Recommended

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO)

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO)

Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini.

Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah.

Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun yang sempat berhenti.

Ada yang bilang India itu adalah pengalaman perjalanan paling buruk di mana kita harus mengalami 3S – Stolen, Sickness, dan Sex.. Ada yang bilang, India itu singkatan I Never Do It Again, sekali saja sudah bikin kapok.Ada pula yang bilang pengalaman India membuat kita menjadi tipe manusia dengan dua kemungkinan – orang yang lemah dan selalu menangis melihat kemelaratan di semua sudut, atau sebaliknya, orang yang kebal dan mati rasa di mana kemeleratan, kemiskinan, gelandangan, anak jalanan, semua menjadi makhluk tembus pandang.

Mimpi saya tentang India yang dibangun oleh film-film Bollywood yang panjang penuh tari dan lagu seketika ambruk terbungkus selaput-selaput menjijikkan dari kemiskinan, kemelaratan, keacuhan, dan ketakberdayaan. Perlahan-lahan, seiring saya berjalan, selaput-selaput menjengkelkan itu perlahan-lahan memudar dari wajahnya. Kemiskinan, kemelaratan, keacuhan, ketakberdayaan, semua masih ada, melekat erat. Tetapi saya mencoba melihatnya dari sisi lain, mencoba menembusnya, dan memaksa diri mencintainya.

Dan akhirnya, saya benar-benar jatuh cinta. Di balik bau busuk sampah dan perkampungan kumuh Mumbai, saya menemukan cinta orang miskin dari Bihar yang menggantungkan mimpi bersama gedung-gedung raksasa. Di belakang kerudung pengantin, saya menemukan air mata menetes di wajah cantik pengantin perempuan yang menikah bukan dengan kekasih hatinya. Di dalam rumah sakit yang jorok berserekan kotoran, saya tersentuh oleh kasih sayang para dokter. Di perbatasan dengan negeri musuh, bukannya kebencian melainkan rasa cinta tanah air yang bergelora.

India, adalah negeri di mana pelbagai kontras kehidupan ditarik sekuat-kuatnya ke kutub-kutub yang berlawanan. Saya teringat bagaimana kakek tua Mamohan mengagumi Dewi Kali.

“Dia adalah idolaku, perempuan yang paling kupuja dalam hidupku,  perempuan tercantik di dunia, perempuan dengan kekuatan yang maha dahsyat tiada tertara,” kakek tua Mamohan berujar, senyum penuh penghormatan menghiasi wajahnya.

Sekujur tubuhnya dibalut kulit ungu kehitaman. Rambutnya yang gelap tergerai lurus hingga ke pundaknya. Dari bibirnya yang semerah darah terjulur panjang lidahnya yang basah. Darah mengucur deras dari mulutnya. Dia haus darah. Perempuan raksasa ini adalah Sang Dewi Kali, dewi kematian, inkarnasi dari Sang Pemusnah, Syiwa. Di tangan kanannya terjambak sebuah kepala manusia tanpa tubuh. Di bawah kakinya terinjak-injak belasan badan yang menjerit tanpa daya.

Dibandingkan sang dewi raksasa ini, badan-badan manusia itu tak lebih besar daripada seutas jari tangannya. Di leher Sang Dewi tergantung seuntai kalung dari puluhan tengkorak manusia sebagai perhiasannya. Altar pemujaan itu terletak di lantai paling atas rumahnya, Sang Dewi ditempatkan lebih tinggi daripada segala aktivitas manusia yang berlangsung di bangunan itu. “Dan tataplah matanya yang berbinar!” serunya menunjuk gambar Sang Dewi. Benar saja, di balik segala kehitaman, kengerian, dan kegarangannya, kedua bola matanya terukir indah, terbuka lebar, penuh cinta dan kasih yang dalam. Mata yang agung, mata dewata.

Seperti halnya Sang Dewi yang misterius, buliran welas asih yang terbungkus dalam warna gelap dan kejam, India adalah sebuah negeri mistis yang penuh warna. Warna-warni itu terkadang saling belawanan, di mana setiap sudut-sudut kehidupan negeri ini tertarik ke berbagai kutub yang saling bertentangan. Negeri ini dibentuk oleh kontras warna-warna kehidupan: mistis, religius, duniawi, budaya, hingga modernitas. Dan semuanya berpadu dengan harmonis, namun dinamis, di India.

Hindustan, tanah orang Hindu, adalah tanah di mana berbagai kepercayaan hidup bersama. Ada umat Muslim yang bangga dengan tradisinya, membayangkan Pakistan yang berkeliaran dalam imajinasi namun tak melepas kecintaan pada Hindustan. Ada umat Jain dengan kemegahan kuil-kuil dan lukisan nirwana mereka. Ada orang Sikh yang berpantang pisau cukur. Ada biksu Budha, pendeta Kristen, kuil Baha’i, dan menara sunyi orang Parsi. Semua berpadu indah bersama ribuan tahun tradisi Hindu yang berwarna-warni.

Di India, saya meraba Indonesia. Vishnu, Shiva, Brahma, Hanuman, Ganesh, Lakshmi, Bhim, Arjun, burung garud, Mahabharata, Rama, Shinta, Bhagavad Gita, Ayurveda, Ashok, Lilavati, semuanya hidup di alam bawah sadar saya. Walaupun tak pernah khusus belajar bahasa Hindi, saya tahu artinya achar, putra, raja, bhasa, uttar, chandra,dan agni. Nama Jawa, Sumatra, Bali, Jakarta, Mahameru, Borobudur, dan berbagai tempat di Nusantara, semua berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa kuno yang masih mengilhami peradaban kita.

Indonesia dan India, dua negeri yang terpisah oleh samudera luas, sebenarnya masih tersambung oleh jalinan tak kasat mata. Jalinan itu adalah budaya dan sejarah. Sudah ribuan tahun Nusantara menyerap saripatai negeri Bharat. Semua agama besar di Indonesia berasal dari India – Budha, Hindu, dan bahkan Islam yang datang melalui Gujarat. Bahkan kata ‘India’ pun masih melekat dalam nama ‘Indonesia’.

Saya melihat India di mana-mana, tetapi saya tak mengenalinya,” tulis Rabindranath Tagore, pujangga India yang termasyhur, ketika mengunjungi Pulau Jawadwipa. “Saya melihat Indonesia di mana-mana, tetapi semua karakter Indonesia itu ditarik ke berbagai titik kutub yang paling ekstrim,” tulis saya mengakhiri catatan perjalanan di negeri ini.

Hari ini, dengan mata kuning – kenang-kenangan paling khas yang sempat ditinggalkan India pada tubuh saya – saya memandangi langit senja Amritsar. Mantra Sikh mengalun dari pengeras suara. Kuil emas bermandi sinar lampu dan rembulan. Orang-orang bersurban tengkurap, larut dalam kekhusyukan spiritual di hadapan kuil agung.

Saya memejamkan mata. Semua kenangan dari tanah Hindustan satu per satu dimainkan lagi dalam benak. Jiwa saya terlarut dalam jutaan warna-warninya.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 Januari 2009

2 Comments on Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

  1. otw toga mas…mau cari buku2nya mas agustinus….

  2. Jadi… Bagaimana dengan Amritsar mas? 😊 Penasaran dengan apa yang ada di sana, seseorang ‘menipu’ saya dari sana 😊😁

Leave a comment

Your email address will not be published.


*