Selimut Debu 80: Malaria?
Aku masih belum sepenuhnya sadar ketika terduduk dalam Falang Coach tua menuju Herat. Aku masih seperti orang mabuk yang separuh memejamkan mata. Pengalaman traumatis dengan bachabazi masih menghantui pikiran. Begitu Falang Coach ini menggetarkan mesinnya, sudah tak mungkin lagi aku tidur. Delapan belas penumpang dijejalkan ke dalam mobil butut ini. Bangkunya rendah, tak mungkin menyandarkan kepala ke belakang. Ke samping kiri tak mungkin, ada penumpang. Ke jendela di kanan tak mungkin, karena tepat setinggi pipiku teronggok sebatang besi panjang melintang. Ditambah lagi dua buah paku berujung bundar di dinding mobil, tingginya pas dengan pelipis. Siapa sih yang pasang paku di tempat seperti ini? Kepalaku sampai benjol dan berdenyut karena empat kali ditempeleng besi, dua kali ditabok paku. Pegunungan tandus, jalan bergerunjal, dan bukit pasir, sudah menjadi rutinitas dalam monotonnya perjalanan di barat laut Afghanistan. Penderitaan ditambah lagi dengan pos pemeriksaan yang tidak ada habisnya. Setiap satu jam perjalanan, mobil kami dihentikan polisi. Semua penumpang disuruh turun, diperiksa bawaannya, diraba-raba badannya, sama sekali tidak asyik. Aku ragu apakah pos-pos ini efektif. Di satu pos, polisi begitu sibuk memeriksa plat nomor mobil dengan obeng, takut kalau ada opium yang disembunyikan di baliknya. Tetapi setelah itu ia kehabisan energi untuk memeriksa tumpukan karung [...]