Titik Nol 67: Culture Shock
Saya baru saja sampai di New Delhi dan amat terkejut dengan culture shock India. Walaupun sudah beberapa bulan saya berpetualang, tetapi gelar saya masih newbie alias pendatang baru di negara ini. Tak semua orang bisa langsung suka dengan sisi India yang tahu-tahu ditamparkan ke wajah..
Sopir bajaj autorickshaw ini cerewet sekali. Kepalanya yang dibalut surban merah terus bergoyang-goyang selama ia bicara. Mulutnya terbungkus jenggot putih yang menjuntai. Saya hanya ingin menumpang kendaraan untuk menuju ke KBRI, tetapi ia sudah mulai bercerita tentang adat India. Salah satu adat orang India yang langsung saya kenali, bicara tanpa henti dengan kepala miring ke kiri ke kanan berayun-ayun.
“Bhai – saudara, saya bawa kamu ke Channakyapuri, tetapi sebelumnya, kita mampir dulu ke toko barang kerajinan. Di sana nanti kamu melihat-lihat barang ya. Sepuluh menit saja. Tak usah lama-lama. Kamu tak perlu beli. Nanti saya dapat komisi dari pemilik toko. Habis itu saya antar kamu ke kedutaan.”
Saya hanya ingin naik bajaj dengan harga murah.
“Bhai, sekarang adalah musim wisata di India. Turis-turis suka sekali dengan barang kerajinan kami. Ada warna-warni.”
Terserah. Saya hanya ingin sampai ke kedutaan.
“Bhai, nanti kalau pemilik toko memberi komisi, kamu tidak usah bayar ongkos rickshaw. Saya antar kamu gratis sampai ke tujuan!”
Sepuluh menit di atas rickshaw yang bergoncang hebat membuat saya rindu bajaj Jakarta. Tahu-tahu saya diturunkan di sebuah toko emporium di pinggir jalan sepi. Saya melihat-lihat sebentar, harganya mahal-mahal. Tak sampai lima menit saya sudah keluar.
“Bhai,” keluh si sopir rickshaw yang nampak kecewa, “buat apa kamu bicara bahasa Hindi dengan pemilik toko? Kamu dikira orang India! Kalau orang India saya tak dapat komisi.”
“Bukan urusan saya. Ayo antar saya ke Channakyapuri, nanti saya bayar ongkos rickshaw 20 Rupee!”
Mesin rickshaw yang bergemuruh dan berguncang dahsyat distarter. Kendaraan reyot ini berjalan pelan di atas jalan beraspal. Tak sampai tiga menit rickshaw berhenti. Saya dipaksa turun.
“Bhai, tunggu sebentar di sini ya,” katanya, “saya ada urusan sebentar. Satu menit lagi saya kembali. One minute. Tunggu ya.”
Pelajaran pertama: jangan pernah percaya dengan one minute-nya orang India. Lima belas menit berselang, sopir itu tak kembali lagi. Saya harus jalan kaki dari bandara Safdarjang sampai ke KBRI di Chanakya Puri, di bawah terik matahari bulan Oktober. Ditambah lagi diare sedang kumat. Duh!
Berurusan dengan penarik rickshaw di New Delhi memang cukup menyebalkan. Waktu saya membaca City of Joy, saya sangat bersimpati dengan penarik rickshaw dari Kalkuta, kelas bawah dari masyarakat India yang hidup terlunta-lunta, merusak tubuh sendiri demi sesuap nasi. Tetapi melihat perilaku sopir rickshaw bermesin di New Delhi, rasa simpati itu langsung ambrol.
Teknik paling menyebalkan yang sering dimainkan adalah pura-pura tidak punya uang kembalian. Masa membayar ongkos yang 40 Rupee dengan selembar uang 100 Rupee, si sopir bisa dengan angkuh berkata, “Maaf, tidak ada uang kecil.” Apakah sopir rickshaw hanya berurusan dengan uang besar saja? Sering kali penumpang harus keki karena tidak diberi uang kembali.
Teknik lain adalah tidak membawa kita ke tujuan. Biasanya sasaran empuknya adalah orang asing, terlebih lagi yang baru pertama kali ke India dan masih ‘hijau’. Seperti sopir Sikh bersurban yang membawa saya ke toko suvenir. Dari sana mereka menerima komisi.
Mentalitas tipu-menipu seperti ini ternyata bukan cuma monopoli sopir rickshaw. Yang bekerja di bidang jasa pun sering bermain-main dengan ketidaktahuan konsumen. Misalnya kalau Anda berjalan menyusuri pasar ramai Paharganj, Anda akan terkesima melihat barisan papan warnet yang menampilkan harga yang tak masuk akal.
“Lima Rupee”, “Sepuluh Rupee”, malah ada yang “GRATIS”! Kalau Anda berpikir penawaran ini sukar dipercaya, memang begitulah adanya. Papan besar dengan harga ‘miring’ itu sebenarnya masih ditambahi tulisan kecil yang nyaris tak terbaca “untuk penggunaan lima menit pertama.” Demikian juga untuk wartel. Jangan mudah terkecoh oleh harga murah yang dipasang di papan pengumuman. Harga itu masih belum termasuk pajak aneh-aneh, yang kalu dijumlah total semua harganya malah berlipat tiga.
Sebuah papan pengumuman dari polisi di Benteng Merah New Delhi bertuliskan: “Jangan menerima segala jenis makanan (pisang, apel, teh, kopi, soft-drinks, dan sebagainya) dari orang tak dikenal, karena mungkin mengandung racun dan Anda bisa kehilangan uang, dompet, kamera, dan barang berharga. Kami ingin Anda selamat”.
Di antara semua kejutan budaya, yang paling membuat mual adalah bau pesing yang menusuk hidung sampai ke lipatan otak yang paling dalam. Bau pesing ini, sekali terhirup, akan melekat terus dalam memori sampai kita bangun keesokan harinya.
Di sini, banyak orang yang berpikiran bahwa seluruh muka bumi ini bisa dijadikan toilet. Tembok, trotoar, gang, sudut jalan, gunungan sampah, semuanya pesing. Bahkan toilet umum di pinggir jalan pun digenangi luberan air hitam. Para pengunjung toilet dengan santai membuang air persis di sebelah toilet, di luar. Ada yang jongkok, tapi kebanyakan berdiri. Yang punya rumah di pinggir jalan tak kehilangan akal. Temboknya dipasangi gambar dewa-dewi supaya aman dari orang yang pipis sembarangan.
Inikah India? Gambaran tentang wanita cantik, pria tampan, melenggak-lenggok menari bersama ratusan orang di istana mewah seperti yang selalu muncul dalam film penuh mimpi produksi Bollywood, tiba-tiba hancur berantakan. Saya terlalu naif, membawa mimpi film India ke tanah Hindustan. Yang nampak di hadapan saya sekarang adalah jalan berlubang di mana-mana, dilintasi sapi yang melenggang santai, sementara mobil, sepeda motor, rickshaw merayap semrawut menghamburkan konser sumbang dari bunyi klakson yang meraung.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 4 November 2008
Leave a comment