Recommended

Indonesia

Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO) “Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku. Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal. Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika. Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya. Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali. Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke [...]

December 9, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 22: Kabul, Pandangan Pertama

  Para pengunjung Safi Landmark, pusat perbelanjaan termegah di Kabul hari ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun berselang… Mimpi berpendar bersama realita, Aku berubah, Afghanistan pun berubah.   Apakah ini sungguh Afghanistan? Aku tak henti bertanya ketika memandang kota Kabul. Setelah melintasi Khyber Pass yang sama seperti tiga tahun lalu, aku kembali datang ke kota ini, ke negeri ini, berbekal sedikit pengetahuan bahasa Farsi demi mendengarkan cerita-cerita langsung dari mulut Afghanistan. Dan begitu asingnya dia sekarang. Kota yang sama, ibukota negeri perang yang selalu membayangi imajinasiku selama bertahun-tahun ini, kini hampir tak kukenali lagi. Kabul hari ini, di hadapanku, adalah kehidupan mewah, pesta foya-foya, kekayaan yang melimpah. Namun semua itu tersembunyi di balik tembok padat yang kumuh dan kusam. Aku tinggal bersama seorang teman dari Indonesia, yang bekerja pada sebuah perusahaan IT di Kabul dengan beberapa warga asing. Teman-teman sekerjanya sesungguhnya adalah orang Afghan yang kini telah menjadi warga sebuah negara Skandinavia. Afghanistan saat ini membuka lebar-lebar pintu investasinya, mengundang diaspora Afghan yang tinggal di berbagai negeri untuk membaktikan diri pada tanah air. Setelah perang berkepanjangan, banyak warga Afghanistan yang mengungsi ke luar negeri dan menjadi warga negara lain. Mereka sekarang boleh bekerja dan tinggal di Afghanistan seberapa lama pun mereka [...]

November 26, 2013 // 0 Comments

National Geographic (2013): Literary Magic in Bali

http://intelligenttravel.nationalgeographic.com/2013/11/12/literary-magic-in-bali/   Literary Magic in Bali Posted by Don George of National Geographic Traveler in Travel with Heart on November 12, 2013 Last month I had the opportunity to participate for the second year in a row in the Ubud Writers & Readers Festival on the Indonesian island of Bali. At the six-day festival, I taught two travel writing workshops, spoke on a panel about the evolution of the genre, and hosted a luncheon conversation with the co-founders of Lonely Planet, Maureen and Tony Wheeler. Celebrating its tenth anniversary, this year’s fest was the biggest gathering yet, with more than 200 authors, musicians, and performers from more than 20 countries participating, and many hundreds of literature-lovers from around the Pacific Rim, Southeast Asia, and beyond attending. As with last year, I was exhilarated to encounter in panels and dinners and performances acclaimed and groundbreaking journalists, novelists, poets, and nonfiction writers from Indonesia, Malaysia, Myanmar, the Philippines, India, Sri Lanka, Australia, Egypt, Syria, Germany, France, Ireland, and England, as well as bright-eyed, book-hugging readers inspired by what these writers create. One of the festival’s highlights was the aforementioned travel writing panel, facilitated by Lisa Dempster, director of the Melbourne Writers Festival. [...]

November 12, 2013 // 0 Comments

Jawa Pos (2013): Perjalanan Akbar Musafir Lumajang

27 Oktober 2013 Perjalanan Akbar Musafir Lumajang Oleh J. SUMARDIANTA REPUBLIK Mauritius merupakan kasus tidak lazim multikulturalisme. Pulau kecil di Samudra Hindia, terapat bermukim bagi lebih dari sejuta orang keturunan Afrika, Eropa, India, dan Asia Tenggara. Di situ pelbagai agama, bahasa, dan. tradisi etnis bergabung dalam kultur harmonis. Tiada negeri lain di belahan dunia mana pun bisa seotentik Mauritius. Negeri mungil itu merdeka dari Inggris pada 1968. Sumber daya yang terbatas dan keragaman etnis mengancam kelangsungan perdamaian. Mayoritas penduduk keturunan India. Kaum minoritas khawatir dikesampingkan. Sedari awal Mauritius diprediksi bakal hancur terjerumus kekisruhan politik, agama, ras, dan etnis. Namun, warga Mauritius, dengan komitmen dasar merayakan perbedaan, merancang konstitusi yang menyantuni semua orang di sekujur negeri. Sebagian besar kursi parlemen diberikan kepada para wakil terpilih dalam pemilu. Delapan kursi dicadangkan buat “peserta kalah pemilu” yang menduduki peringkat terbaik. Kursi cadangan menjamin keterwakilan seimbang kaum minoritas. Keragaman agama dan budaya membuat masyarakat Mauritius memiliki banyak hari libur. Mereka sampai kesulitan membereskan pekerjaan karena setiap kelompok tidak bersedia menghapus hari libur mereka. Dibuatlah kesepakatan: bila suatu kelompok merayakan hari libur, semua ikut merayakan. Hari-hari libur keagamaan tertentu dirayakan rakyat seluruh negeri. Semua orang menghormati Diwali Hindu, [...]

October 27, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 87: Baju Indah

Pelajar Turkmen dengan pakaiannya yang indah (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih terkesima dengan pemuda dan pemudi Turkmen yang semuanya berbaju rapi, indah, dan penuh pesona. Apakah ini bagian wajib dari sebuah Abad Emas? Jeyhun adalah seorang mahasiswa teknik mesin di sebuah universitas di Ashgabat. Namanya berarti Sungai Amu Darya, sungai besar yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya peadaban Asia Tengah. Kampung halaman Jeyhun sebenarnya berada di Uzbekistan, di kota kecil Karakul di selatan Bukhara. Tetapi sekarang keluarganya tinggal di kota Turkmenabat, persis di seberang pintu gerbang Uzbekistan. Mahasiswa yang satu ini berpakaian sangat parlente. Kemejanya putih bersih. Dasinya pun berpadu serasi. Yang bikin mana tahan adalah jas hitamnya yang lembut dan gagah. Celana panjangnya pun hitam mengkilap. Tak lupa sepatu hitamnya yang terus-menerus bercahaya. Tak tampak seperti orang Turkmen? Masih ada tahia, topi bundar, tipis, mungil berhiaskan noktah-noktah berwarna kuning dan merah teronggok miring menutupi ubun-ubun di puncak kepalanya. Bukankah berpakaian seperti ini menghabiskan biaya? Harga jas yang berkualitas bagus seperti ini harganya mulai dari 40 dolar sampai 100 dolar. Sangat mahal untuk ukuran mahasiswa. “Tidak masalah,” kata Jeyhun, seorang mahasiswa dari Turkmenabat yang belajar di Ashgabat, “semua orang jadi kelihatan bagus. Para pelajar di sini sangat cantik dan tampan. Tak ada [...]

October 14, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 64: Di Sini Sutra di Sana Sutra

Selamat datang di negeri sutra (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menghela nafas lega ketika berhasil melepaskan diri dari Halim, yang masih ingin terus menempel ke mana pun saya pergi. Tetapi, petualangan kemarin ke kantor polisi cukup sudah, dan saya tidak mau setiap malam harus tidur merangkul erat-erat tas kamera. Akhirnya Halim hanya minta 5.000 Sum untuk ongkos pulang, dan pergi dengan tertunduk lesu. Masih dengan jantung yang berdebar-debar, saya memutuskan melanjutkan perjalanan untuk menemukan apa yang saya cari-cari selama ini. Kota Ferghana adalah kota besar di seluruh Lembah Ferghana, dengan barisan gedung yang semuanya berbentuk kotak, di pinggir jalan yang diteduhi pohon-pohon rindang. Tetapi Lembah Ferghana, bukan hanya kota Ferghana. Orang yang datang ke sini pasti bertanya-tanya, “Mana lembahnya?” Sejauh mata memandang, ke segala penjuru, tak tampak sama sekali gunung apa pun. Lembah ini luas sekali, sampai 22 ribu kilometer persegi, sampai orang pun lupa berada di lembah.  Kota-kota berdiri di dasar lembah, mulai dari Margilan kota Sutra, Andijan tempat lahirnya Raja Babur, hingga Kokand kesultanan agung Asia Tengah, semakin menyemarakkan lintasan sejarah Uzbekistan. Lembah Ferghana ini adalah salah satu perhentian utama di zaman Jalan Sutra, oasis bagi karavan-karavan unta berduyun-duyun melintasi gunung-gunung surgawi, barisan Pegunungan Tien Shan dan Pamir, membawa segala [...]

September 11, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 56: Permata Islami

Bukhara, permata Islami (AGUSTINUS WIBOWO) O Bokhara! Engkau menghias Langit, Ialah Bulan yang cemerlang, O Langit yang perkasa, memeluk BulanMu dengan riang  Demikian Abu Abdullah Rudaki, sang pujangga Persia, menggoreskan bait syahdu tentang keagungan kota suci Bukhara, lebih dari seribu tahun silam. Keagungan kota suci Bukhara terpancar dari Masjid Kalon yang berdiri megah mendominasi pemandangan langit kota kuno ini. Kalon, dalam bahasa Tajik, berarti besar, secara harafiah mendeskripsikan kebesaran tempat suci ini. Takzim menyelimuti sanubari siapa pun yang berziarah ke Bukhara, kota yang paling mulia di seluruh penjuru dataran Asia Tengah. Pintu gerbang Masjid Kalon membentang tinggi, berhadap-hadapan dengan Madrasah Mir-e-Arab, seperti jiplakan cermin tembus pandang. Gerbang utama, berbentuk kotak, bertabur mozaik dekorasi yang dibuat dengan ketelitian tingkat tinggi, bertahtakan huruf-huruf Arab, dan asma Allah dan Muhammad yang disamarkan dalam ornamen-ornamen yang menyelimuti seluruh dinding. Warnanya coklat, menyiratkan kejayaan masa lalu, dan berkilauan diterpa mentari senja. Menara Kalon, hampir 1000 tahun usianya, menjulang setinggi 47 meter, berselimutkan ukir-ukiran dan detail yang indah. Bentuknya sedikit mengerucut, dan dari puncaknya kita bisa melihat keindahan kota kuno Bukhara. Sayangnya, menara ini sementara tidak boleh dinaiki, gara-gara beberapa bulan yang lalu ada turis bule yang terpeleset dari atas. Keindahan Menara Kalon bahkan menggugah hati [...]

August 30, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 52: Asyiknya Belajar Bahasa Indonesia

Pelajar bahasa Indonesia di Tashkent (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya tari-tarian Indonesia yang ikut menyemarakkan keindahan khasanah budaya Uzbekistan, orang-orang Uzbek pun mulai belajar bahasa nasional kita. Gedung yang terletak di jantung kota Tashkent ini bernama Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sinilah Temur Mirzaev, mahasiswa asal Lembah Ferghana berusia 20 tahun, mendalami Bahasa Indonesia. Temur boleh dikata adalah mahasiswa yang kemampuan bahasa Indonesianya paling menonjol diantara mahasiswa lainnya. Selain menjadi yang terbaik di sekolahnya, ia juga berhasil mendapat beasiswa satu tahun belajar Bahasa Indonesia di Surabaya, mengikuti program Dharmasiswa yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui KBRI. Tak heran dia sama sekali tidak kesulitan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan saya. Bahkan ia sesekali menggunakan kata-kata bahasa gaul yang otentik, seperti cuek, curhat, nih, dong, deh. “Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,” kata Temur bercerita, “saya suka kulturnya, budayanya, alamnya…” Kebetulan nama Temur, dibaca ‘Timur’, pas sekali dengan propinsi Jawa Timur. Di Surabaya Temur tinggal di kost-kostan di tengah gang kampung dan sempat menghadiri acara pernikahan tradisional Jawa Timuran di Kediri. Temur pun terbiasa makan nasi putih, mie instan, dan menjalani kehidupan kampung. Mungkin karena kenang-kenangannya akan Surabaya dan Indonesia, ia menjuluki saya ‘Mas Jagoan’. [...]

August 26, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 51: Ada Indonesia di Uzbekistan

Ozoda dan murid-muridnya (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak banyak negara seperti Uzbekistan. Bukan hanya terkunci daratan, semua negara yang mengelilinginya di keempat penjuru pun sama-sama tak punya lautan. Demikian jauhnya Uzbekistan dari laut, sampai ke utara, selatan, timur, barat, untuk mencapai lautan harus lewat setidaknya dua negara. Tetapi itu bukan berarti orang sini tidak peduli dengan Indonesia, negeri romantis berdebur ombak nun jauh di seberang lautan sana. “Setangkai anggrek bulan…, yang hampir gugur layu….” lagu tempo doeloe mengalun lembut di gedung kepemudaan Samarkand, kota bersejarah Uzbekistan yang terkenal dengan untaian monumen peradaban. Para penonton yang terkesima, ikut berdiri, dan mengayun-ayunkan badannya mengikuti irama lagu kepulauan yang mendayu-dayu. Kalau tidak diberi tahu bahwa yang menyanyi bukan orang Indonesia, melainkan orang Uzbek tulen, saya pun tak percaya. Lafal penyanyinya fasih, iramanya pas, dan emosinya sudah tepat, walaupun kemudian saya menemukan bahwa penyanyinya sendiri tidak tahu apa artinya. Tepuk tangan bergemuruh mengakhiri persembahan lagu Indonesia oleh sepasang penyanyi Uzbek itu. Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan tari-tari tradisional, yang nama-namanya pun tidak semuanya saya kenal, macam Badinding, Sukaria, Piring, Batik, Puspito, dan Yapong. Semuanya dibawakan oleh pelajar-pelajar Uzbek dari Samarkand, dan saya hanya bisa terkesima. Saya dibawa ke sini oleh staff penerangan Kedutaan Besar [...]

August 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 50: Bukan Negara Normal

Tashkent, ibu kota Uzbekistan  (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja sampai di Uzbekistan, saya sudah dipusingkan dengan masalah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Staf KBRI Tashkent siap dengan setumpuk wejangan bagaimana harus melewatkan hari-hari di negara Uzbek ini. Tashkent, dalam bahasa Uzbek disebut Toshkent, berarti ‘kota batu’. Tapi jangan mencari batu di sini. Kota ini sudah tidak hidup di zaman batu dan perjalanan waktu sudah menggiringnya menjadi kota modern dan kosmopolitan di Asia Tengah. Gadis-gadis Rusia berpakaian trendi mengibaskan rambut pirangnya, menyusuri barisan gedung-gedung tinggi yang megah dan rapi. Di musim dingin ini, Tashkent tetap menawarkan kehangatan, kedinamisan sebuah kota maju, plus keindahan gadis-gadis yang menyegarkan mata pria Indonesia mana pun. Kalau mereka dibawa ke Indonesia, semua pasti jadi bintang sinetron. Tidak jauh dari pusat kota ada hotel bintang empat yang cukup membuat orang Indonesia bangga. Siapa sangka kita punya hotel mewah di sini? Hotel Bumi, demikian namanya. Dua tahun lalu hotel ini punya hubungan dekat dengan Bakrie Group. Menjulang tinggi mengundang kekaguman, hotel yang dikenal punya hobi berganti-ganti nama ini, menjadi landmark di sini. Nama aslinya Hotel Tata, dibangun oleh India. Tidak ada orang Tashkent yang tidak kenal nama ini. Tahun ini namanya Le Meridien, tahun depan entah mau ganti [...]

August 22, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 11: Sarandip=Indonesia?

Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!” kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas. “Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher. Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher. Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Surabaya Highlight (2013): How Much Are You Willing to Let Go?

19 April 2013 Surabaya Highlight   http://surabayahighlight.com/highlights-of-the-week/newcomers-in-town/third-cultured/how-much-are-you-willing-to-let-go How Much Are You Willing to Let Go? Surabaya – “There’s no end to traveling, it is all about how well we understand places that we have visited,” an afternoon talk during lunch with Agustinus Wibowo is such an eye opener for lucky Surabaya Highlight. Agustinus Wibowo is a travel writer and freelance journalist that was born and raised in Lumajang, East Java. In his short visit to Surabaya, he agreed to meet us and share his inspiring life to Surabaya Highlight’s readers. Coming from a small town of Lumajang, Agus had a dream to someday see the world outside his hometown. “Children would run around screaming to a plane passing by. I always watch Dunia Dalam Berita, because that was the only chance I had to see the world since there was no internet or other programs,” his vivid explanation made us picturing how it was back then when Agus was a child. Such limitation did not conquer his passion on the outside world because at his fifth grade of elementary school, he started exchanging letters to pen pal around the world. Amazingly, in his early age he made friends with 70 [...]

April 19, 2013 // 0 Comments

[旅行家Traveler] :火山印尼 “后末日”时代

  旅行家2013年01月期 策划/本刊编辑部 执行/王笑一 汤文宇 林伽 程婉 刘江 特约撰稿人/Agustinus Wibowo 本文/Agustinus Wibowo 王笑一 译/明如 专题·印尼 当飞机穿行在印度尼西亚岛屿间,舷窗外不时掠过一座座隆起的火山,犹如火环倒扣在大地之上——在这个世界上火山分布最为密集的国家里,由东到西静卧了400多座火山,其中活火山多达129座,占了全世界活火山数量的1/6。这些动不动就发脾气的怪家伙,大咳几声就是山崩地裂、海啸滔天,威力足以将人类送回史前时代。 梳理印尼的旅游资源,科莫多巨蜥、婆罗浮屠、蜡染、香料、殖民建筑……这些表面看来毫无关联的事物背后,其实都与火山有着千丝万缕的联系。是火山,让印尼地质结构独特、拥有肥沃的土地、长出诱人的物种、引来贪婪的殖民者;也是火山,让印尼的宗教区别又相通、人民知足又乐观;还是火山,在印尼大力发展旅游业的时期,成为一个最有力的卖点。 [...]

January 1, 2013 // 0 Comments

Latitude.nu (2011): ‘Traveling is about Losing your Ego’

December 29, 2011 http://latitudes.nu/indonesian-travel-writer-photographer-agustinus-wibowo/ Indonesian Travel Writer & Photographer Agustinus Wibowo: ‘Traveling is about Losing your Ego’ By: Yvette Benningshof   Passing borderlines is almost a daily routine for Agustinus Wibowo. The travel writer and photographer from Indonesia picked up his backpack at the age of 19 and started to travel throughout Central Asia. He has lived in Afghanistan for three years as a photojournalist and has written two bestsellers books about his borderless travels. Wibowo’s current latitude: Beijing, China. Agustinus Wibowo (30) left his village Lumajang in East-Java, Indonesia in 2000 to study Computer Science in Beijing. From there he started his travels to Mongolia where he got robbed on the first day. That didn’t hold him back to travel to even more ‘dangerous’ countries like Pakistan and Afghanistan in 2003. As a true budget backpacker he took off with only 300 US dollars. ‘I traveled by the cheapest train in China, 70 hours on a hard seat. Then by public transport and hitchhiking trucks in Pakistan. Crossing the border with Afghanistan I used horses and donkeys or just walked my way. I also stayed with local people, that’s why it’s so important to learn the local languages. The [...]

December 29, 2011 // 0 Comments

JalanJalan (2011): Beyond Bali [Garis Batas]

TRAVEL NOTES • GREAT READS Beyond Bali Meski Bali dari Singapura terus jadi favorit turis Indonesia, para penulis travel lokal tak lelah menyuguhkan destinasi alternatif. Berikut buku-buku terbaru mereka.   SCANDINAVIAN EXPLORER: 18 HARI BACKPACKING MENGINTIP FJORD, VIKING, DAN SALMON Asanti Astari Skandinavia dikenal sebagai kawasan dengan biaya hidup tertinggi di Eropa. Namun fakta tersebut tidak menghalangi niat Asanti menjelajah keindahan alamnya selama kurang lebih tiga minggu. Di bukunya, alumni Universitas Indonesia ini merekomendasikan beberapa aktivitas yang layak dilakoni jika tabungan sudah mencukupi, antara lain menonton pentas cahaya Aurora Borealis dan tur kendaraan lintas kota bertajuk “Norway in a Nutshell”.   THE NAKED TRAVELER 3 Trinity Sejatinya, The Naked Traveler bukanlah buku panduan wisata, melainkan bacaan hiburan dan seri ketiganya ini kemungkinan membuat kita tertawa tiga kali lebih kencang. Tetap dengan gaya menulis ala blog, Trinity menuturkan kisahnya berenang di Laut Mati, mandi bugil di onsen (akhirnya ia benar-benar seorang “naked’ traveler), melakoni tur hantu di Bandung, hingga menyusuri jalan-jalan kumuh di Nepal. Seluruh tempat tersebut memang pernah dibahas di buku travel lain, namun yang membuat The Naked TravsJer 3 spesial adalah, Trinity mampu mengolah kejadian remeh sehari-hari jadi humor yang mengocok perut.   BUKAN JELAJAH BIASA: OLEH-OLEH CERITA, BUDAYA, [...]

August 22, 2011 // 0 Comments

Mazar-i-Sharif – Perayaan di Makam Suci

The holy flag in the holy shrine Perayaan Naoruz pun dimulai. Pukul 6 pagi, barisan orang sudah mengular di depan keempat pintu gerbang menuju Rawza Sharif, makam suci Hazrat Ali. Bangunan ini megah berdiri dengan kubah-kubahnya yang bak fantasi negeri seribu satu malam. Dindingnya berukir mozaik indah. Orang asing biasa menyebutnya sebagai Blue Mosque, walaupun gedung ini tidak biru dan sama sekali bukan masjid. Mazar, artinya kuburan. Sharif berarti yang agung. Mazar Sharif menjadi ternama karena dipercaya jenazah Hazrat Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, beristirahat di kota ini. Umat Sunni menganggap Ali sebagai khalifah keempat sedangkan Syiah menganggapnya sebagai Imam pertama. Di kalangan umat Syiah sendiri sebagaian besar menganggap tempat peristirahatan Ali (A.S) ada di Najaf, Iraq. Tetapi di Asia Tengah ada Mazar Sharif dan Shakhimardan (Uzbekistan) yang punya klaim yang sama. Bangunan megah Rawza terletak di tengah taman. Bangunan ini dibangun pada abad ke-13. Berbagai kesaksian mengenai kesucian tempat ini selalu menghiasi buah bibir orang Afghan. Makam suci Hazrat Ali dipenuhi oleh ribuan merpati putih. Konon merpati hitam yang datang akan dengan sendirinya berubah menjadi putih dalam 40 hari. Demikian pula ribuan orang yang datang ke Rawza di hari Naoruz ini. Semuanya menantikan mukjizat dari [...]

March 20, 2008 // 1 Comment

Kabul – Bom Blast (Again)

What? A bomb blast? Come on, it’s just a bomb blast. Let’s continue with the party and plenty of food here. It was like a morning call. A big blast even rocked me from my sleep. I opened my eyes, thought a while, “it might be a bomb blast”, and continued sleeping. Later I just found out that it was a suicide bomb. The location is nearby the airport, about 4 km from my place. But as the sound was very loud, this should be a big bomb, a car bomb. The attacker targeted a NATO-led ISAF military airport, just next to the main military airport. But the target seemed to be very miraculous, as always, as the attacker only killed two Afghan soldiers and injured some others. Suicide attacks have been quite rampant in Kabul in last three months, since the big blast which killed 35 Afghan police cadets and other minor blasts targeted to ISAF soldiers. Calculation on casualties shows that most of the attacks kill civilians or locals rather than foreign ‘enemies’. As it becomes routine, the morning attack didn’t change so much for the people mood. The ladies in our embassy were busier on cooking food [...]

August 31, 2007 // 0 Comments

Kabul – Indonesian Role in the Hostage Crisis

The diplomat-in-charge announces the detail of the story to the community of Indonesian expats in Kabul (which is less than a dozen) If there is one more reason to be proud as an Indonesian, then this comes from the southern part of Afghanistan. Yesterday we were very relieved to hear that a breakthrough had been achieved in the negotiation between Taliban and Korean delegates after a face-to-face meeting held in Ghazni city. The two sides agreed at 5 points of agreement: first, all Koreans will quit Afghanistan by the end of 2007; second, Koreans working for NGOs in Afghanistan will leave the country by the end of this month; third, no more Korean Christian missionaries are allowed to enter Afghanistan; fourth, Koreans will not be attacked when evacuating from this country; five, Taliban have canceled the demands of prisoners exchange. There is not much known by the media and international world, that Indonesia has a big role in this breakthrough of the hostage crisis. A quote from The News When asked whether there was any secret deal also, Taliban commander Abdullah said there was none. He said an Indonesian diplomat, an official from the ICRC and Afghan tribal elder Haji [...]

August 29, 2007 // 1 Comment

Kabul – My Red and White in Kabul

Red-and-White in Kabul What a feeling. I see the Red-and-White flag flying proudly on Kabul sky. Today we celebrate again our independence day. Indonesia is celebrating its 62nd anniversary. And for the Indonesian community in Afghanistan, this day is as special as it is for our other countrymen in Indonesia. Flag ceremony was a routine for most of us when we were receiving education in Indonesian schools. Who had never experienced boredom of attending flag ceremony? Who had never grumbled to be given task to be flag-ceremony commandant or national anthem choir? At least I did. When I was in elementary school and high school in Indonesia, I used to hate Saturday after-school time as it’s the rehearsal schedule for weekly Monday morning flag ceremony. I used to grumble for this so-called nationalism development, discipline training, citizenship building (bla, bla, bla) to justify the routine flag ceremony. I used to grumble when my headmaster forgot to stop his long and dull speech while we, the poor little students, have to stand helplessly under the scorching sun. But all of the dull memories of flag ceremony turned when I left Indonesia to study in China. In my five and half year [...]

August 17, 2007 // 0 Comments

Kabul – Indonesian Products in Afghanistan

Indonesian exhibition booth in Kabul, Afghanistan The first Asia-Europe International Trade Exhibition and Conference is held in Kabul for five days to commemorate the 88th anniversary of independence Afghanistan. The exhibition was attended by several Afghan national and international companies, but we may be proud as Indonesia joined the exhibition as the sole country participant. Indonesia, represented by the embassy, has quite a sizeable booth in the exhibition. The ambassador himself, with full contingent of all diplomats (we have 5), attended the opening ceremony. There were all ladies from the embassy wearing kebaya national dress. Compared to other booths (TV companies, supermarket, design company, carpet products, etc), Republic of Indonesia booth was an obvious distinguished one. Why Indonesia has to be represented as a country and not by any national companies? “It’s a pity that our businessmen are not interested at business in Afghanistan. Actually if we dare to risk, the market in Afghanistan is quite good. We (the embassy) have offered to Indonesian companies, but as they are not interested, so we come to exhibit here,” said a diplomat friend told me. Indonesian embassy is not a company, so what they can bring to exhibit? You can see a [...]

August 13, 2007 // 0 Comments

1 5 6 7 8