Recommended

perbatasan

Selimut Debu 60: Bertualang di Garis Batas

Negeri itu begitu dekat, bagaikan film tiga dimensi yang diputar di depan mata. Wakhan dan Tajikistan hanya dipisahkan oleh Sungai Amu. Tajikistan terlihat di mana-mana di sepanjang Koridor Wakhan. Tajikistan terlihat seperti tembok gunung tinggi, terkadang diselingi lembah hijau, tepat di seberang sungai besar yang bergejolak marah. Bahkan mobil-mobil, kuda, keledai, dan barisan tiang listrik dari negeri tetangga itu dapat dilihat dari Afghanistan. Dekat di mata, jauh di kaki. Tajikistan mungkin sejauh langit, atau bahkan lebih jauh. Di sisi sungai sebelah sini, hidup begitu berat dan penuh kekurangan. Meninggalkan Ishkashim, menyusuri tepian Sungai Amu di sisi Wakhan, jalanan semakin buruk. Sudah bukan lagi jalan makadam yang bisa dilalui mobil, tapi benar-benar padang liar yang penuh dengan jeram dan kubangan. Jalan ini sering kebanjiran, dan beberapa daerah sangat berlumpur, sehingga mobil yang sanggup melewati medan seperti ini adalah jip Rusia yang tangguh, 4WD, dan traktor. Berkubang bukanlah monopoli kerbau saja. Di Wakhan, mobil pun berkubang. Jip Rusia kuno yang kutumpangi dari Ishkashim terseok di dalam pasir, tenggelam hampir separuh roda. ”Khoda-e-man! Ya Tuhanku!” teriak Hamid si sopir jip kurus yang masih belia dan berkulit putih, ketika mobil terperosok ke luberan air di tanah berpasir. Aku melompat turun. Tinggi air selutut. Arusnya [...]

January 17, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 59: Melihat Dunia Luar

Di zaman sekarang, informasi tentang dunia luar jauh lebih mudah didapatkan. Orang Afghan tidak perlu harus menjadi pengungsi dulu untuk melihat kehidupan di dunia luar. Cukup menyalakan televisi, dan voila, fantasi semua penonton digiring pada sebuah kehidupan di dunia yang sama sekali berbeda. Sekarang acara lagi yang populer di televisi Afghanistan, selain siaran berita, adalah sinetron India yang judulnya “Ibu Mertua Juga Pernah Jadi Menantu.” Anehnya, acara opera sabun yang tidak habis-habis ini justru menjadi favorit para lelaki Afghan yang tampak berjenggot dan beringas. Sumber informasi lainnya bagi orang-orang di Ishkashim datang dari para tentara asing. Hari ini, para tentara gabungan mancanegara (ISAF) datang dan menyebarkan buletin publikasi (atau propaganda) mereka yang berjudul ISAF News. Dalam bahasa Farsi, nama buletin ini berjudul Sada ye Azadi, yang artinya “Suara Kemerdekaan”. Dua mobil baja besar berisikan tentara Denmark singgah di Ishkashim. Dalam sekejap mereka dikelilingi para penduduk desa yang begitu gembira menerima pamflet informasi dengan gambar-gambar berwarna. ISAF News terdiri dari beberapa halaman, terlihat seperti koran, ditulis dalam tiga bahasa: Inggris, Farsi, dan Pashto. Isinya beraneka ragam, mulai dari foto-foto Piala Dunia, cerita humor Molla Nasruddin, berita dunia, kegiatan ISAF (sepertinya ini yang menjadi poin utama). Bagian yang menarik adalah sebuah kolom [...]

January 16, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 58: Masih Tidur

Pagi bermula dengan begitu damai di Ishkashim. Pagi yang biasa, sejuk yang biasa, dan kemalasan yang biasa ala daerah pegunungan. Para lelaki di toko roti mulai sibuk membuat roti nan yang datar dan panjang. Mereka membuat roti dengan meletakkan adonan tepung yang sudah berbentuk di dalam tungku bokhari di dalam lobang di bawah tanah, dengan api yang menjilat-jilat langsung ke permukaan roti. Hasilnya adalah roti tebal yang renyah saat hangat. Para bocah di restoran baru saja menikmati sarapan dengan mencelupkan serpihan-serpihan roti ke dalam semangku teh susu yang asin rasanya. Ishkashim adalah juga sebuah kota pasar. Jalanan utamanya hanya segaris, merupakan jalan sempit berlumpur yang pada kedua sisinya berbaris toko-toko dan kios-kios kecil. Barang yang mereka jual kebanyakan buatan China, tetapi mungkin dalam waktu dekat akan dimeriahkan dengan barang-barang produk negeri-negeri Asia Tengah. Katanya ada rencana untuk membuka zona perdagangan bebas di sebuah pulau di tengah Sungai Amu, sehingga para pedagang dari kedua sisi perbatasan bisa bertransaksi dengan mudah tanpa harus mengurus visa. Ini diharapkan bisa memacu perdagangan antara Afghanistan dan Tajikistan Barang Indonesia pun sudah mencapai sudut terjauh Afghanistan ini. Setidaknya, kita bisa melihat foto-foto Ikke Nurjannah yang tersenyum di atas pembungkus sampo sachet Emeron, atau juga meneguk teh [...]

January 15, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 57: Mengintip Tajikistan dari Afghanistan

Kepalaku pusing, aku hampir tak sanggup melangkah ketika polisi menyeretku ke ruang wawancara. Dia mengamati pasporku. Tapi dia memang tidak kenal huruf, pasporku dibaca terbalik, atas ke bawah. Aku harus minta izin darinya, karena aku sudah tidak sanggup lagi mengendalikan diareku. Kantor polisi ini punya toilet, tapi tidak ada air. Aku tidak punya kertas. Jadi dia menyuruhku menyelesaikan urusanku di balik pepohonan, dan mencuci diri dengan air di selokan. Ketika aku kembali dari urusan berhajat, pasporku dikembalikan. Tanpa dia melakukan apa-apa dengan paspor itu. Katanya, dia juga tidak tahu mau diapakan pasporku itu. Aku diminta datang lagi besok, karena komandan yang bertugas mengurusi orang asing sepertiku sudah tidur. Jam 4 sore si komandan sudah tidur? Mungkin juga dia kena diare seperti aku? Petugas itu tak jawab. Ah, sudahlah. Aku pergi ke warung yang ada di seberang jalan. Aku beristirahat di sini. Di Afghanistan, kita bisa menginap di warung atau kedai teh gratis asalkan kita makan di  sini. Warung punya kewajiban mengurusi para musafir. Berkat kode keramahtamahan Afghan inilah, aku bisa bertahan di negeri yang keras dan sulit ini. Bocah kecil yang bekerja di warung menyiapkan matras di lantai, juga selimut tebal supaya aku bisa tidur siang. Dia menyiapkan seteko teh, [...]

January 14, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 56: Ladang Candu

Jarak dari Faizabad menuju kota Ishkashim di timur hanya 160 kilometer. Tetapi seperti halnya seluruh jalanan di Badakshan, jalanan ini pun berdebu, tidak beraspal. Transportasi sangat sulit dan tidak terjamin. Provinsi yang sejuk ini termasuk daerah paling tertinggal di Afghanistan. Bahkan ibukota provinsi pun sama sekali tidak memiliki jalan beraspal. Selama di Faizabad aku tinggal di rumah seorang jurnalis merangkap petani bernama Jaffar Tayyar, di pinggiran kota. Seperti biasa, semua kendaraan umum jarak jauh berangkat pagi-pagi buta karena bepergian di negeri tanpa jalan beraspal dan tanpa listrik di malam hari sangatlah berbahaya. Untuk mencapai terminal bus Faizabad, aku harus meninggalkan desa tempat tinggal Tayyar sejak pukul 4 subuh. Tidak ada kendaraan yang langsung menuju Ishkashim. Semua harus berhenti dulu di Baharak, 42 kilometer atau sekitar 2 jam perjalanan dari Faizabad, dengan ongkos Af 150 (US$3).  Baharak adalah dusun pasar yang teramat biasa. Di sinilah kita bisa menemukan kendaraan menuju Ishkashim. Semua kendaraan baru berangkat ketika penumpang penuh, tapi Ishkashim bukanlah tujuan yang umum, sehingga jadi berangkat atau tidaknya sangat tergantung pada keberuntungan. Aku beruntung karena ketika aku tiba di Baharak, ada sebuah kendaraan Toyota 4WD (yang bertuliskan besar-besar “ATOYOT”, mungkin yang menulis adalah orang Afghan yang terbiasa menulis dari kanan [...]

January 13, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 21: Agama di Garis Batas

Tasku jebol setelah perjalanan panjang ini, dan tukang reparasi sepatu di perbatasan Pakistan ini begitu piawai memperbaikinya (AGUSTINUS WIBOWO) Di Pakistan, aku sungguh disadarkan bagaimana cara Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Bus yang semestinya aku tumpangi kemarin kalau tidak bangun kesiangan di Kabul, ternyata mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang saat melintasi jalan pegunungan Karakoram Highway yang berbahaya. Ada penumpang yang tewas, untungnya aku tidak jadi menumpang bus itu. Penumpang di sampingku adalah seorang pelajar berusia 17 tahun (walaupun wajahnya kelihatan seperti 30 tahun lebih), orang Pathan/Pashtun dan mengaku pernah ke Afghanistan. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Katanya, zaman Taliban dulu mereka tidak perlu pakai paspor untuk pergi ke Afghanistan, karena berewok sudah cukup sebagai paspor. Di zaman Taliban, hukum sangat keras, mereka memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri, potong lengan bagi perempuan yang kelihatan auratnya, atau hukuman mati bagi pembunuh jika keluarga korban tidak mau mengampuni. Kesalahan Taliban, menurutnya, adalah mereka menerapkan hukum Islam secara ekstrem dan sangat mendadak, tidak melalui tahapan-tahapan. Akibatnya, mereka tidak didukung sebagian besar orang Afghan. Hanya saja selama masa Taliban, Afghanistan jauh lebih aman dan stabil. Dia pun tak habis pikir mengapa Amerika menyerang Taliban. Toh bukan Taliban yang menghancurkan WTC? Osama, tokoh utama dalam cerita ini, [...]

November 25, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO) Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal. Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir. Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu. Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku. Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! [...]

November 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan melintasi jalan berdebu ini begitu lambat, sangat lambat. Seperti halnya negeri ini yang begitu perlahan, sangat perlahan, menyingkap kembali cadar pekat yang menutupi wajahnya setelah 30 tahun diamuk perang melawan Soviet, perang sipil antara suku-suku, perang antara Mujahiddin dan Taliban. Pemandangan di luar, gunung-gunung tandus yang sesekali diselingi lembah-lembah hijau, mengingatkanku pada film-film aksi Amerika tentang perang Afghanistan. Dan kini layar film yang datar itu berubah menjadi pemandangan tiga dimensi di sini. Mobil berhenti di tepian jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Di bawah teduhnya pepohonan, nampak barisan tenda-tenda pedagang buah-buahan. Kami sudah memasuki daerah Jalalabad yang memang terkenal dengan buahnya. Seorang penumpang, kakek tua berjanggut putih beserban putih, turun membeli beberapa melon. Saat kakek itu menggendong melon-melon besar menyeberang jalan, aku menjepretkan kamera. Dia terkejut, buah-buahan yang semula aman dalam dekapannya, tiba-tiba menggelinding di jalan raya itu. Untungnya dia tidak marah, malah tersenyum tipis di balik lapisan jenggotnya itu. Setetes keringat dingin sempat mengalir di keningku, khawatir berbuat salah di negeri yang katanya penuh darah ini. Alunan lagu Afghani mengalir dengan gempitanya dari tape usang falangkoch, diiringi dendang yang membawa suasana ke alam gurun Timur Tengah. [...]

November 12, 2013 // 5 Comments

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul. Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!” Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu. Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, [...]

November 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 10: Makhluk Asing

Pemandangan pertama negeri Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Detik-detik menuju Afghanistan semakin dekat. Di ruang pemeriksaan paspor, setumpuk paspor hijau Korea Selatan tiba-tiba menyeruak, dibawa seorang pria yang kucurigai sebagai pemandu wisata. Di luar tampak beberapa pemuda dan pemudi Korea yang cekikikan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. Tak kusangka, rombongan turis pun sudah sampai ke Afghanistan. Entah berapa lama lagi perjalanan ke Afghanistan masih layak disebut sebagai petualangan, sebelum negeri yang eksotik ini disulap menjadi taman hiburan Disneyland Edisi Zona Perang bagi turis-turis asing. Adam dan aku melangkah menuju gerbang besar Afghanistan. Berbeda dengan Pakistan, tidak nampak tulisan “Welcome to Afghanistan” di sini. Atau mungkin saja ada, tapi dalam huruf Arab yang tidak bisa kubaca. Kami berjalan bersama seorang pria Afghan bertubuh subur, dengan bahasa Inggris yang fasih. Rupanya dia adalah penerjemah untuk kantor berita Fox. “Kamu tahu, Fox itu memang persis seperti fox, mereka selicik rubah,” bisik Adam kepadaku, ketika pria itu tak hentinya menceritakan tentang pekerjaannya, kekayaannya, gajinya yang fantastis, … sungguh ironi dengan kemelaratan negara yang habis dihajar perang berpuluh-puluh tahun. Memasuki Afghanistan, jarum jam seperti diputar mundur lima puluh tahun. Kekacauan yang balau, hiruk yang pikuk. Orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang berbongkah-bongkah. Wanita-wanita [...]

November 8, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 8: Menembus Lubang Singa

Menerjang masuk ke lubang harimau. Entah apa yang menanti di balik sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap. Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memandangi visa Afghanistan yang tertempel di pasporku. Bagaimana ini bisa jadi nyata? Lebih mustahil lagi, hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itu selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu. Pukul setengah sembilan pagi, aku dan Adam sudah check out dari Peshawar Golden Inn—penginapan yang namanya megah tetapi berupa barisan kamar sempit mirip penjara yang cocok untuk para turis tak berduit seperti kami. Sungguh berat menyiapkan mental menembus gerbang perbatasan yang memisahkan kita dari sebuah dunia lain di sana. Pemilik hotel tersenyum ramah, sembari bertanya, “Sudah siap?” Aku tak bisa menjawab. Dalam hitungan menit, pemilik penginapan sudah membantu kami mencarikan taksi yang akan membawa kami ke perbatasan. Sebagai orang asing, kami tidak diizinkan untuk menggunakan angkutan umum menuju ke Khyber, karena seperti yang selalu dikatakan pemerintah Pakistan, daerah Tribal Area itu ‘teramat sangat berbahaya’. Tawar menawar alot pun sempat terjadi antara supir taksi dan kami, dan akhirnya, “OK! [...]

November 6, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 7: Mengintip Afghanistan

Bersama para bodyguards Afghan di Konsulat Afghan di Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Peshawar adalah satu-satunya jalan bagiku untuk mewujudkan mimpi menuju negeri bangsa Afghan. Apa pun rintangannya, harus aku hadapi. Tidak ada jalan lain untuk mundur. Kantor konsulat Afghanistan di Peshawar buka hanya setiap hari Selasa dan Kamis, konon merupakan tempat yang paling mudah di seluruh dunia untuk mendapatkan visa Afghanistan. Aku datang pagi-pagi sebelum jam kantor buka. Sudah cukup banyak orang Pakistan yang berbaris, namun petugas yang melihat wajahku yang jelas sebagai orang asing ini menyuruhku langsung masuk tanpa mengantre dan menunggu di ruangan dalam. Kantor ini rasanya begitu personal. Para penjaga yang bertubuh kekar seperti atlet binaraga sedang sibuk menikmati sarapan bersama para staf lain. Mendengar aku berasal dari Indonesia, mereka tersenyum ramah dan berkata, “Indonesia? Good! Good! Indonesia, our friend,” sambil menawarkan berbagai macam makanan yang mereka punya. Kemudian dengan bahasa Inggris yang pas-pasan, bodyguard yang berbadan kekar itu menceritakan betapa indahnya negeri Afghan, betapa ramah dan baiknya penduduknya. Dan mereka juga terbelalak melihat gambar-gambar perempuan Indonesia tak berkerudung yang ada dalam buku wisata tentang Indonesia yang aku bawa. “Astagfirullah….” kata mereka berulang-ulang. Di kantor konsulat Afghan ini aku berkenalan dengan Adam Smith, seorang traveler dari Inggris yang [...]

November 5, 2013 // 6 Comments

Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia barat yang liar. Peshawar, kota berdebu di ujung barat Pakistan adalah gerbang menuju Afghanistan. Atmosfernya, bahayanya, dengusannya, bahkan ketidakberadabannya…. Peshawar terasa begitu liar. Ibukota provinsi North Western Frontier Province (NWFP) ini seakan melemparkan diriku ke zaman puluhan tahun silam. Keledai-keledai mengiring kereta pengangkut barang, menyusuri jalan-jalan sempit di bazaar kota. Wanita-wanita yang juga tidak banyak jumlahnya, berjalan merunduk-runduk sambil menutupkan cadar di wajahnya. Sesekali nampak juga perempuan-perempuan yang berbungkus jubah hitam atau burqa biru dan putih. Burqa adalah pakaian yang menutup sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, termasuk kedua mata dan wajah, menyimpan rapat-rapat kecantikan seorang wanita. Hanya dari kisi-kisi kecil di bagian matalah sang perempuan mengintip dunia luar. Ada traveler Hong Kong temanku yang mendeskripsikan burqa seperti “lampion”, para “lampion” itu berjalan mencari arah di tengah keramaian jalanan. Bagiku, burqa terlihat seperti sangkar rapat, terserah engkau mengartikan itu melindungi atau mengurung makhluk yang ada di dalamnya. Pria-pria berjenggot dengan kibaran shalwar qameez yang gagah menguasai seluruh penjuru kota. Para lelaki itu selalu tersenyum ramah dan menyapa dengan pertanyaan yang sama, yang diulang lagi, yang diulang lagi, yang diulang lagi. “Hello, how are you? what’s your good name? Where are [...]

November 4, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 5: Pakistan yang Sesungguhnya

Sambutan hangat orang-orang Pashtun (AGUSTINUS WIBOWO) Meninggalkan gunung-gunung di utara, aku memasuki dunia Pakistan yang sesungguhnya. Padat, ramai, kotor, kumuh, kuno, dan hanya laki-laki. Rawalpindi adalah kota kembar dari ibukota Pakistan, Islamabad. Jarak antara keduanya hanya 15 kilometer, tapi seperti dipisahkan dalam lintasan waktu yang sama sekali berbeda. Islamabad adalah kota baru yang modern, sepi dan lengang, membosankan. Orang bilang, ibukota Pakistan itu letaknya 15 kilometer jauhnya dari Pakistan. Saking tidak alaminya, ibukota mereka sudah seperti bukan negara mereka sendiri. Sedangkan Rawalpindi memang kuno dan padat, kumuh dan ramai, tetapi sungguh hidup. Inilah Pakistan dalam bayanganku, yang kuimpikan selama ini. Para lelaki berjubah panjang berkibar-kibar lalu lalang di sepanjang jalan. Aroma sate kebab yang menyeruak hidung, juga lezatnya teh susu hangat yang dituang ke gelas-gelas. Suara minyak di wajan datar menjerit, menggoreng roti tipis yang renyah lagi panas. Sayang, karena uangku terbatas, aku tidak pernah berkesempatan mencicip rasanya. Setiap hari makananku adalah nasi berminyak polos yang kubeli di pasar, tanpa sayur tanpa daging, dengan air minum gratisan yang gelasnya harus berbagi dengan semua pengunjung pasar. Meninggalkan Northern Areas, kehidupan lengang di Hunza sudah jadi memori. Kita masuk ke Pakistan yang sebenarnya. Di jalanan hanya ada lelaki, dan cuma lelaki. Aku [...]

November 1, 2013 // 19 Comments

Selimut Debu 3: Nyanyian Bisu

Perempuan Tajik dari Tashkurgan, China (desa terakhir sebelum Khunjerab Pass), punya kebiasaan memakai topi di bawah kerudung. (AGUSTINUS WIBOWO) Gunung-gunung itu bisu, tapi mereka seakan bernyanyi begitu merdu. Perjalanan dari Kashgar menuju Pakistan bisa ditempuh dalam waktu dua hari dengan menggunakan bus internasional. Karakoram Highway, yang diklaim oleh Pakistan sebagai keajaiban dunia kedelapan, dianggap sebagai mahakarya bikinan manusia. Jalan raya yang menghubungkan Kashgar dengan Islamabad itu menembus gunung-gunung tinggi mencapai ketinggian lebih dari 5.000 m di atas permukaan laut. Banyak orang yang mengatakan, Karakoram adalah jalan perbatasan yang paling indah di dunia. Perbatasan China-Pakistan terletak di Khunjerab Pass. Ada sebuah patok yang menandai batas itu, di puncak sebuah bukit yang berangin kencang. Di sisi China, tergambar lambang negara China dan tulisan nama negara. Demikian juga di sisi Pakistan. Nampaknya wabah SARS di China cukup menyeramkan bagi Pakistan yang tidak mempunyai fasilitas kesehatan semodern China. Karena itu mereka sangat berhati-hati, bisa juga dibilang berlebihan, terhadap semua pendatang dari China. Perbatasan China-Pakistan baru saja dibuka dua hari lalu, dan aku termasuk salah seorang turis asing pertama yang menyeberang dari China menuju Pakistan. Dalam bus yang aku tumpangi ini, hanya akulah satu-satunya orang asing. Sebagian besar penumpang adalah para pekerja China yang hendak [...]

October 30, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini. Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya. Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging. Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah. Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini [...]

October 25, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO) Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan. “Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.” Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan. Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya. Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan [...]

October 24, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO) Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal. Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…” Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional. “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga. Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada [...]

October 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 80: Turkmenistan Menyambut Anda

Pintu gerbang Kota Cinta Ashgabat (AGUSTINUS WIBOWO) Kota terakhir Iran sebelum memasuki Turkmenistan adalah Guchan di utara Mashhad. Serpihan Iran yang satu ini memang bukan kemegahan macam Tehran Di kota ini gubuk-gubuk tersebar semrawut di kaki-kaki gunung berdebu. Iran, negara kaya raya ini, ternyata punya juga daerah yang morat-maritnya mirip Pakistan. Perbatasan Turkmenistan di desa Bajgiran masih 75 kilometer lagi. Bajgiran sudah seperti dunia lain. Padang-padang hijau menghampari kurva mulus bukit-bukit, membuat saya seakan sudah berada di Asia Tengah lagi. Kalau bukan tulisan-tulisan huruf Arab bahasa Persia, serta perempuan-perempuan yang dibungkus chador hitam, mungkin saya sudah lupa kalau saya masih di Iran. Penukar uang gelap berebutan menjajakan uang Turkmen. Semua membawa kresek hitam besar-besar, yang isinya hanya duit. Sebegitu tidak berharganya kah uang Turkmenistan sampai dibungkus kresek seperti dagangan kismis? Mata uang Turkmenistan namanya Manat. Nilai tukar resmi pemerintah Turkmenistan, 1 dolar = 5.500 Manat. Tetapi harga pasar gelap 25.000 Manat, hampir lima kali lipat. Tanda-tanda negara dengan perekonomian tidak sehat. Walaupun duitnya kecil, pecahan terbesar uang Turkmen hanya 10.000 Manat, yang kira-kira 3.600 Rupiah saja. Saya hanya menukar 100.000 Rial (kira-kira 100.000 Rupiah) dan langsung mendapat sekresek uang Manat pecahan 5000-an. Rasanya benar-benar seperti beli sekantung kismis. Di setiap [...]

October 3, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya. “Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung. Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya. “Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar. Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos. Pos terakhir yang paling saya takuti, pos [...]

October 1, 2013 // 11 Comments

1 3 4 5 6 7