Inioke (2013): Perjalanan Bukan Masalah Tempat, Tapi Sudut Pandang
Dalam rangkaian Festival Wanita Wirausaha Femina 2013, Agustinus Wibowo, pengarang buku laris Selimut Debu, berbagi tips mengenai Travel Writing di Kelas Inspiratif “Travel Writing” hari Jumat (26/07). Tahukah Anda, bahwa menceritakan suatu perjalanan, bisa menjadi karya seni yang menarik!
http://www.inioke.com/Berita/6340-Perjalanan-Bukan-Masalah-Tempat-Tapi-Sudut-Pandang.html
Berita
Bincang-bincang dengan Agustinus Wibowo
Perjalanan Bukan Masalah Tempat, Tapi Sudut Pandang
“Hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita kumpulkan, tapi seberapa banyak yang kita bagikan.” Begitu petuah orang Afganistan ketika menolong Agustinus Wibowo saat diserang penyakit kuning dalam perjalanannya.
Pejalan yang menulis Titik Nol di kompas.com itu dirawat sebuah keluarga Afganistan. Saat itu, ia tidak punya apa-apa. Timbul kekhawatiran dalam dirinya. Namun, keluarga Afganistan itu menuturkan petuah hidup nenek moyang mereka sejak ribuan tahun silam. Ia pun lega.
“Dari situ saya ingin berbagai tentang perjalanan dari sudut pandang saya sendiri. Karena perjalanan bukan masalah tempat, tapi sudut pandang,” katanya dalam Bincang Seru dan Kumpul Bareng Agustinus Wibowo bertemua “Travel with Purpose” di Rumah Kopi Nunos, Jl Mangunsakoro, Padang, Sabtu (5/10) sore.
Bincang-bincang dengan penulis buku Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol itu dihadiri oleh traveler, backpacker, biker, pembaca, penulis, fotografer dan penyuka jalan-jalan. Penyelenggaranya, padangkreatif.com, arzeel.com, dan Brainreader Club, serta didukung media online remaja inioke.com, klikpositif.com, dan padangbackpaker community.
“Kalau kita tidak keluar rumah, kita tidak akan tahu rumah kita sendiri. Hidup itu perlu perjalanan, kita bisa melakukan perjalanan dimana pun. Tidak mesti ke luar negeri. Di sini pun kita bisa melakukan perjalanan dan membaginya dari sudut pandang kita,” ujar lelaki kelahiran 33 tahun lalu itu.
Sebelum menjadi pejalan atau backpaker, Agustinus adalah anak rumahan yang kutu buku. Ia takut kena sinar matahari. Kalau keluar rumah selalu pakai payung, kadang untuk jarak yang dekat saja harus naik becak. Namun, ia menyimpan keinginan untuk menjadi pejalan. Untuk itulah setiap kali ditanya guru cita-citanya, ia menjawab ingin menjadi turis.
Agustinus mengawali perjalanannya dari Stasiun Kereta Api Beijing, China, pada tanggal 31 Juli 2005. Dari sana ia menaiki atap dunia Tibet, menyeberang ke Nepal, turun ke India, kemudian menembus ke barat, masuk ke Pakistan, Afghanistan, Iran, berputar lagi ke Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan.
Modal memulai perjalanannya 2 ribu dolar Amerika dari tabungannya saat kuliah di Universitas Tshinghua, Beijing, Cina. Ketika duitnya habis ia akan menetap sementara di suatu tempat, bekerja serabutan guna mengumpulkan duit lagi dan kembali melanjutkan perjalanan. Ia juga menjual tulisan dan fotonya di sejumlah media di Indonesia, Singapura, Cina. Karena bekal perjalanannya betul-betul habis, hampir satu tahun ia menetap di Afghanistan, bekerja sebagai editor foto di media setempat dan di sebuah organisasi internasional.
“Selain itu, dalam perjalanan saya juga sempat gak mandi 2 bulan,” katanya sambil tertawa.
Di samping itu, ia juga menguasai bahasa daerah yang dikunjunginya. Saking menguasai bahasa daerah tersebut, orang tidak percaya kalau ia orang Indonesia. Bahasa-bahasa yang dipelajari dan dikuasainya selama perjalanan, antara lain, Hindi, Urdu, Farsi, Rusia, Tajik, Kirghiz, Uzbek, Turki, Arab, Armenia, dan Georgia. Selain itu, ia fasih bahasa Inggris, Mandarin, Indonesia dan tentu saja bahasa Jawa.
Agustinus memilih perjalanan ke daerah-daerah yang tidak biasa dikunjungi para backpaker. Daerah-daerah konflik dengan berbagai peradaban yang ditemui merupakan tantangan tersendiri baginya. “Dalam perjalanan, kita tidak punya hak untuk men-judge tradisi hidup orang yang dipertahankannya beratus ribu tahun. Sebab, semua yang kita temukan dalam perjalanan memiliki alasan, yang akhirnya membuat lebur garis batas. Setelah lama dalam perjalanan kita tidak akan melihat lagi salah dan benar. Tapi kita bukan harus mengamini apa yang kita temukan dalam perjalanan itu,” ungkapnya.
“Inilah yang saya katakan dengan sudut pandang tadi. Dimana kita akan memaknai perjalanan tersebut dengan sudut pandang sendiri,” imbuh Agustinus yang pernah mengalami berbagai tindak kekerasan selama perjalanannya tersebut.
Agustinus juga menyebutkan, Minangkabau memiliki tradisi perjalanan yang disebut merantau. Tradisi yang mengajarkan orang Minang untuk bertahan hidup di luar rumahnya. (***)
Leave a comment