarga.” Matanya berkaca-kaca ketika berkisah tentang dua gadis Indonesia yang terpenjara di Gilgit. Rajja, pria berusia empat puluhan ini, begitu senang bertemu saya yang kebetulan sedang memperpanjang visa di kantor DC. “Jarang ada orang Indonesia bisa sampai ke sini. Sebagai kawan senegara, kamu mesti menengok mereka. Bawalah buah, mereka pasti senang sekali.” Rajja kemudian menulis dalam buku catatan saya, ‘Maryam dan Christina’, nama kedua gadis itu. Di kota Gilgit, rumor bertebaran tentang kedua gadis misterius ini. Khalayak ramai seakan tahu segala-galanya tentang mereka. Kasusnya pernah merebak, menjadi buah bibir di kota. Maryam dan Christina ditangkap petugas perbatasan Pakistan ketika mencoba menyelundupkan empat kilogram heroin ke negeri Tiongkok, melalui perbatasan Karakoram Highway. “Mereka gadis lugu,” kata Yaqub, pemilik penginapan yang katanya pernah diinapi oleh Maryam dan Christina sebelum ditangkap, “masih sangat muda belia. Wajah mereka mungil dan tubuhnya pun kecil. Ada seorang pria Pakistan bersama mereka. Kasihan, gadis-gadis itu diperalat karena keluguannya.” Heroin itu konon disimpan di dasar tas ransel mereka. [...]

March 24, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO) Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain. Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru. Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal. Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan. Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya [...]

March 23, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 119: Pelabuhan Darat

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia. Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan. Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya. Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup [...]

February 5, 2015 // 15 Comments

Tais 30 Agustus 2014: Kulit Hitam dan Kulit Putih

“Apakah di negaramu, orang kulit putih juga ada yang jadi pengemis?” Singai Suku, lelaki kepala desa Tais yang berperut besar itu bertanya kepada saya. “Kulit putih? Kulit putih yang mana?” tanya saya. “Kulit putih yang seperti kamu.” “Kulit putih dan kulit hitam semua sama, semua ada.” “Apa?” Singai begitu terkejut sampai melongo. “Kenapa kulit putih harus mengemis? Kalau kulit hitam jadi pengemis itu wajar. Tapi kulit putih? Itu tidak masuk akal!” Ini adalah salah satu dari begitu banyak percakapan yang cukup membikin stres selama saya berada di Papua Nugini. Mengapa mereka selalu menganggap diri mereka lebih rendah daripada kulit putih? Beberapa hari yang lalu, saya pernah menunjukkan foto-foto yang saya ambil di Afghanistan kepada Sisi—perempuan muda tuan rumah saya di Tais—bersama warga desa lainnya. Sisi terpaku menatap gambar anak-anak jalanan korban perang di ibukota Kabul yang mengemis dengan berbaring telentang di atas aspal panas. Sisi menggeleng-geleng tak percaya. “Tapi mengapa? Mengapa mereka harus hidup seperti itu? Mereka kulit putih, bukan?” Boneka kulit hitam dijual di sebuah toko di Port Moresby (AGUSTINUS WIBOWO) Warga Tais hidup dari berburu (AGUSTINUS WIBOWO) Di Papua Nugini, walaupun saya bukan kulit putih, mereka selalu menyebut saya kulit putih. Menjadi “orang putih” di sini, saya menerima [...]

February 3, 2015 // 34 Comments

Tais 29 Agustus 2014: Antara Sihir, Tradisi, dan Gereja (1)

Kematian di sini sering dihubungkan dengan ilmu sihir (AGUSTINUS WIBOWO) Daerah Morehead di perbatasan Papua Nugini, selain terkenal untuk perburuan kepala, juga terkenal untuk ilmu sihirnya. Orang-orang sini percaya bahwa di balik setiap kematian kerabat mereka pasti ada ulah penyihir jahat yang menjadi penyebabnya. Contohnya Pali Abai, seorang gadis yang meninggal pada usia lima tahun, yang nisan mungilnya sudah rusak dan hampir tak terlihat lagi karena terkurung rerumputan tinggi di peluaran dusun Tais. Pali meninggal saat berenang di empang di barat dusun. Tidak ada gejala apa-apa, tidak ada gigitan hewan apa pun, tidak juga tenggelam. Lehernya patah, Pali mati begitu saja. Abai ayahnya, seorang pemuda dua puluhan tahun, meyakini bahwa kematian yang tidak biasa ini adalah ulah sanguma—dukun sihir. Namun sayangnya hingga hari ini dia tidak tahu siapa orang jahat yang melakukan sihir kepada anaknya itu, sehingga dia tidak bisa membalas dendam pada siapa-siapa. Kepala desa Tais, Singai Suku, dulu pernah jadi penyihir, menjelaskan kepada saya bagaimana seorang penyihir bisa membunuh orang lain tanpa menyentuh korbannya. Pertama-tama, kita membutuhkan rambut dari calon korban. Rambut itu kemudian dimasukkan ke dalam rongga gigi buaya. Penyihir kemudian memakai topi bulu kasuari, membubuhkan arang di seluruh wajahnya karena mereka percaya dengan demikian mereka tidak [...]

January 30, 2015 // 11 Comments

Tais 28 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (2)

Didimus dan Mama Ruki (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau; sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia… Lirik lagu kredo nasionalisme Indonesia itu masih terpatri kuat pada memori Didimus Gepse, lelaki suku Marind asal Merauke yang menetap di Tais, Papua Nugini. Lelaki tua berotot gempal dengan jenggot putih serupa duri menyelimuti dagu ini selalu menyimpan sekilas senyum manis ketika mengenang kampung halaman yang sudah 22 tahun dia tinggalkan. Saya bertanya, apakah dia mengerti lagu yang dia nyanyikan, apakah dia tahu Sabang ada di mana. Didimus terkekeh. Dengan bahasa Indonesia yang berlogat Papua dia berkata, “Itu artinya Suharto datang dari Sabang, lewat pulau-pulau sampai ke Merauke.” Didimus lahir tahun 1962, ketika Papua Indonesia masih berstatus jajahan Belanda. Dia hanya dengar dari ayahnya, tentara dari Jakarta terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, para tentara payung berjatuhan ke kampung-kampung, dan sejak itu Papua jadi milik Indonesia. Sejarah yang lebih kompleks dari itu, dia tak tahu. “Politik hanya untuk orang-orang di atas yang pintar,” katanya. Hubungan Didimus dengan Sisi Wainetti, perempuan Papua Nugini tuan rumah saya di Tais, adalah paman dengan keponakan. Nenek Sisi berasal dari Kondo, Merauke, dan berpindah ke sisi Papua Nugini karena terpikat oleh lelaki sini yang pernah bertandang ke desanya. [...]

January 28, 2015 // 10 Comments

[VIDEO] Net TV (2014): Talk Show Perjalanan minat khusus bersama Agustinus Wibowo

Indonesia Morning Show Net TV 29 December 2014: Talk Show Perjalanan minat khusus bersama Agustinus Wibowo Agustinus Wibowo not only travels, but also learning the life of the people in the regions he visits. He has visited countries like Afghanistan, Mongolia, Pakistan, and just returned from a three-month journey in Papua New Guinea, and is projecting to visit all Indonesian borders. In Indonesia Morning Show NET TV 29 December 2014, Agustinus talks about his journey and what he has learned.     Talkshow in Indonesia Morning Show program of Net TV on traveling to unusual places to learn about the life of the [...]

January 27, 2015 // 7 Comments

Tais 27 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (1)

Seorang warga Papua Nugini dengan baju TNI-AD, yang dibeli dari Merauke (AGUSTINUS WIBOWO) 17 Agustus 2003, Sisi Wainetti dan kakak sepupunya Paulus Waibon pertama kali menyeberang perbatasan dari Morehead di Papua Nugini menuju Merauke, Indonesia. Mereka berangkat dari desa penuh semangat. Mereka dengar kabar, pada hari itu akan dirayakan kemerdekaan negara baru: West Papua. Entah mereka dapat informasi dari mana. Yang jelas, mereka sangat terkejut karena yang mereka temukan hanyalah perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Nyanyian dan tari-tarian, tabuhan gendang kundu (di Indonesia disebut “tifa”), topi dari bulu kasuari, dan kibaran bendera merah putih di mana-mana di lapangan kantor Pemerintah Daerah Merauke. Orang-orang berbagai warna kulit berjoget tradisional maupun bergoyang dangdut dengan ceria. Tebersit kekecewaan di benak Sisi. Kenapa tak ada bendera Papua? Impian kemerdekaannya kandas seketika. Ketika dia mendengar kabar kemerdekaan West Papua itu, hatinya sempat berpikir: Tidak ada yang lebih bagus daripada ini! Merdekanya West Papua, dalam bayangannya adalah tentang berakhirnya garis batas antara Morehead dengan Merauke yang memisahkan mereka; semua orang Papua di sisi timur dan barat perbatasan akan bersatu dalam negeri yang baru. Perbatasan negeri baru mereka nanti adalah di Sorong. Sisi meyakini, andaikan negara Papua itu terbentuk, maka mereka akan terpisah dari Nugini—bagian utara Papua Nugini [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

[VIDEO] Net TV (2014): Berwisata Sekaligus Belajar

Indonesia Morning Show Net TV 29 December 2014: Agustinus Wibowo berwisata sekaligus pelajari kehidupan daerah sekitarnya Agustinus Wibowo not only travels, but also learning the life of the people in the regions he visits. He has visited countries like Afghanistan, Mongolia, Pakistan, and just returned from a three-month journey in Papua New Guinea, and is projecting to visit all Indonesian borders. In Indonesia Morning Show NET TV 29 December 2014, Agustinus talks about his journey and what he has learned.     Talkshow in Indonesia Morning Show program of Net TV on traveling to unusual places to learn about the life of the [...]

January 24, 2015 // 5 Comments

Daru 23 Agustus 2014: Nenek Moyangku Orang Pelaut

Menembus badai dan gelombang (AGUSTINUS WIBOWO) Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudra Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Sisi Wainetti, Marcella, dan saya meringkuk dan berpelukan erat. “Jesus! Jesus!” Sisi mulai berteriak sekencang-kencangnya, seolah teriakan itu akan mendatangkan keajaiban kuasa dari langit untuk menyelamatkan kami. Marcella dan saya menimpali dengan teriakan yang sama dan sama kerasnya. Dinghy, perahu motor cepat yang kami tumpangi ini, terombang-ambing amukan ombak. Dinghy menghentak, kami para penumpang yang duduk berhimpitan terloncat. Pantat saya menghantam bilah kayu yang menjadi alas duduk, punggung saya seperti ditinju bertubi-tubi dan sakitnya merambat sampai ke tengkuk. Satu gulungan ombak yang lebih tinggi daripada manusia itu menerjang. Sisi berteriak, “Issaiah, cepat lakukan sesuatu! Kita akan tenggelam!” Terlambat. Ombak itu menghantam kami, menampar wajah saya dan semua dari enam penumpang di atas perahu kecil ini. Air sudah setinggi mata kaki di dasar perahu. Kami basah kuyup sekujur tubuh, buru-buru mengambil gelas plastik dan timba karet dan sepon untuk membuang air keluar perahu. Saya memeluk erat kamera yang sudah dibungkus plastik di balik jaket saya. Satu gelombang lagi menghantam perahu kami. “Oh, Jesus!” Sisi berteriak lagi. Saya mengenal Sisi baru dua hari lalu. Dia adalah putri angkat dari bidan [...]

January 20, 2015 // 12 Comments

Daru 22 Agustus 2014: Mengapa Harus Ada Batas di Antara Kita?

Seorang guru bahasa Inggris di Daru High School bertanya pada saya tentang Indonesia. Dia ingin memastikan kabar yang dia dengar: “Orang-orang putih” (maksudnya orang Asia termasuk Jawa) di Indonesia membutuhkan tengkorak manusia untuk membangun gedung tinggi dan jembatan; tumbal itu bikin mereka “orang putih” semakin kaya dan semakin sukses dibanding orang hitam. Di Daru, dia bilang, tahun kemarin beredar kabar bahwa orang Indonesia banyak menyelinap ke Papua Nugini untuk membunuhi orang sini, lalu diambil kepalanya buat membangun rumah dan jembatan di Merauke sana, dan membuang begitu saja mayat tanpa kepala itu ke hutan atau pulau. Saya syok. “Dan kau percaya itu?” “Semua orang heboh. Sampai tak berani keluar rumah, khawatir dibunuh orang Indonesia,” katanya. Bahkan orangtua menasihati anak yang nakal atau keluar malam dengan: “Awas nanti ada Indonesia.” Ini rumor zaman batu yang beredar di abad milenium, dan herannya, orang percaya. Sangat percaya. Indonesia menjadi nama horor, bagai hantu yang bisa datang sekonyong-konyong mencabut nyawa. Indonesia menjadi nama untuk menakuti anak yang nakal (AGUSTINUS WIBOWO) Warga Daru sempat ketakutan mendengar rumor tentang pemburu kepala manusia dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO) Rumor ini membuat saya sedikit bimbang ketika memenuhi undangan Mekha dan guru-guru lainnya untuk berbicara di depan murid-murid kelas XI di [...]

January 19, 2015 // 29 Comments

Daru 21 Agustus 2014: Wantok

Di pelabuhan Daru, para nelayan pun mengelompok sesuai daerah asal dan bahasa masing-masing (AGUSTINUS WIBOWO) Daru, dikenal sebagai “ibukota ikan kakap” adalah pulau berbentuk seperti anak ayam. Di bagian timur adalah mulut lancipnya, berupa pelabuhan yang selalu penuh perahu dari desa-desa sepanjang daratan utama dan daerah Sungai Fly, yang menyuapi Daru dengan beragam jenis ikan, sagu, udang sayuran. Di sini pula terletak toko-toko besar dan hotel, yang semuanya dimiliki orang dari China Daratan, menjual beras, berbagai makanan instan dan kalengan, bumbu, pakaian. Menyusuri jalan utama ini dari timur ke barat, kita akan melintasi bandara, dan dari sana kita akan berbelok ke selatan, menuju “anus” Daru: tempat sampah-sampah dibuang, pelabuhan yang sudah mati dengan kapal-kapal berkarat, juga daerah corner—permukiman penduduk pendatang yang dipercaya sebagai tempat tinggalnya para raskol. Salah satu supermarket di dekat pelabuhan adalah milik sebuah keluarga China. Keluarga besar bermarga Yan dari Fujian, satu kampung halaman dengan leluhur saya. Hampir semua barang di supermarket ini adalah produk impor. Kasir dan pegawai adalah orang lokal, sedangkan para orang China duduk di atas kursi tinggi di belakang kasir. “Apa yang kalian lihat dari ketinggian sana?” saya bertanya dalam bahasa Mandarin. “Di negara ini terlalu banyak pencuri,” kata lelaki muda itu. “Setiap [...]

January 16, 2015 // 20 Comments

CNN Indonesia: Tokoh Indonesia Penguasa Banyak Bahasa

  Windratie, CNN Indonesia Kamis, 06/11/2014 13:06 WIB Bangsa ini pernah memiliki putra bangsa dengan kemampuan bahasa yang mencengangkan. Gayatri Wailissa namanya. Sampai akhirnya hayatnya pada 23 Oktober lalu, setidaknya dia menguasai hingga 14 bahasa asing. Indonesia berduka kehilangan seorang polyglot terbaik bangsa.Kemampuan berbahasa asing sebaiknya dimiliki oleh para pemimpin bangsa. Kemampuan berbahasa akan membuat diplomasi antarnegara terjalin baik. Apa jadinya, jika pemimpin bangsa tidak menguasai bahasa internasional? Itu terjadi pada Presiden RI ke-7 Joko Widodo yang kemampuan bahasa asingnya diragukan banyak pihak. Dalam sejarah bangsa kita mengenal negarawan-negarawan yang menguasai setidaknya lima bahasa. Mereka disebut dengan polyglot. Bisa jadi mereka termasuk kategori orang-orang genius. Namun, dalam perjalanannya lima tokoh di bawah ini tidak begitu saja dapat menguasai banyak bahasa. Ada banyak faktor menyertainya. Kecintaan besar terhadap buku dan sastra, serta keingintahuan untuk menjelajahi dunia menjadi salah satu penyebab. Dari ketekunan dan kedisiplinan negarawan dan tokoh bangsa di bawah ini kita tahu bahwa polyglot bukan keajaiban tapi ilmu yang digali. Agus Salim Lelaki kelahiran Agam, Sumatera Barat, ini adalah negarawan dengan otak cemerlang. Dia banyak dipuji karena kemahirannya menguasai banyak bahasa. Bahasa Belanda Agus Salim dipelajari pada saat beliau di kapal laut dalam perjalanan menuju Belanda. Dalam sejarah, Agus Salim [...]

November 6, 2014 // 11 Comments

Port Moresby 18 Agustus 2014: Bertualang di Kota Para Raskol

Daerah pelabuhan Port Moresby, berkontras dengan perkampungan kumuh di atas air yang ada tepat di belakangnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Port Moresby adalah kota pertama yang membuatku merasa bahkan naik bus pun adalah petualangan besar. Dengan kriminalitasnya yang sangat tinggi, bertahun-tahun ini Port Moresby selalu masuk daftar kota paling tidak layak huni di dunia—tahun 2003 bahkan nomor 1 dari 130 kota dunia menurut majalah The Economist. Dua minggu di kota ini, saya belum pernah melihat orang asing yang berjalan kaki di jalanan Port Moresby, sendirian atau ditemani, kecuali seorang lelaki kulit putih paruh baya di daerah Town dekat pelabuhan yang tidak membawa satu tas pun. Saya juga tidak pernah bertemu dengan turis asing lain. Bagi para orang asing, satu-satunya alat transportasi adalah mobil pribadi. Kebanyakan mereka bahkan tidak berani naik taksi, khawatir perampokan atau penodongan atau penculikan oleh sopir taksi. Para ekspatriat selalu bepergian dengan mobil. Mereka bahkan punya SOP: tidak berkendara setelah pukul delapan malam. Santi, seorang Indonesia pekerja supermarket Indonesia yang sudah tinggal di sini selama empat tahun, mengatakan, kalau terpaksa harus keluar malam, jangan pernah berhenti di tengah perjalanan. “Kalau ada yang menghadang di jalan, tabrak saja dulu, urusan lain belakangan.” Terkadang mobil dilempari batu atau dihentikan orang di [...]

August 19, 2014 // 15 Comments

Titik Nol 61: Api yang Tak Pernah Padam

Mendaki dalam kabut dan salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Terbungkus kabut kami mendaki. Yang ada hanya kelabu, dingin. Angin menampar wajah, membekukan semangat. Tetapi, ada api yang tak pernah padam yang membuat kaki terus melangkah, menapak di atas tumpukan salju tebal. Kami berangkat dari High Camp pukul lima subuh. Matahari masih belum bersinar. Jalanan gelap. Hanya bulatan pancaran lampu senter yang menjadi penunjuk jalan, ditambah denting lonceng leher keledai yang mengangkut bawaan rombongan trekker. Dalam kegelapan ini, saya meraba jalan. Hanya tahu naik, naik, dan terus naik… Pada ketinggian 5000 meter, jangankan mendaki, untuk bernafas pun susah. Langkah menjadi pendek. Beban tas ransel kosong di punggung rasanya seberat karung beras. Naik, naik, dan terus naik…. Thorung La masih 600 meter lebih tinggi dari High Camp. Pukul enam, bias-bias mentari masih tak sanggup menembus mendung. Dunia di sekeliling terbungkus putih yang merata. Semalam hujan salju deras. Dulu waktu kecil, saya pernah membayangkan, bagaimana rasanya kehidupan di balik awan sana. Hari ini, pada ketinggian 5100 meter, dua per tiga perjalanan menuju puncak, saya sudah berada di tengah awan dan kabut. Dingin. Wajah terus ditampar terpaan angin, disiram bulir salju. Semangat dipadamkan oleh dingin dan kemuraman. Gunung-gunung di sekeliling pucat, namun perkasa. Saya tahu, di [...]

August 18, 2014 // 1 Comment

1 3 4 5 6 7 8