Recommended

petualangan

Selimut Debu 35: Mendadak Miskin

Mendadak miskin di tempat segersang ini (AGUSTINUS WIBOWO) Aku terpaksa harus meninggalkan Bamiyan tanpa uang sepeser pun. Semula aku sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di benakku sudah terbayang petualangan dahsyat Afghanistan yang menanti. Danau-danau biru magis laksana kristal di Band-e-Amir. Jalanan berdebu menuju pedalaman Bamiyan. Atau menumpang truk melintasi daerah-daerah peninggalan sejarah dan peradaban kuno. Aku begitu bersemangat. Sampai di titik ini. Ketika sebuah insiden menjungkirbalikkan semua perasaan, menghablurkan semua harapan. Kemarin, tepat sebelum tidur, aku menghitung semua uangku. Aku menaruh uangku bersama paspor di dalam sebuah amplop, kuletakkan dalam saku beritsleting di rompiku. Uang dan paspor itu selalu terbungkus amplop, dan aku punya kebiasaan selalu menghitung uang yang tersisa selang dua hari sekali. Aku menginap di kantor LSM milik Akbar Danish. Sekitar pukul 7 malam, di ruangan ini ada aku bersama Ayatullah, seorang lelaki tua yang menjadi guru agama dan punya program siaran keagamaan di Radio Bamiyan. Seperti halnya diriku, Ayatullah juga tamu yang menginap di kantor ini. Masih ada dua lelaki Hazara lain, dan seorang pembantu lelaki. Aku sedang mendengarkan lagu dangdut dari MP3 ketika berusaha mengeluarkan uang dari amplop untuk dihitung. Yang meloncat pertama adalah paspor. Kemudian aku menunggu keluarnya uang afghani pecahan besar. Kejutan! Tidak ada [...]

December 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 30: Universitas Bernama Kedai Teh

Belajar bersama di universitas kehidupan. (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak semua hal yang buruk membawa kesialan. Justru karena aku didepak dari Radio Bamiyan tempat Hadi Ghafari itu, aku malah mendapat mendapat kesempatan untuk belajar langsung dari sebuah universitas kehidupan bernama “kedai teh”. Kedai teh, orang Afghan menyebutnya samovar, sedangkan buku panduan menyebutnya sebagai chaikhana (chai=teh, khana=rumah), bukan hanya sekadar tempat makan dan minum. Bagi orang Afghan di daerah pedesaan seperti ini, kedai teh adalah tempat untuk bercengkerama, berbagi cerita, dan mendengar tentang dunia. Para musafir (laki-laki, dan hanya ada laki-laki) bahkan menginap gratis di kedai teh, tidur di atas matras di ruang utama, berjajar-jajar tanpa sekat privasi, dan mensyukuri berkah karena masih ada tudung atap dan kehangatan untuk melewati malam yang dingin. Aku terpesona dengan kedai teh, ketika tiga tahun lalu aku berjumpa musafir Jepang yang sudah lusuh, tidur dari kedai teh satu ke kedai teh lain, berkeliling negeri Afghanistan dengan kemampuan bahasa Farsi yang mengagumkan. Sekarang, sepertinya aku sudah mengikuti jejaknya yang sama persis, tinggal di kedai teh dan mengamati kehidupan Afghanistan yang sesungguhnya. Aktivitas di kedai teh sudah bermula sejak pagi buta, kala orang-orang sudah sibuk mengambil wudu dan menunaikan ibadah. Alunan azan terdengar sayup-sayup, begitu lembut, dinyanyikan merdu dari [...]

December 6, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 29: Mengapa Harus Sembunyi?

Bamiyan yang sederhana ini sesungguhnya penuh lika-liku. (AGUSTINUS WIBOWO) Pertanyaannya, di mana Hadi Ghafari? Suasana di Radio Bamiyan begitu mencurigakan. Matahari sudah hampir gelap ketika kami sampai di kantor radio. Begitu kami tiba, Irfan si penyiar langsung berusaha mendorongku ke halaman, untuk menghalangiku agar tidak masuk ke kantor. Begitu ramah, berlebihan malah, dia menyambutku dengan kata berbunga-bunga, yang justru membuatku makin curiga. “Kantor dikunci, Hadi sudah berangkat ke Kabul, jadi kamu tidak bisa masuk,” begitu katanya berulang kali. Aku masuk ke ruang siaran radio. Aku mendengar suara siaran berita, dan jelas-jelas itu suara Hadi. Bukankah Hadi sudah ke Kabul? Bagaimana mungkin dia siaran? “Oh, itu rekaman kemarin,” kata Irfan. “Kalau kemarin, bukan berita lagi dong namanya, tapi sejarah,” sanggahku. Irfan manggut-manggut. Sementara Zaffar, bocah belasan tahun yang bekerja di radio, mengeluhkan betapa sulitnya hidup sepeninggal Hadi ke Kabul. Ruangan kantor Hadi ternyata memang tidak dikunci (seperti yang kuduga), tapi komputernya dikunci dengan password, sehingga tidak bisa digunakan. Tanpa ba-bi-bu bertele-tele, Akbar langsung menerjang masuk ke kantor. Dia tidak perlu menghadapi prosesi rumit dengan para bocah ini. Dia tak peduli. Dia bergegas masuk ke ruangan kecil di samping kantor, dan kudengar suara bercakap-cakap yang cukup keras. Suara Hadi! Tiba-tiba, bersama Akbar [...]

December 5, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 28: Lika-Liku Laki-Laki

Kedai teh milik Gul Agha tempat aku menginap (AGUSTINUS WIBOWO)   Sebuah pagi dimulai dengan tergopoh-gopoh. Hadi Ghafari pagi-pagi tergopoh-gopoh membangunkanku. Napasnya masih terengah-engah. Dia bilang, istrinya barusan menelepon dari Kabul. Itu artinya, dia harus segera ke Kabul untuk melakukan “sesuatu” di rumahnya. Dari gerakan tangannya, dan senyum mesam-mesemnya, dia menunjukkan kalau istrinya sudah merindukan kehadirannya untuk mengisi malam-malam yang sepi, karena dia sudah 25 hari tidak pulang ke Kabul. “Berapa lama ke Kabul?” tanyaku. “Sepuluh hari,” jawabnya. Sepuluh hari! Itu artinya, tidak ada lagi tempat bagiku di sini. Kemarin, seseorang dari sebuah LSM di Bamiyan mengajakku untuk ikut ke desa-desa pedalaman, dan akan berangkat seminggu lagi. Aku bertanya pada Hadi apakah mungkin aku tinggal di kantornya selama aku menunggu hari keberangkatan. Dia berusaha meyakinkanku dengan segala cara bahwa kegiatan LSM itu sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaanku (bagaimana dia tahu?), tetapi kemudian dia bilang sama sekali tidak ada masalah karena kantor ini adalah rumahku juga (keramahtamahan yang luar biasa!). Tetapi dengan begitu tiba-tibanya, pagi-pagi begini, tergopoh-gopoh begini, dia bilang harus balik ke Kabul selama sepuluh hari, meninggalkan kantornya secara total, mengunci ruang berita, menutup kantor, … yang semua ini di mataku seperti cara halus untuk mengusirku pergi. Untunglah aku [...]

December 4, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 24: Menuju Bamiyan

  Para penumpang di dalam Falangkoch yang bertuliskan huruf-huruf China. Di Pakistan dan Afghanistan, entah mengapa orang suka sekali mendekorasi mobil dengan huruf China. (AGUSTINUS WIBOWO) Aku pertama kali mengunjungi lembah Bamiyan pada bulan Juli 2003, sekitar tiga tahun silam. Sepanjang jalan, yang terlihat bangkai tank sisa perang yang mengingatkan semua pengunjung bahwa tanah ini telah dicabik-cabik oleh perang yang berkepanjangan. Kengerian dan kesedihan semakin dikuatkan oleh bangkai senjata dan penanda ranjau di sepanjang jalanan yang berdebu dan berbadai. Hari ini, aku datang kembali ke Bamiyan. Sendirian. Kendaraan umum, masih seperti tiga tahun lalu, juga berangkat saat pagi-pagi buta dari Kabul. Sulitnya bepergian dari Kabul adalah di ibukota Afghan ini terdapat terlalu banyak terminal bus, dan setiap terminal punya bus yang hanya pergi ke tujuan tertentu. Karena itu, penting untuk memastikan dari terminal mana bus kita akan berangkat. Kesulitan lainnya adalah waktu. Mayoritas bus berangkat pagi-pagi buta, dan sesudah pukul enam pagi sudah tidak ada lagi kendaraan, jadi para penumpang harus sudah siap berangkat sekitar pukul 4:00 atau 5:00 subuh. Masalahnya, terminal bus terletak jauh dari tempat permukiman di pusat kota, sehingga kita perlu naik taksi, yang mungkin sangat sulit ditemui pagi-pagi buta begitu. Kendaraan 4WD yang nyaman menuju Bamiyan [...]

November 28, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 23: Kantor Berita

  Pengalaman duduk di newsroom (AGUSTINUS WIBOWO) Pajhwok Afghan News adalah kantor berita lokal terbesar di Afghanistan. Aku beruntung diperkenalkan oleh seorang teman jurnalis Indonesia kepada direktur dari kantor berita ini. Mulai hari ini, aku pun mencicip pengalaman bekerja di newsroom. Berita yang dihasilkan Pajhwok dimuat secara Online dan diperbarui setiap menit. Mereka mendapat dana dengan berbasis langganan. Untuk berlangganan berita-berita dari Pajhwok, biayanya masih cukup mahal untuk standar kantong warga lokal. Biaya langganan tergantung dari status pelanggan, bisa mencapai US$200 per bulan untuk perusahaan besar, NGO asing, dan kedutaan. Kantor berita ini menyajikan berita dalam tiga bahasa, yaitu Farsi, Pashto, dan Inggris. Direktur Pajhwok adalah seorang pria etnis Pashtun yang kurus dan tinggi bernama Danish Karokhel. Dia memberikan padaku sejumlah buku yang bisa aku baca sebelum  aku berkeliling negara ini. Dia bahkan menjanjikan akan memberikan bantuan dari seluruh penjuru Afghanistan, karena kantor berita ini mempunyai kantor lokal di berbagai kota di Afghanistan. Danish memintaku datang pagi-pagi ke kantor untuk berjumpa dengan fotografernya. Pajhwok hanya punya seorang fotografer di kota ini, sedangkan sejumlah koresponden di luar kota juga mengirimi mereka foto-foto berita. Peralatan yang mereka gunakan hanyalah kamera digital kecil dengan merek Sony. Danish mengatakan aku bisa berdiskusi dengan Wali, [...]

November 27, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 21: Agama di Garis Batas

Tasku jebol setelah perjalanan panjang ini, dan tukang reparasi sepatu di perbatasan Pakistan ini begitu piawai memperbaikinya (AGUSTINUS WIBOWO) Di Pakistan, aku sungguh disadarkan bagaimana cara Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Bus yang semestinya aku tumpangi kemarin kalau tidak bangun kesiangan di Kabul, ternyata mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang saat melintasi jalan pegunungan Karakoram Highway yang berbahaya. Ada penumpang yang tewas, untungnya aku tidak jadi menumpang bus itu. Penumpang di sampingku adalah seorang pelajar berusia 17 tahun (walaupun wajahnya kelihatan seperti 30 tahun lebih), orang Pathan/Pashtun dan mengaku pernah ke Afghanistan. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Katanya, zaman Taliban dulu mereka tidak perlu pakai paspor untuk pergi ke Afghanistan, karena berewok sudah cukup sebagai paspor. Di zaman Taliban, hukum sangat keras, mereka memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri, potong lengan bagi perempuan yang kelihatan auratnya, atau hukuman mati bagi pembunuh jika keluarga korban tidak mau mengampuni. Kesalahan Taliban, menurutnya, adalah mereka menerapkan hukum Islam secara ekstrem dan sangat mendadak, tidak melalui tahapan-tahapan. Akibatnya, mereka tidak didukung sebagian besar orang Afghan. Hanya saja selama masa Taliban, Afghanistan jauh lebih aman dan stabil. Dia pun tak habis pikir mengapa Amerika menyerang Taliban. Toh bukan Taliban yang menghancurkan WTC? Osama, tokoh utama dalam cerita ini, [...]

November 25, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 19: Beda Negara Beda Nasib

Birokrasi di negeri yang hancur lebur juga membuat kami hancur lebur. (AGUSTINUS WIBOWO) Pergilah ke jalanmu. Go your way adalah kalimat khas yang diucapkan diplomat Pakistan. Seperti doanya, sekarang aku benar-benar go my way, kembali ke Kedutaan Pakistan demi selembar visa. Membaca kekhawatiranku mengenai visa Pakistan, Pak Kasim dari Kedutaan Indonesia berusaha menenangkan. “Jangan khawatir,” ujarnya, “kita akan berusaha yang terbaik.” Aku diajaknya melintasi gedung kedutaan yang begitu luas dan berlantai marmer (mirip museum barang-barang ukiran dan lukisan tradisional Indonesia) dan sudah beberapa kali direnovasi berkat terjangan roket dan peluru nyasar, melongok sebentar ke lapangan tenis dan kebun buah, lalu ke halaman belakang tempat jajaran empat mobil diparkir, lalu mempersilakan aku duduk di bangku depan salah satu mobil, sementara dia menyetir melintasi jalanan panas dan berdebu kota Kabul. Aku yang sejam lalu bahkan tidak tahu harus ke mana, kini sudah duduk di bangku paling terhormat di mobil kedutaan. Pak Kasim, lelaki Indonesia yang baru kutemui hari ini, begitu penuh semangat membantu hanya karena kami adalah saudara sebangsa. Benar saja, kedutaan Pakistan sudah tutup. Tetapi dengan identitas Pak Kasim, para bodyguard penjaga gerbang memberikan kami jalan, langsung meluncur ke kantor visa. Lelaki tinggi berkumis yang sama masih ada di ruang itu. [...]

November 21, 2013 // 6 Comments

Selimut Debu 18: Setumpuk Masalah

Meninggalkan Kabul, menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Ya, ini memang mimpi. Dan sudah saatnya sekarang aku bangun dari mimpi. Liburan musim panas yang cuma enam minggu ini terlalu singkat, sama sekali tidak cukup untukku mengenal negeri Afghan. Masih begitu banyak pertanyaan tak terjawab, misteri tak tersingkap, kerinduan terpendam. Tapi, setiap perjalanan harus ada akhirnya. Sering kali, akhir yang tidak diundang justru membuat rasa kita semakin dalam. Saat kami kembali ke Kabul, tujuan pertama yang kami datangi adalah kedutaan Pakistan. Aku harus melewati Pakistan untuk kembali ke China, sedangkan Adam meninggalkan ranselnya di penginapan di Peshawar karena enggan membawa terlalu banyak barang ke Afghanistan. Masalahnya, kami berdua sama-sama tidak punya visa ke Pakistan. Kesalahan utama kami adalah, menganggap visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih ditulis tangan dengan lem yang mudah copot itu semudah dan sesimpel kualitas kertasnya. Lelaki berkumis, langsing dan tinggi, menyambut kami di sebuah kantor sempit di Kedutaan Pakistan yang dikelilingi tembok tebal tak bersahabat. Kami dipersilakan duduk, mengisi formulir, dan menunggunya mewawancara (atau mungkin berbincang?) dengan satu per satu para pemohon visa. Kami para pemohon visa duduk di bangku-bangku yang merapat di tembok ruangan kantor membentuk huruf U. Lelaki itu berdiri di tengah, lalu berjalan ke masing-masing bangku, [...]

November 20, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 17: Keajaiban Dunia

Danau mukjizat (AGUSTINUS WIBOWO) “Band-e-Amir adalah salah satu keajaiban dunia. Band-e-Amir sudah berada di atas segala rasa, dialah keindahan sejati.” Begitu sebuah buku panduan wisata kuno Afghanistan terbitan Kabul melukiskan keindahan danau-danau Band-e-Amir. Airnya biru kelam, bagaikan bola mata yang menatap begitu dalam dan misterius. Birunya air ini laksana kristal permata yang berkilauan diterpa sinar mentari di tengah ketandusan. Band-e-Amir berupa kumpulan lima danau berkilauan, terletak 75 kilometer di sebelah barat Bamiyan. Nama Band-e-Amir berarti “Bendungan sang Raja”. Setiap danau dikelilingi oleh tebing tinggi batu-batuan cadas yang membentuk seperti tembok yang membendung air danau. Menurut legenda, batuan-batuan cadas ini adalah mukjizat dari Hazrat Ali (sepupu Nabi Muhammad) yang mendirikan tembok-tembok batuan untuk membendung aliran sungai yang membanjiri negeri. Islam konon masuk ke Lembah Bamiyan setelah kedatangan Ali dan berbagai mukjizat ajaibnya, termasuk membunuh naga raksasa, menciptakan danau, dan mengalahkan raja lalim. Dalam perjalanan menuju Band-e-Amir, kami singgah di sebuah kedai teh, yang dalam bahasa Afghan disebut sebagai chaikhana. Ini adalah tempat penting dalam kehidupan orang Afghan. Mereka melewatkan hari-hari mereka yang panjang di kedai teh. Hari yang baru biasanya diawali dengan sepoci teh jahe plus gula batu atau permen manis yang dikulum di bibir. Secangkir teh hangat juga menyegarkan tenggorokan [...]

November 19, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 16: Inisiasi

Bocah-bocah dari negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini, kami resmi menjadi war tourists. Para turis sinting yang tergila-gila dengan eksotisme kehancuran, pertumpahan darah, dan memorabilia perang. Kami mendaki bukit terjal yang menjadi tempat berdirinya patung-patung Buddha. Ada jalan setapak berpasir yang cukup curam, membuatku terpeleset berkali-kali. Tetapi Adam adalah pencinta alam liar, dia pernah mendaki gunung dan mengelilingi Annapurna di deretan pegunungan Himalaya di Nepal, medan seperti ini justru yang dia cari. Apa lagi yang lebih menantang daripada mendaki gunung di negeri perang, yang kita pun tidak tahu mana yang ada ranjau, mana yang aman? Di puncak bukit, bertaburan rongsokan artileri dan tank. Tetapi kengerian ini seakan dilunakkan oleh lembah hijau Bamiyan yang menghampar, menantang tegarnya pegunungan gersang dan cadas. Aku memungut sebuah peluru, dari ratusan yang bertabur begitu saja di tanah. Ukurannya besar-besar, lengkap dengan selongsongnya. “Ambil lagi yang banyak,” Adam tertawa girang. ”Untuk kenang-kenangan dari Afghanistan.” Aku menyimpan peluru itu hati-hati dalam saku, diiring sebuah pertanyaan pragmatis: bagaimana cara menyelundupkan butir peluru sisa perang Afghan dengan aman sampai ke rumah? Kami berdua menyusuri tebing-tebing di sekitar reruntuhan patung Buddha. Kami melupakan pesan orang-orang bijak: jangan sembarangan melangkah di Afghanistan karena ranjau bertebaran di mana-mana. Ah, siapa yang [...]

November 18, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 15: Bayang-Bayang Sang Buddha

Seperti baru kemarin saja perang itu berhenti (AGUSTINUS WIBOWO) Berabad silam, negeri ini adalah pusat peradaban Buddha, dengan patung-patung raksasa yang memancarkan kemilau batu mulia. Tetapi, hanya dalam dua tahun yang lalu, puncak peradaban itu menjadi bongkah-bongkah batu tanpa makna. Di hadapan puing-puing reruntuhan, aku merenungkan betapa manusia bisa menjadi begitu kejam dan bodohnya. Aku punya perasaan istimewa terhadap tempat ini. Adalah Bamiyan yang membuatku bermimpi tentang Afghanistan. Suatu hari di dua tahun lalu, siaran berita televisi mengabarkan Taliban akan segera menghancurkan patung Buddha tertinggi di dunia yang terletak di jantung Afghanistan. Ada patung Buddha di negeri Afghan? Aneh juga kedengarannya. Televisi menunjukkan gambar para pelaku, yang menyebut diri sebagai Taliban, berwujud orang-orang berjenggot lebat, berjubah hitam, dan beserban kain hitam panjang menjuntai hingga ke pinggang. Mereka berbicara penuh semangat. Tentang perjuangan, tentang agama, tentang kelaparan dan dunia yang lebih mementingkan patung daripada penderitaan manusia Afghan. Siaran berita televisi itu kemudian menunjukkan gambar tebing cadas sebuah dusun bernama Bamiyan. Cadas itu berdiri tegak lurus. Pada sisinya terdapat dua relung besar dengan dua patung Buddha raksasa berdiri di dalamnya. Patung-patung itu sudah cacat. Kakinya hilang, hidungnya tertebas, wajahnya rusak. Itulah peninggalan peradaban dunia yang masih tersisa di negeri yang hancur lebur. [...]

November 15, 2013 // 7 Comments

Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO) Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal. Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir. Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu. Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku. Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! [...]

November 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan melintasi jalan berdebu ini begitu lambat, sangat lambat. Seperti halnya negeri ini yang begitu perlahan, sangat perlahan, menyingkap kembali cadar pekat yang menutupi wajahnya setelah 30 tahun diamuk perang melawan Soviet, perang sipil antara suku-suku, perang antara Mujahiddin dan Taliban. Pemandangan di luar, gunung-gunung tandus yang sesekali diselingi lembah-lembah hijau, mengingatkanku pada film-film aksi Amerika tentang perang Afghanistan. Dan kini layar film yang datar itu berubah menjadi pemandangan tiga dimensi di sini. Mobil berhenti di tepian jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Di bawah teduhnya pepohonan, nampak barisan tenda-tenda pedagang buah-buahan. Kami sudah memasuki daerah Jalalabad yang memang terkenal dengan buahnya. Seorang penumpang, kakek tua berjanggut putih beserban putih, turun membeli beberapa melon. Saat kakek itu menggendong melon-melon besar menyeberang jalan, aku menjepretkan kamera. Dia terkejut, buah-buahan yang semula aman dalam dekapannya, tiba-tiba menggelinding di jalan raya itu. Untungnya dia tidak marah, malah tersenyum tipis di balik lapisan jenggotnya itu. Setetes keringat dingin sempat mengalir di keningku, khawatir berbuat salah di negeri yang katanya penuh darah ini. Alunan lagu Afghani mengalir dengan gempitanya dari tape usang falangkoch, diiringi dendang yang membawa suasana ke alam gurun Timur Tengah. [...]

November 12, 2013 // 5 Comments

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul. Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!” Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu. Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, [...]

November 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 10: Makhluk Asing

Pemandangan pertama negeri Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Detik-detik menuju Afghanistan semakin dekat. Di ruang pemeriksaan paspor, setumpuk paspor hijau Korea Selatan tiba-tiba menyeruak, dibawa seorang pria yang kucurigai sebagai pemandu wisata. Di luar tampak beberapa pemuda dan pemudi Korea yang cekikikan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. Tak kusangka, rombongan turis pun sudah sampai ke Afghanistan. Entah berapa lama lagi perjalanan ke Afghanistan masih layak disebut sebagai petualangan, sebelum negeri yang eksotik ini disulap menjadi taman hiburan Disneyland Edisi Zona Perang bagi turis-turis asing. Adam dan aku melangkah menuju gerbang besar Afghanistan. Berbeda dengan Pakistan, tidak nampak tulisan “Welcome to Afghanistan” di sini. Atau mungkin saja ada, tapi dalam huruf Arab yang tidak bisa kubaca. Kami berjalan bersama seorang pria Afghan bertubuh subur, dengan bahasa Inggris yang fasih. Rupanya dia adalah penerjemah untuk kantor berita Fox. “Kamu tahu, Fox itu memang persis seperti fox, mereka selicik rubah,” bisik Adam kepadaku, ketika pria itu tak hentinya menceritakan tentang pekerjaannya, kekayaannya, gajinya yang fantastis, … sungguh ironi dengan kemelaratan negara yang habis dihajar perang berpuluh-puluh tahun. Memasuki Afghanistan, jarum jam seperti diputar mundur lima puluh tahun. Kekacauan yang balau, hiruk yang pikuk. Orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang berbongkah-bongkah. Wanita-wanita [...]

November 8, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 9: Kalashnikov

Gerbang Khyber yang termasyhur itu (AGUSTINUS WIBOWO) Dari balik jendela taksi ini, aku berusaha mengamati keliaran tribal area. Sekilas mata, semuanya nampak begitu normal dari sini. Pria-pria berjalan hilir mudik di pasar, atau perempuan-perempuan bercadar dan berjubah hitam-hitam yang berjalan cepat-cepat di belakang sang suami. Anak kecil yang menangis minta dibelikan sesuatu, sedangkan sang bunda sama sekali tak menghiraukannya. Semuanya nampak sama seperti kota Pakistan lainnya, atau paling tidak, sama seperti Peshawar tanpa bangunan-bangunan modernnya. Tidak tampak sama sekali kengerian tribal area yang tersohor itu, kengerian tentang tembakan-tembakan berdesingan. Mungkin karena aku hanya seorang musafir, yang hanya melintas beberapa menit dan memandang dari balik jendela. Seorang musafir, yang tidak mampu dan tidak berkesempatan merasakan hembusan nafas dan dengusan hidup mereka. Taksi kuning kami pun melintasi Baab-i-Khyber, sebuah gerbang megah yang dibangun untuk menandai tempat bersejarah ini. Nama Khyber, sejak zaman dahulu sudah menjadi momok bagi semua orang. Sudah tak terhitung berapa banyak pertumpahan darah yang dimulai dari sini. Celah Khyber adalah jalur transportasi dan militer penting yang menghubungkan negeri Barat dengan Asia Selatan. Barisan tentara berbagai bangsa yang menyerang India (termasuk juga Pakistan saat itu) pun melintas dari sini, yang kemudian membawa penderitaan berkepanjangan dan pembantaian atas nama agama. Di [...]

November 7, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 7: Mengintip Afghanistan

Bersama para bodyguards Afghan di Konsulat Afghan di Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Peshawar adalah satu-satunya jalan bagiku untuk mewujudkan mimpi menuju negeri bangsa Afghan. Apa pun rintangannya, harus aku hadapi. Tidak ada jalan lain untuk mundur. Kantor konsulat Afghanistan di Peshawar buka hanya setiap hari Selasa dan Kamis, konon merupakan tempat yang paling mudah di seluruh dunia untuk mendapatkan visa Afghanistan. Aku datang pagi-pagi sebelum jam kantor buka. Sudah cukup banyak orang Pakistan yang berbaris, namun petugas yang melihat wajahku yang jelas sebagai orang asing ini menyuruhku langsung masuk tanpa mengantre dan menunggu di ruangan dalam. Kantor ini rasanya begitu personal. Para penjaga yang bertubuh kekar seperti atlet binaraga sedang sibuk menikmati sarapan bersama para staf lain. Mendengar aku berasal dari Indonesia, mereka tersenyum ramah dan berkata, “Indonesia? Good! Good! Indonesia, our friend,” sambil menawarkan berbagai macam makanan yang mereka punya. Kemudian dengan bahasa Inggris yang pas-pasan, bodyguard yang berbadan kekar itu menceritakan betapa indahnya negeri Afghan, betapa ramah dan baiknya penduduknya. Dan mereka juga terbelalak melihat gambar-gambar perempuan Indonesia tak berkerudung yang ada dalam buku wisata tentang Indonesia yang aku bawa. “Astagfirullah….” kata mereka berulang-ulang. Di kantor konsulat Afghan ini aku berkenalan dengan Adam Smith, seorang traveler dari Inggris yang [...]

November 5, 2013 // 6 Comments

Selimut Debu 1: Sebuah Kisah Cinta

Impian tentang lembah hijau di negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Sayup-sayup dia berbisik memanggil dan menyapa, dengan suara yang lemah, lembut, namun dalam, dari balik cadar birunya. Sebuah suara yang menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Aku tahu pasti, ada sepasang mata besar yang indah yang tersembunyi di balik sana, menatap tajam penuh pengharapan. Ada seraut wajah putih berhiaskan dandanan cantik, terselubung dalam cadar biru yang kelam. Dan aku berbisik padanya,“Izinkanlah aku menyingkap cadarmu …” Kisah cintaku dengannya di tengah kengerian perang sebenarnya dimulai dari sebuah mimpi. Tentang sepasang mata. Tentang ekspresi misterius di balik cadar pekat. Tentang suara lembut di lembah hijau yang dikelilingi kegersangan padang membentang. Mimpi itulah yang membawaku berjalan ribuan kilometer, untuk menemukan rahasianya, menikmati kecantikan wajahnya, ikut merasakan air matanya yang mengalir di kedua belah pipinya. Saat itu aku masih seorang pelajar di sebuah universitas ternama di kota Beijing. Kengerian baru melanda seluruh negeri. Penyakit misterius merebak, orang-orang meninggal begitu saja. Setiap hari televisi sibuk menyiarkan, berapa kasus tertular, berapa kasus tewas. Kita bahkan tak berani menghirup udara, karena virus-virus penyebar penyakit berbahaya itu bisa saja tiba-tiba hinggap di tubuh, membunuh tanpa ba-bi-bu. Siapa yang tidak takut mati? Virus yang tak sampai sepersejuta meter itu membuat [...]

October 28, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini. Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya. Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging. Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah. Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini [...]

October 25, 2013 // 11 Comments

1 5 6 7 8 9