Moengo, 17 Desember 2016: Sarijo Moeljoredjo, Imigran Jawa Terakhir di Moengo
Gurat tulang-belulang tampak jelas di sekujur tubuh renta Sarijo Moeljoredjo. Tetapi matanya masih bersinar cemerlang, gerakan tubuhnya cekatan. Pada usia menginjak 96 tahun ini, Mbah Sarijo (baca: Saryo) setiap hari masih bekerja di kebun pisang di belakang rumah. Sehari-hari pun dia kuat bersepeda keliling kota. Tetapi yang luar biasa, ingatannya masih sangat tajam manakala dia mengurai setiap detail perjalanan hidupnya. Dialah orang tertua sekaligus saksi hidup terakhir di kota Moengo, satu dari 32.962 orang Jawa yang pernah diangkut dengan kapal oleh Belanda ke Suriname.
“Aku lahir di Desa Puluan,” kata Mbah Sarijo memulai kisahnya, “Itu ada di Negara Jawa. Tetapi aku tak tahu pasti di mana itu.” Mbah Sarijo bercerita dalam bahasa Jawa Ngoko yang kental, bercampur banyak kosakata Belanda dan Sranan Tongo (bahasa kreol Suriname).
“Sebelum berangkat, Pak dan Mak-ku pisah, aku ikut Pak, mbakyuku ikut Mak. Pak-ku dulu kerja susah, di kebun, tidak ada kerja, tidak ada uang. Setahun itu kerja cuma tanam tebu dan padi, disuruh Belanda,” lanjutnya. Karena kemiskinan dan impian untuk hidup lebih baik, bapaknya yang bernama Moeljoredjo itu memutuskan untuk menjadi pekerja ke Suriname, dengan membawa istri baru dan anak lelakinya.
Berdasar informasi dalam basis data Arsip Nasional Belanda, saya menemukan bahwa Sarijo lahir di desa Poeloean (Puluan), distrik Pedes, afdeling Bantool (Bantul), Djokdja (Yogyakarta). Dia berangkat ke Paramaribo dengan kapal Simaloer dari pelabuhan Semarang, pada 26 Juli 1931. Saat itu usianya 10 tahun, ayahnya berusia 30 tahun, sementara ibu tirinya yang bernama Bok Kasijem berumur 29 tahun.
Pengiriman pekerja Jawa ke Suriname oleh Belanda berlangsung antara tahun 1890 dan 1939. Pada masa-masa awal, sebelum tahun 1930, yang dikirim itu statusnya pekerja kontrak (contractarbeiders), harus bekerja selama 5 tahun di berbagai perkebunan di Suriname. Tetapi banyak penyelewengan dalam perekrutan para pekerja ini; ada yang diculik, dihipnotis, atau ditipu. Mereka juga tidak tahu kondisi pekerjaan yang akan mereka terima di negeri asing di pesisir utara benua Amerika Selatan itu. Laki-laki mendapat bayaran 60 sen per hari, sedangkan perempuan cuma 40 sen, dan pada masa akhir kontrak mereka bisa memilih apakah menerima uang 100 gulden atau mendapat transportasi gratis pulang ke Jawa. Namun sesungguhnya ini adalah sistem perbudakan dengan nama berbeda. Pemilik perkebunan berhak menghukum para pekerja yang dinilai malas atau melanggar aturan, dengan penjara atau kerja paksa.
Lain ceritanya dengan para pekerja yang datang sesudah tahun 1930an, seperti ayah dari Mbah Sarijo. Mereka ini datang dengan kemauan sendiri, sebagai vrije arbeiders (“pekerja bebas”). Atas mereka sudah tidak ada lagi hukuman dari pemilik perkebunan yang sewenang-wenang. Kalau para pekerja kontrak sebelumnya kebanyakan adalah laki-laki atau perempuan tanpa pasangan, maka dalam skema baru ini para “pekerja bebas” disyaratkan sebagai pasangan suami istri yang sudah punya anak, serta wajib membawa anak. Tujuannya adalah kelak menjadikan mereka penghuni tetap Suriname.
Sebelum diberangkatkan, para calon pekerja (dan keluarganya) yang berhasil direkrut dari seluruh penjuru Jawa itu ditempatkan di depo-depo penampungan. Mbah Sarijo ingat dia dimasukkan depo di Semarang. Itu seperti penjara raksasa. Ukurannya 5 keting x 5 keting (100 meter x 100 meter), dikelilingi tembok beton setinggi 3 meter, dan hanya ada satu pintu keluar. Di dalam kurungan tembok itu ada rumah-rumah kayu untuk tempat tinggal mereka. Mereka mendapat ransum makanan setiap hari. Mereka menunggu di depo itu. Kalau ada permintaan pekerja dari Suriname, mereka dikumpulkan dan diberangkatkan dengan kapal. Kalau tidak ada, ya harus terus menunggu di sana. Yang jelas, begitu memasuki pintu depo, mereka sudah tidak bisa keluar lagi, kecuali untuk naik kapal. Sedangkan para perekrut mendapat imbalan 3 ringgit untuk setiap pekerja yang mereka antar ke depo.
Mbah Sarijo tidak ingat berapa lama dia dan keluarganya menunggu di depo. Dia hanya ingat, senja itu sekitar seribuan orang diangkut menuju pelabuhan, lalu dinaikkan ke kapal Simaloer. Memori Mbah Sarijo tentang kapal itu adalah raksasa, panjangnya 500 meter. Panjang kapal uap itu sebenarnya cuma 128 meter, dengan kedalaman badan kapal 10 meter dan tinggi tiangnya 16 meter. Orang-orang tidur di bagian bawah kapal, yang disekat-sekat menjadi 5 bagian. Ratusan orang menggelar tikar di lantai, berjajar-jajar seperti ikan panggang. Semua berebut untuk bisa tidur di dekat tembok atau di sebelah penyekat, karena di bagian tengah itu guncangannya dahsyat.
Di pagi hari, orang-orang bisa naik tangga ke geladak. Di sana, orang-orang Jawa itu berderet di pinggir kapal memandangi lautan lepas. Melihat barisan ikan besar dengan antena yang berenang bersama kapal. Juga ikan layar, lumba-lumba, dan hiu. Atau gelombang yang bergulung-gulung. Selain itu, hanya ada air dan air. Tapi mereka tidak bosan. Mereka saling berbagi cerita, tentang sejarah masing-masing, dan bagaimana mereka bisa bernasib sama di atas kapal ini. Mereka penuh semangat, karena mereka semua sudah diceritai bahwa di tanah yang akan mereka tuju nanti akan dapat kerja dan banyak uang. Itu seperti perjalanan menuju Tanah Susu dan Madu.
Mbah Sarijo ingat, kapal besar itu berhenti di Jakarta, lalu di Aceh untuk mengisi batu bara, juga di Afrika untuk mengisi air, dan berhenti sehari semalam di Belanda, sebelum melintasi Samudra Atlantik menuju pelabuhan Paramaribo di Suriname. Perjalanan itu sekitar 40 hari, banyak yang sakit sepanjang jalan. Ada yang panas, flu, muntah, mabuk laut. Ada pula yang mati karena sakit atau mati karena sedih. Mbah Sarijo menyaksikan ada 5 penumpang yang mati, mayatnya diceburkan ke laut, dengan dikasih pemberat besi supaya mayat itu tenggelam ke dasar lautan.
Sesampainya di Paramaribo, mereka ditaruh di depo. Berbeda dengan depo di Jawa, depo di sini berupa rumah-rumah biasa, tanpa dikurung dinding beton. Toh orang-orang Jawa ini sudah tidak bisa lari ke mana-mana lagi. Mereka kemudian ditawarkan kepada orang-orang Belanda pemilik pernangsi (perkebunan), siapa yang butuh orang silakan ambil.
Keluarga Pak Moeljoredjo dikirim ke perkebunan di Wederzog, yang oleh orang Jawa disebut Kurugan, di distrik Commewijne. Mereka tinggal di barak, menghuni satu ruangan yang berukuran 3 meter x 7 meter. Setiap hari mereka berjalan kaki ke perkebunan kopi. Tugas mereka adalah membabat rumput dengan parang, menanam, dan memanen. Untuk setiap kilogram kopi yang dipanen, ayah Mbah Sarijo mendapat bayaran 2 sen.
Dua tahun kerja di pernangsi, ayah Mbah Sarijo mendapat surat dari Jawa, mengabarkan kematian mantan istrinya. Ayah Mbah Sarijo itu terbayang pada anak perempuannya yang masih tertinggal di Jawa. Bagaimana nanti anak itu hidup? Dia masih kecil, hidup dengan siapa? Mau diambil tidak bisa, mau pulang juga tidak bisa. Ayah Mbah Sarijo mengembalikan uang 100 gulden yang diterimanya sebagai pekerja bebas kepada majikan Belanda, dengan harapan dia bisa dipulangkan ke Jawa dan ketemu anak perempuannya. Uang sudah dikembalikan, tapi tetap saja dia tidak dikasih pulang. Pada zaman itu, uang 100 gulden luar biasa besar, dan kehilangan uang sebanyak itu tentu sangat menyakitkan. Kerinduan untuk pulang ke Negara Jawa yang dibalut dengan kesedihan membuat ayah Mbah Sarijo jatuh sakit. Tak lama, dia pun mati.
Mbah Sarijo saat itu masih berumur 13 tahun. Belum pintar apa-apa, sudah harus keluar dari sekolah untuk membantu ibunya. Kerja di kebun itu menderita, nyamuknya luar biasa banyak. Jam 7 pagi dia sudah berangkat membabat rumput. Kalau rajin, dia bisa dapat 120 sen sehari.
Hidup Mbah Sarijo adalah kerja dan kerja. Dari kebun kopi, pada tahun 1940 dia pergi ke perkebunan tebu di Alliance. Lalu setelah produksi gula menurun, dia pindah ke Moengo pada tahun 1942 untuk kerja sebagai kuli pembangun jalan. Tahun 1944 dia kerja di pertambangan bauksit Suralco, sampai pensiun di tahun 1981. Mbah Sarijo kini hidup sebatang kara di lantai atas sebuah rumah kayu dua lantai. Istrinya meninggal 20 tahun lalu, dan mereka tidak punya anak. Dulu, rumah ini pernah menjadi salah satu rumah paling megah di Moengo, tapi sekarang rumah itu sepertinya telah melapuk dan menua bersama penghuni tuanya.
“Mbah masih ingin lihat Negara Jawa?” saya bertanya.
“Tidak sama sekali,” kata Mbah Sarijo, “Sudah tidak ada lagi yang aku kenal di sana. Lagi pula, umurku sudah 96 tahun, badanku sudah tidak kuat.”
Tidak banyak memori Mbah Sarijo tentang “Negara Jawa”, selain air Kali Progo yang tak pernah berhenti mengalir, gunung gamping yang mengeluarkan asap panas dan tidak ada rumputnya, juga pohon manggis yang dipanjatnya dan dipeluknya erat-erat saat dia ketakutan pertama kali melihat pesawat terbang.
“Tidak ada yang aku kangeni dari Negara Jawa,” katanya, “Di sini semua sama dengan di sana. Hidup di sana malah lebih susah. Orang mesti kerja di kebun, jual sendiri, untuk cari makan. Kalau di sini cuma kerja di kebun sudah dapat makan.”
Kalau ada satu yang paling dia rindukan, itu adalah nggarut. Sejenis umbi yang tidak ada di Suriname itu kalau diparut dan larutannya dibuat jenang itu rasanya enak sekali. Mengenang nggarut, matanya menerawang jauh, berkaca-kaca.
Kepada saya, Mbah Sarjo memberikan dua rahasia umur panjangnya. “Manusia diciptakan Gusti itu buat apa? Bukan cuma buat sembahyang, tapi buat meluaskan dunia,” kata Mbah Saijo, “Hidup itu jangan slow-slow (malas-malasan), nanti darahmu dingin. Kalau darah dingin, kental, nanti penyakit mudah masuk, cepat mati.”
Rahasia kedua adalah, jangan ambil keuntungan dari orang lain. “Itu dosa, kualat,” kata Mbah Sarijo, “Anak muda sekarang banyak yang tidak mengerti dosa. Kalau dosa banyak, badanmu lama-lama tidak akan kuat bawa, nanti kau cepat mati.”
Mbah Sarijo di mata saya adalah orang yang sangat realistis. Dia tidak terbenam dalam nostalgia, tidak pula mengejar surga utopia. Sebagai Muslim Jawa tradisional, Mbah Sarijo tetap mempertahankan bersalat dengan arah kiblat ke barat, seperti halnya kebiasaan nenek moyangnya di Negara Jawa—walaupun Mekkah terletak di timur Suriname. Baginya, Gusti ada di mana-mana, pada semua arah, hadap ke mana pun tidak masalah. Filosofinya tentang kematian adalah raga yang mati tetapi sukma yang tak pernah mati. Surganya bukan tentang kehidupan sesudah mati, tetapi tentang kehidupan nyata di hari ini.
“Aku hidup bukan mencari surga,” katanya dengan penuh kepastian, “Aku sekarang ini sudah di surga. Aku mau makan apa, bisa makan. Aku mau main, bisa main. Aku sudah tidak punya kekhawatiran apa-apa. Ini yang namanya surga. Kamu mengerti?”
bagus sekali artikelnya 👍👍👍
Luar biasa,saya merasakan melewati masa itu,dan larut membayangkan masa itu,tulisan dan cerita yang sangat luar biasa
Sudut pandang yang manis tentang hidup dan surga. Nice story and great conversation mas.
Pak, tulisannya bagus banget! salut!
Seperti biasa, selalu bikin tertarik 🙂
kapan mas bukune di terbitke meneh?
Di tunggu buku terbaru nya mas Agustinus,,,
Saya gak sabar nunggu bukunya lagi mas
mengalir seperti air,tp jngn slow-slow nanti darahmu bisa menjadi dingin
Hmm, mungkin perlu dikoreksi. Mbah Sarijo lahir di Hindia Belanda Timur karena negara Indonesia belum ada pada tahun 1921.
“Aku sekarang ini sudah di surga. Aku mau makan apa, bisa makan. Aku mau main, bisa main. Aku sudah tidak punya kekhawatiran apa-apa. Ini yang namanya surga. Kamu mengerti?”—-
Bagus banget tulisannya, salam buat Mbah Saryo….
Aku malu mbah Saridjo, anda luar biasa mbah. Semoga panjang umur dan sehat selalu dalam surga hidup.
Sllu bikin haru tulisanmu guss….topp..salut ahh..!!!..
Ditunggu bukunya…
Terharu n tertohok…. Bgt sekali
luar biasaa,hayoo Yg muda jngn kalah ma Yg Lebih Tua semanggat selagi masih muda .kreatip .berkarya dngn tulus .
Mau belajar menulis dari mas agustinus wibowo
Pengamalan nilai universal yang baik: – Kejujuran – Kerja keras-Kesederhanaan. Tulisan mas Agus selalu jadi inspirasi.
“Hidup itu jangan slow-slow (malas-malasan), nanti darahmu dingin. Kalau darah dingin, kental, nanti penyakit mudah masuk, cepat mati.”
Nasehat dari seseorang yang sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya
Surga utopia..
terharu aku membacanya, semoga mbah Moel bisa menginjakan kakinya di negara jawa 😢
Saya suka sekali sama tulisan2nya mas agus ini. Buat simbah, saya speechless banget. Binggung mau ngomong apa.
Yg ttg suriname ini apa udah ada bukunya mas? Saya penasaran banget soalnya.
https://m.kaskus.co.id/thread/5865f8521cbfaaad4a8b456a/kaskus.co.id/?utm_source=facebook&utm_medium=internalpost&utm_campaign=hotthread
Salut sama mbah sarijo, sampai sekarang juga masih berjuang melanjutkan hidup disana
baru punya 2 bukunya mas Agustinus, Selimut Debu & Garis Batas. pgn beli yg Ground Zero tapi itu terlalu mahal utkku, blom kebeli. haha. ditunggu buku selanjutnya tapi jgn mahal2 yaa ^-^
Ngomong ngomong dalam rangka apa mas agus ke suriname?.
Mas Agus,mau tanya, apa mbah Sarijo sudah tahu keadaan di negara Jawa sekarang?
Mas agus tak pernah berhenti menebar pesona.Jan apik tenan
Mestilah serasa ketemu saudara sendiri di negeri yang jauh ya… Semoga mbah Sarijo sehat selalu dan makan jenang nggarut dari Jawa.