Recommended

Indonesia

Port Moresby 17 Agustus 2014: Merah Putih di Papua Nugini

Photo: Tradisi Pasukan Pengibar Bendera Banyak pembaca yang menanyakan apakah saya berada di Papua Nugini saat ini adalah untuk menulis buku baru. Saya memang mempunyai ide menulis buku tentang Nusantara. Namun fokus pembahasan Nusantara ini adalah bagaimana melihat Indonesia melalui garis terluarnya dengan menyusuri semua perbatasannya: Papua Nugini dan Papua, Timor Leste dan NTT, Sangihe Talaud dan Mindanao, lalu Kalimantan dan Sabah Sarawak. Saya juga tertarik mempelajari Nusantara dalam arti luas yang meliputi lingkup budaya Melayu, yang termasuk juga Singapura, Brunai, Thailand Selatan, bahkan sampai India yang menjadi akar budaya Nusantara kita. Saya ingin mengetahui apa yang menjadi alasan bangsa ini ada dan tetap bertahan, kekuatan atau mitos apa yang bisa merekatkan bangsa dengan ratusan bahasa dan puluhan ribu pulau ini sebagai sebuah negara. Ini adalah proyek besar, yang membutuhkan waktu, energi, dan dana dalam jumlah besar. Saya sendiri tidak tahu kapan proyek pribadi ini akan selesai, dan apakah saya memiliki kemampuan finansial untuk menyelesaikannya. Tapi tak mengapa, setidaknya saya berusaha menyelesaikan kedua sisi perbatasan garis lurus yang ada di ujung timur negeri kita ini, yang mungkin akan menjadi bab pertama dari buku masa depan itu. Papua Nugini adalah tetangga dekat yang begitu jauh. Dia adalah sebidang putih sempit di [...]

August 17, 2014 // 46 Comments

Port Moresby 15 Agustus 2014: Sebuah Akhir Pekan di Permukiman

Perkampungan di atas air dan sampah Port Moresby, metropolitan terbesar di Pasifik Selatan, bisa jadi kota yang menegangkan dan mengintimidasi. Untuk merasakan kehidupan Port Moresby, tidak mungkin bagi saya untuk mengelana sendirian ke daerah permukiman mereka. Saya perlu pintu masuk. Melalui beberapa kontak dari Kedutaan, saya mendapat kesempatan menginap dengan sebuah keluarga di Koki, sebuah kampung atas air. Saya dan perempuan bertubuh tambun bernama Rawa yang bekerja di kediaman duta besar RI, berjalan bersama melintasi pasar dan jalan kampung sebelum kami mencapai perkampungan di atas air itu. Sore hari, jalanan begitu ramai oleh manusia. Berbeda dengan jalanan di Jakarta di mana orang-orang berjalan menuju suatu tempat, di sini orang-orang hanya memenuhi jalanan dan berjalan seperti tanpa arah. Saya tidak pernah melihat jalanan beraspal nyaris tanpa mobil tetapi begitu ramai oleh manusia berserakan yang bergeming atau bergerak secara acak. Para lelaki duduk melingkar di lapangan sambil bermain judi kartu dengan uang receh dan mengunyah pinang, lalu meludahkannya dan meninggalkan bercak-bercak seperti darah di mana-mana. Banyak pula dari mereka yang duduk di samping rongsokan mobil menghabiskan waktu. Para perempuan duduk di pinggir jalan merumpi dan tertawa-tawa. Anak-anak, yang mendominasi pemandangan, hampir delapan puluh persen dari manusia yang terlihat di sini dan banyak [...]

August 15, 2014 // 39 Comments

Titik Nol 59: Vegetarian Seumur Hidup

Para porter bermain kartu mengisi senja yang dingin. (AGUSTINUS WIBOWO) Kabut mulai turun menyelimuti barisan pegunungan Annapurna III dan Gangapurna. Tak ada lagi yang tampak kecuali putih yang sempurna. Kami bertiga memutuskan untuk terus berangkat menuju puncak. “Tak perlu kita memforsir tenaga,” kata Jörg, “kita sudah mengirit satu hari di Manang, hari ini kita cukup berjalan satu desa saja sampai ke Letdar.” Pada ketinggian ini, desa semakin jarang dan berjauhan. Gunsang sudah hampir mencapai empat ribu meter, sudah jauh lebih tinggi daripada Gunung Semeru. Pepohonan sudah lenyap, berganti tanaman rumput. Orang Newar sudah tak nampak, yang ada cuma orang Tibet, Tamang, dan Gurung – semuanya orang gunung yang tangguh, bahan baku pasukan Ghurka yang tersohor di seluruh dunia. Kami terus mendaki. Masih kurang sekitar 1500 meter ketinggian lagi untuk mencapai puncak Thorung La. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir akan gejala penyakit ketinggian, karena saya sudah terbiasa dengan beratnya alam di Tibet. Tetapi, sejak meninggalkan Gunsang, saya merasa sedikit pusing dan meriang, ditambah batuk berdahak dan hidung mampet. Menurut peta yang dibawa Jörg, tujuan berikutnya, Dusun Letdar, hanya satu jam perjalanan dari Gunsang. Satu jam, tentu bukan siksaan yang terlalu berat, begitu pikir kami. Tetapi memang terlalu naif kalau menyamakan rayapan [...]

August 14, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 56: Bahasa

Dusun Tibet yang tersembunyi. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak disangka, di desa-desa di seluk pegunungan tinggi negeri terjepit ini, saya mendengar bahasa Melayu dilafalkan di mana-mana. Lintasan Sirkuit Annapurna sudah seperti menjadi lintasan wajib turis yang datang ke Nepal. Desa-desa di sini pun bergantung pada turisme. Kebanyakan desa yang kami singgahi tidak pernah ada sebelumnya. Hanya karena turis, desa-desa baru bermunculan, menawarkan pemondokan dan warung yang menjual makanan mulai dari dhal bat sampai makaroni, pizza, pasta, dan mashed potato. Harga makanan di sepanjang Sirkuit ditentukan oleh ketinggian tempat dari permukaan laut. Semua bahan makanan ini diangkut dari tempat rendah di bawah, oleh porter yang membawa berkarung-karung beras, gandum, tepung, sayur, sampai ayam hidup. Standar harga makanan sudah ditentukan oleh Annapurna Conservation Area Project (ACAP). Di setiap warung selalu tertempel daftar harga standar, biasanya selalu memasukkan dal bat – makanan tradisional Nepal yang terdiri dari nasi dan beberapa macam sayuran. Kalau makan di warung lokal yang bukan anggota ACAP, harganya lebih murah karena bukan ditujukan untuk turis. Harga makanan dengan daging jauh lebih mahal, saya pun jadi vegetarian. Selain jadi vegetarian, saya pun jadi penggemar makanan Barat macam makaroni, pasta, spageti, apple pie, dan mashed potato. Saking terkenalnya makanan Eropa di pemondokan dan [...]

August 11, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 54: Ladang Ganja

Ladang ganja (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Annapurna masih panjang. Memasuki hari keempat, kami baru saja meninggalkan dusun Tal. Kalau dilihat di peta, tak sampai juga dua puluh persen lintasan menuju puncak Thorung. Di pegunungan Annapurna, jarak horizontal tak banyak berarti. Peta dunia di tempat ini seharusnya digambar tiga dimensi, karena ketinggian dan kecuraman pinggang gurun lebih berarti dalam pendakian. Pukul setengah delapan, matahari masih belum terlalu panas. Selepas Tal, pada ketinggian 1700 meter, desa-desa berikutnya semakin tinggi dan sejuk. Gadis pemilik pemondokan begitu ramah, menghadiahi kami masing-masing sebilah tongkat kayu. Kami menyeruput lemon panas yang disediakannya. Sirkuit Annapurna ini begitu nyaman. Pemondokan ramah tersebar sepanjang jalan. Bayangkan, seratus tahun lalu ketika para pendahulu penakluk gunung-gunung Himalaya menjelajah sampai ke sini, yang ada hanya hutan lebat. Bahkan untuk mencari Gunung Annapurna pun mereka tersesat berkali-kali. Tak lama setelah meninggalkan Tal, ada seorang gadis yang duduk kelelahan di pinggir jalan. Di pundaknya ada ransel besar berwarna biru. Di atas ransel masih ada pula matras yang digulung. Di tangannya ada sepasang tongkat treking. “Good morning,” kami menyapa. Gadis itu orang Asia, bermata sipit berwajah datar. “Good morning… Namaste,” ia menjawab, terengah-engah. Saya dan Jörg melanjutkan perjalanan. “Taruhan, gadis itu dari negara mana?” saya [...]

August 7, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 51: Lereng Curam

Namaste……….!!! (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Sirkuit Annapurna sebenarnya termasuk kategori tingkat kesulitan rendah. Walaupun demikian, bagi saya yang tidak biasa berjalan di medan pegunungan, perjalanan ini melelahkan juga. Ada pepatah China mengatakan, “Naik gunung mudah, turun gunung susah”. Mungkin lebih tepat kalau pepatah itu dimodifikasi: Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi. Perjalanan ini dimulai dari Besisahar, pada ketinggian 700 meter, melalui jalan mendaki, terus menurun, terus mendaki lagi, menurun lagi, dan seterusnya hingga ke Puncak Thorung La pada ketinggian 5400 meter, kemudian menurun drastis lagi terus sampai ke bawah. Demikianlah perjalanan hidup manusia. Ada naik, ada turun. Tujuan kita seakan tergambar jelas di awang-awang sana. Tetapi yang paling penting bukan tujuannya, melainkan lintasannya, naik turunnya, senang bahagia dan pahit getirnya hidup. Setiap trekker punya peta Annapurna, lengkap dengan hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, nama dusun-dusun yang akan dilewati, serta ketinggiannya dari permukaan laut. Angka-angka yang menjadi patokan perjalanan ini adalah motivasi untuk terus maju, mencapai tujuan. Yang paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah ketika kita terlalu menggebu untuk mencapai tujuan yang tinggi itu. Dari ketinggian 700 meter hingga 5400 meter, tubuh manusia harus bisa beradaptasi pada perubahan drastis. Di puncak sana, suhu udara rendah dan oksigen minim. Salju [...]

August 4, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 50: Naik Bukit

Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO) Ada pepatah Jerman mengatakan, orang tidak seharusnya memuji hari kalau belum sampai malam. Orang tidak seharusnya senang di tengah jalan kalau belum melihat hasilnya. Hari pertama trekking Annapurna tak semudah yang saya bayangkan. Jalan-jalan keliling desa ini sebenarnya boleh juga. Sawah hijau menghampar di kanan kiri, mengingatkan saya pada hijaunya kampung halaman. Orang-orang Newari yang tinggal di sini pun mirip orang Jawa kulit dan perawakannya, walaupun sedikit lebih mancung. Bahkan kaum perempuannya pun memakai sarung batik sepanjang mata kaki. Motifnya pun mirip dengan yang dipakai perempuan desa di Jawa. Tak salah memang, sarung batik Indonesia banyak diekspor ke sini. Kalau dilihat secara detail, ada pula bedanya. Perempuan Hindu Nepal umumnya menindik hidung sebelah kiri, lalu dipasangi cincin kecil. Cara mereka bekerja mengangkut barang pun berbeda. Orang Jawa biasa mengusung benda berat di atas kepala, kalau orang Nepal digantungkan di kepala. Saya jadi teringat cara orang pedalaman Papua membawa tas yang talinya panjang, juga digantungkan di kepala. Segala jenis barang bisa digantungkan di kepala, mulai dari karung beras, keranjang rotan, sampai lemari baju, dari rumput, kayu bakar, sampai televisi. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua punya kepala sekeras baja. Jalanan datar, tak ada tantangan. Jujur saja, agak membosankan. “Moga-moga Sirkuit [...]

August 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 47: Pernikahan Seorang Kawan

Gorkha, alamnya seperti Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO) Kami sampai di kota Gorkha, asal muasal nama tentara Gurkha yang termasyhur di seluruh dunia itu. Bukan untuk mencari pasukan, tetapi untuk menonton acara pernikahan. Namanya Deepak. Umurnya seumuran dengan saya. Ia bicara bahasa Melayu patah-patah, tetapi lagak bicaranya seperti bos besar saja, mungkin belajar dari majikannya di Johor Bahru. “Nanti di Gorkha boleh tengok orang kawin, you know! Gorkha jauh sangat, you know! Nak ambil bus, sampai sana boleh tengok-tengok, you know!” Lam Li kenal Deepak di Freak Streeet. Mereka langsung akrab, karena pengalaman Deepak bekerja di Malaysia. Seperti halnya tenaga kerja asal Indonesia, pekerja asal Nepal, India, Pakistan, dan Bangladesh pun banyak di Malaysia. Deepak cuma pekerja kasar saja di sana, jadi pelayan di toko onderdil. Pria kerempeng berkulit gelap ini berkata bahwa ada kawannya yang menikah di dusun Gorkha. Ia mengajak Lam Li, yang mengajak Qingqing si gadis Beijing, yang kemudian mengajak saya. Jadilah rombongan kami berangkat pukul enam pagi dari Kathmandu yang masih dingin. Gorkha terletak sekitar 150 kilometer dari ibu kota, melintasi jalan raya utama Kathmandu – Pokhara, berbelok ke utara di pertigaan Abu Karim. Walaupun dulunya pekerja kasar di Malaysia, Deepak lebih bergaya. Ia tak mau naik bus [...]

July 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 38: Hari Perempuan

Kuil Pashupatinath dibanjiri kaum perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Kathmandu disapu warna merah. Ribuan perempuan turun ke jalan, menari mengiringi lagu yang meriah. Wanita mana yang tak bergembira di hari khusus bagi kaum perempuan ini? Di awal bulan Bhadra dalam penanggalan Nepal, kaum wanita bersuka cita menyambut Tij, perayaan bagi kaum perempuan. Kuil Pashupatinath dibanjiri perempuan – gadis, ibu-ibu, hingga nenek tua, semua berpakaian sari merah menyala. Walaupun Tij adalah festival perempuan, sebenarnya unsur lelaki sangat kuat di latar belakangnya. Alkisah, Dewi Parwati berdoa dalam kekhusyukan, berpuasa dalam ketabahan, mengharap agar Dewa Syiwa mau menjadi suaminya. Sang dewa, tersentuh oleh ketulusan hati Parwati, akhirnya menikahinya. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Parwati menjanjikan perempuan yang berpuasa dan berdoa akan mendapat kemakmuran dan kelanggengan di keluarganya. Dari sinilah Tij berasal. Sejak semalam sebelum Tij, selepas makan besar, kaum perempuan mulai berpuasa selama 24 jam. Semua ibadah dan perayaan Tij, mulai dari puasa, sembahyang, dan lantunan lagu, ditujukan untuk memuliakan Dewa Syiwa, yang akan menjamin kebahagiaan keluarga. Mereka yang sudah menikah berdoa demi kesehatan dan kebahagiaan suami. Yang belum, memohon agar Dewa Syiwa segera memberikan jodoh yang paling tepat. Yang sudah menjanda, berdoa bagi arwah suami. Tij adalah hari di mana perempuan beribadah mewakili suami [...]

June 24, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 16: Kebangsaan

Bus mogok di tengah padang luas.(AGUSTINUS WIBOWO) Di dalam kesepian ini, saya malah merasakan kerinduan yang teramat dalam pada kampung halaman. Sudah dua jam kami berhenti untuk sarapan di Coqen. Ada yang aneh. Biasanya bus tak suka berhenti lama-lama. Untuk makan cuma tiga puluh menit, untuk buang air berombongan di pinggir jalan di tengah padang rumput luas, tak lebih dari tiga menit. Laki-laki dan perempuan pun sampai bersamaan melaksanakan hajat, karena bus kami yang merayap lambat di jalan selalu ‘tak punya waktu’ untuk berhenti. Meninggalkan Coqen, bus bukan merambat lagi, tetapi merangkak. Empat puluh menit perjalanan, kami baru menempuh tujuh kilometer. Setelah itu, bus berhenti sama sekali. Rusak. As roda patah. Perjalanan tak mungkin lagi dilanjutkan. Semua penumpang terdampar di padang rumput. Sekarang, tak seorang pun tahu kapan kami bisa sampai ke Lhasa. “Lhasa? Jangan mimpi. Bisa jalan lagi saja sudah hebat,” kata seorang penumpang berpakaian tentara sinis. Satu jam berlalu. Semula saya senang karena dengan terdampar di sini, monotonnya perjalanan di atas bus bisa sedikit terhapuskan. Semboyan perusahaan bus Tibetan Antelope, “Meiyou Lutou de Laoku, Zhiyou Zaijia de Xiangshou – Tak Ada Susahnya Perjalanan, Cuma Ada Nikmatnya Rumah Tinggal”, yang tertulis besar-besar di badan bus adalah ironi. Sudah lima [...]

May 22, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 100: Lagi-Lagi, Cheragh

Aku bermalam di sebuah kedai teh gelap dan luas di Lal. Dalam hitungan beberapa menit saja, aku sudah melahap habis nasi palao dan kari kentang yang disediakan, saking laparnya. Malam hari gelap gulita, lolongan anjing membahana memecah kesunyian. Semakin dekat dengan pegunungan Hazarajat, udara semakin dingin. Aku meringkuk di bawah selimut apak yang disediakan pemilik warung. Ketika pagi menyingsing, aku kembali terbayang betapa beratnya perjalanan ini. Petualangan kemarin sungguh tak mengenakkan. Juga hari-hari sebelumnya ketika aku harus tertambat di berbagai desa sunyi menunggu kendaraan. Aku melangkah gontai menuju jalan. Kembali duduk di emperan menunggu mobil melintas. ”Salam! Kamu masih di sini?” Tiba-tiba Cheragh menepuk pundakku. Ia tertawa seperti tanpa dosa, tampak sekali suasana hatinya sedang ceria. ”Ayo, ikut sarapan bersama kami. Kami tinggal di warung seberang.” Sebenarnya aku tak terlalu menaruh banyak harapan lagi dengan orang-orang Hazara ini. Aku duduk di sudut. Semua sopir, mekanik, dan kenek Hazara duduk bersila sepanjang dastarkhon. Mereka bersiap menyantap roti nan panjang ditemani krim susu kemasan dan teh hijau manis. “Kamu mau ke Bamiyan?” tanya Cheragh, ”Kami bisa mengangkutmu sampai ke Panjao.” Kali ini ia menawarkan. Aku sebenarnya sudah malas dengan mereka. Tetapi di tempat seperti ini sering kali kita tak punya pilihan. “Kami [...]

March 14, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 99: Siapa Lagi yang Bisa Dipercaya?

“Jangan khawatir. Kita naik angkot saja sampai ke Daulatyar. Gratis. Nanti dari Daulatyar banyak truk. Kamu bisa menumpang dengan mudah,” kata Khaliq menghiburku, ketika kami sama-sama ketinggalan kendaraan. Khaliq tidak punya angkot. Ia juga penumpang, sama sepertiku. Sopir angkot—tentu saja—tetap menarik ongkos. Ia tidak membawaku ke Daulatyar, tapi ke dusunnya di Shinia. Ia tak punya truk, jadi tak mungkin menjanjikan angkutan sampai ke Bamiyan. Dan di desa ini tak ada truk yang lewat, cuma keledai. Shinia bukan tempat yang baik untuk mencari kendaraan. Di sini hanya ada satu jalan berdebu sempit. Kios-kios dari tanah liat berbaris dalam sepi. Kotak-kotak susu dari Pakistan sudah dibungkus debu. Demikian pula radio ringsek dari Cina dan botol sampo dari Iran. Tak ada pembeli. Penjual hanya melewatkan hari. Rombongan kambing dan keledai bergantian melintas mengisi kekosongan hari. Khaliq bersungguh-sungguh mengundangku ke rumahnya untuk makan siang. Aku ogah-ogahan mengikutinya, takut tertinggal kendaraan. Sudah dua jam menunggu, tak ada satu pun yang lewat. Bagaimana kalau waktu menikmati makanan justru ada kendaraan lewat? Bagaimana kalau ketinggalan satu kendaraan saja berarti harus menginap tiga hari di dusun terpencil ini? Baru saja aku melangkah mengikuti Khaliq ke timur, dari kejauhan mengepul debu yang diterbangkan oleh hewan berat. ”Kamaz!!!” aku bersorak. [...]

March 13, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 98: Kejujuran Memang Mahal

Hidup di negeri yang bersimbah perang selama puluhan tahun telah membunuh urat takut. Cheragh, sopir Kamaz ini, nekat melakukan apa pun untuk keluar dari kubangan Afghanistan. Tubuhnya gemuk. Jubah kelabunya lusuh dan coreng-moreng oleh minyak. Cambang dan jenggotnya lebat, sangat tak lazim di kalangan etnis Hazara. Matanya sipit namun tajam, miring ke atas membentuk huruf V. Namanya berarti ”lampu” atau ”cahaya”, sungguh nama yang indah di kegelapan pedalaman Afghanistan yang belum diterangi listrik. ”Jangan khawatir,” katanya, ”karena kamu orang Indonesia, besok kamu boleh ikut truk ini sampai ke Bamiyan.” Ternyata Cheragh pernah tinggal di Indonesia. ”Aku dulu tinggal di sebuah pulau, di dekat Jakarta. Pulau kecil, tak ingat namanya.” Taliban menguasai Afghanistan. Kaum Hazara yang Mongoloid dan penganut Syiah mengalami pembantaian massal. Tak banyak pilihan, mereka mengumpulkan segala yang dimiliki untuk meninggalkan kampung halaman yang sudah berubah menjadi neraka. Cheragh naik kapal, berdesakan dengan empat ratus pengungsi Afghan lainnya, menyelundup dari Malaysia menuju Australia. Malang, Angkatan Laut Indonesia menangkap kapal yang ditumpangi para pendatang ilegal ini. Impian Cheragh dan rekan-rekan seperjalanannya untuk mencapai Australia kandas di pulau mungil. Tak banyak yang bisa dilakukan di Indonesia. ”Pekerjaan tak ada. Hidup tak ada. Walaupun mereka mengizinkan tinggal dua bulan, aku tak tahan [...]

March 12, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 88: Belajar Membaca

”Lima ratus Afghani!” kata sopir beserban yang baru saja datang dengan truk barangnya. Ia datang dari Herat menuju Cheghcheran di timur. Semula aku bersorak gembira ketika akhirnya debu mengepul dari arah barat dan truk besar ini singgah di restoran Kakek Iqbal. Itu harga yang terlalu mahal. Kakek Iqbal ikut marah. ”Jangan zalim! Dia ini tamu di negara kita. Mana boleh kamu menarik ongkos begitu mahal dengan truk bobrokmu itu?” “Truk ini sudah penuh,” sanggahnya, ”Tidak ada lagi tempat buat penumpang. Lihat sendiri, ada dua perempuan yang duduk di badan mobil. Kalau mau sih orang asing ini bisa duduk di bagian truk terbuka dengan barang-barang.” Aku tak keberatan. Kakek Iqbal membantu menawar sampai 150 Afghani. Sudah dua hari aku menunggu kendaraan lewat di Chisht, yang kuinginkan sekarang cuma cepat-cepat meninggalkan desa ini dan melanjutkan perjalanan. ”Kalau begitu, besok pagi kau harus siap jam delapan. Kita berangkat,” kata sopir. Sopir ini membawa konvoi tiga truk. Semuanya penuh barang yang berkarung-karung. Bersama konvoi ini sudah ada belasan orang yang ikut menumpang ke arah barat. Di jalur tengah Afghanistan, di mana tak ada jalan raya dan angkutan umum sangat mahal, truk adalah satu-satunya pilihan bagi kebanyakan orang. Malam hari, Kakek Iqbal menikmati panen. Dengan [...]

February 26, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 87: Petualangan Legendaris

Sekitar lima ratus tahun lalu, perjalanan yang kulalui ini adalah petualangan akbar dan legendaris dari seorang raja besar. Raja Babur adalah pendiri Dinasti Moghul, yang meninggalkan bangunan megah di Taj Mahal di India. Babur berasal dari daerah yang sekarang wilayah Uzbekistan, dikejar-kejar dan mau dibunuh sehingga lari ke Afghanistan. Di negeri ini, petualangannya dimulai dari Herat, tempat ia mencari perlindungan pada Sultan Baiqara. Herat kala itu sudah menjadi pusat peradaban, seperti halnya Bukhara dan Samarqand. Masjid agungnya bersinar, perdagangannya maju, dan militernya kuat. Tetapi Babur tak betah tinggal di kalangan keluarga istana yang penuh intrik politik. Bersama para pengikutnya yang setia, ia berangkat menuju ke Kabul. Ia tak memilih jalan lewat Kandahar yang lebih mudah. Ia justru memilih jalur Lintas Tengah Afghanistan, menembus pegunungan Ghor dan Bamiyan. Tapi ini malah menjadi perjalanan yang paling mematikan dalam hidup Babur. Aku pun akan melalui lintasan yang kira-kira sama dengan yang diambil Raja Babur. Abad milenium tentunya jauh berbeda dari abad pertengahan. Namun satu fakta yang tidak berubah, jalan ini tetap sulit dilewati, diperuntukkan hanya bagi mereka yang punya keteguhan baja dan tahan banting. Seorang kakek tua dengan sekarung gembolan di pundak, mirip Sinterklas, duduk di sampingku di dalam bus berkarat. Jenggotnya pun [...]

February 25, 2014 // 4 Comments

#1Pic1Day: Naga Kebebasan | Dragon of Freedom (Indonesia, 2013)

Dragon of Freedom (Indonesia, 2013) During the New Order under Suharto, Chinese culture was banned in Indonesia, including traditional and religious rituals. After the Reform Era, Chinese Indonesian (known locally as Tionghoa, from the Chinese word of “Zhonghua”) started to gain their rights as citizens, including performing their culture. The annual celebration of Cap Go Meh, the 15th day after the Chinese New Year/Spring Festival, is a great festive for the whole city. Chinese temples and other communities (including Muslims) participate in the parade, showcasing traditions and dances from all over Indonesia, including the Chinese Dragon Dance, for sure. Naga Kebebasan (Indonesia, 2013) Pada masa Orde Baru, kebudayaan Tionghoa dilarang di Indonesia, termasuk ritual perayaan tradisional dan religius. Setelah memasuki era Reformasi, barulah Tionghoa bebas mengekspresikan budaya mereka. Acara tahunan Cap Go Meh, atau hari ke-15 sesudah Imlek, menjadi pesta rakyat yang sangat meriah di Bogor, di mana berbagai elemen masyarakat dan kelenteng-kelenteng di Jawa Barat berparade menampilkan kebudayaan Nusantara dan kebudayaan Tionghoa, termasuk barongsai. [...]

January 31, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 44: Jantung Negeri Bangsa Pashtun

Perang memang telah mengubah banyak hal tentang Kandahar. Tetapi tidak sedikit pula pernak-pernik kehidupan bangsa Pashtun yang tidak berubah. Tidak adil kiranya jika kita menganggap Kandahar hanyalah kota yang penuh kengerian dan kekerasan. Kota ini sesungguhnya adalah kota yang menyenangkan, terlepas dari panasnya musim panas nan ganas. Ya, suhu udara naik setiap hari. Saat aku datang 45 derajat, lalu besoknya 46, lalu 47, lalu 48, dan hari ini 49 derajat Celcius. Kenapa Kandahar sepanas ini? Ada dongeng tentang Baba Farid, seorang pertapa Sufi yang menghukum Kandahar karena penduduknya yang tidak ramah. Dia menyamar sebagai pengemis, meminta makanan di pinggir pasar. Tapi tidak seorang pun yang sudi mengasihaninya. Dia marah karena kelakuan para penduduk. Dia menangkap ikan dari sungai, mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit. Matahari perlahan turun mendekat, memanggang ikan itu sampai matang dan bisa dimakan. Bukan cuma ikan yang dipanggang. Seluruh penduduk Kandahar pun menjadi bangkai gosong. Matahari yang mendekat, inilah alasan kenapa panas musim panas Kandahar begitu ganas. Panas beberapa hari ini semakin tidak tertahankan, karena pasokan listrik begitu buruk setelah Taliban menyerang pembangkit listrik di Helmand. Terlepas dari begitu banyak peringatan keamanan, aku memaksakan diri sendirian berkelana melewati gang-gang sempit di pasar kuno Kandahar. Ada empat bazaar utama: Herat [...]

December 26, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 40: Afghan Tourism

Pariwisata ala Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Nama “Afghanistan” dan kata “turisme” sepertinya memang bukan pasangan serasi. Yang satu tentang kemelut perang, yang satu tentang piknik suka-suka. Tapi toh kedua kata itu bertemu di papan gedung tua Afghan Tourism Office (ATO) di pinggiran rongsokan bangkai pesawat di jalan menuju bandara (peringatan seram buat siapa pun yang mau terbang dari bandara ini!). Hasilnya adalah sebuah pengalaman turisme yang khas Afghanistan. Hari kedua mengurus surat di Kementerian Informasi dan Kebudayaan ternyata berlangsung mulus-lus. Wakil Menteri kebetulan ada di kantornya. Dia mewawancaraiku, menanyakan tentang apa yang kulakukan di Kabul, di mana aku tinggal, kemudian menandatangani suratku, dan memintaku pergi langsung ke kantor ATO. Masalahnya, tidak banyak sopir taksi yang sungguh tahu di mana itu kantor dinas pariwisata negeri Afghan. “Memangnya ada kantor seperti itu?” beberapa dari mereka bertanya. “Turis atau teroris?” tanya yang lain. Kedua kata serapan bahasa asing ini memang masih sulit diucapkan oleh lidah Afghan, tapi memang bisa saja turis menyambi jadi teroris, atau teroris menyamar jadi turis. Aku memilih naik kendaraan umum, yang harganya cukup murah, 10 afghani. Bus berhenti tepat di bandara, yang ternyata masih cukup jauh dari kantor ATO. Kantor yang dimaksud adalah bangunan tua, suram, gelap tanpa lampu, bolong-bolong [...]

December 20, 2013 // 1 Comment

The Palace of Illusions

When drawing a picture about memory of the past, we tend to have only two alternatives. Either we amplify good memories and minimize the bad ones, or the other way round. When the nostalgia is about history, this can be dangerous, as the history may turn to an illusion, no matter how real the events are. The incidence of nostalgia may bring you to homesickness. American physicians in nineteenth century even pointed out that acute nostalgia led to “mental dejection”, “cerebral derangement” and sometimes even death. In Indonesia, the so-called history is never so long ago. Some people say, Indonesians have such short memories as they suffer from “history amnesia”. With most of its population are less than 30 years old, majority people did not really experience the whole history of the Republic, from the Independence struggle era (1940s), Sukarno’s Old Order (1950s), the chaos before the arrival of Suharto’s New Order (1960s), and the never ending period of our-president-is-him-again-and-him-again (1970s-1990s). When grumbling about the hardship in current democratic period, people tend to turn their head to the past: how strong and respected our country during Sukarno! How things were cheap and life were happy under Suharto! How we need [...]

December 15, 2013 // 7 Comments

Selimut Debu 32: Legenda Masa Lalu

Ahmad Sabur di Kakrak (AGUSTINUS WIBOWO) Lembah ini bersimbah air mata. Ada sebuah legenda indah namun tragis tentang Bamiyan. Konon, di lembah Bamiyan pernah bertahta raja Jalaluddin. Raja memaksa putrinya menikah dengan seorang pangeran tampan dari Ghazni. Tapi hati sang putri bukanlah pada lelaki itu. Dia tidak rela dipaksa menikah oleh ayahnya. Dalam hatinya tumbuhlah dendam pada sang ayah. Pada saat itu, kabar mengenai keganasan bangsa Mongol sudah tersiar ke negeri-negeri tetangga. Pasukan Jenghis Khan membabi buta menerjang ke negeri-negeri Muslim, menghancurkan semua peradaban, membakar habis kota-kota, memerkosa dan membantai penduduk yang malang. Tidak lama lagi, pasukan Mongol itu akan tiba di negeri Bamiyan. Tebersit dalam benak sang putri, inilah saat  terbaik untuk menghukum ayahnya. Apabila kekuatan seorang wanita tidak sanggup menghukum lelaki jahanam itu, batinnya, bagaimana kalau dengan menggunakan tenaga para lelaki Mongol yang tidak pernah kenal belas kasihan? Hanya dengan kata-kata, sang putri yakin ayahnya akan hancur. Dia membocorkan rahasia benteng kerajaan ayahnya pada pasukan Mongol. Tidak perlu lama, tanpa bertele-tele, pasukan Mongol berhasil menundukkan benteng Jalaluddin berkat informasi rahasia dari sang putri. Jenghiz Khan terkenal sebagai kaisar berhati dingin. Di kebanyakan negeri yang dikalahkannya, semua makhluk dibantai habis. Lolongan ratapan berkumandang dari seluruh penjuru benteng itu. Pria, [...]

December 10, 2013 // 1 Comment

1 4 5 6 7 8