Titik Nol 164: Terbungkus
Imam berkomat-kamit membaca doa. Pengantin pria menundukkan kepalanya, tegang sekali. Para pria mengelilingi sebuah lingkaran di dalam rumah darurat. Rintik-rintik hujan dan deru angin menembus melalui lobang pintu dan jendela. Di sinilah akad nikah berlangsung.
Saya terbayang pernikahan Kashmir yang pernah saya baca. Ratusan orang menari-nari di jalan, dengan tetabuhan musik dan senandung lagu-lagu, menembus keheningan barisan gunung-gunung yang menggapai langit. Makanan melimpah ruah. Orang-orang berpesta pora.
Tetapi di sini, enam bulan lalu gempa dahsyat telah menghancurkan semuanya. Bukan hanya rumah yang hancur, tetapi juga keluarga, manusia, hewan ternak, harta benda, mimpi dan cita-cita. Semua dirundung kesedihan karena kehilangan sanak saudara. Banyak desa yang musnah, sisanya lagi tinggal sebagian saja penduduknya. Longsor menghanyutkan rumah-rumah. Manusia bangkit dari puing-puing reruntuhan.
Tetapi hidup masih harus terus berjalan bukan? Setelah sekian bulan berlalu, pelan-pelan hidup mulai bangkit dari kehancuran. Setelah melewati Ramadan, Idul Fitri, hingga empat puluh hari perkabungan Muharram, pasangan-pasangan berbahagia pun dinikahkan, menempuh hidup baru yang berawal dari bongkahan kehancuran.
Lupakan pesta perkawinan Kashmir yang mewah dan berwarna-warni. Sekarang, kita kembali ke reruntuhan, barisan tenda, dan rumah darurat yang masih belum jadi. Di sinilah akad nikah dilangsungkan. Dalam keheningan dan kesederhanaan, di bawah hujan yang bergemuruh dan angin yang menyapu.
Imam mengumpulkan KTP orang-orang yang akan menjadi saksi pernikahan ini, kemudian dicatat dalam buku pusakanya, buku tebal ratusan halaman yang mencatat entah berapa ribu pasangan pengantin. Kemudian, paman Vicky menemani sang imam ke tempat kaum perempuan. Apa yang terjadi di sana, saya tak tahu sama sekali. Tempat perempuan sama sekali terlarang buat kami kaum pria.
Imam datang lagi. Pengantin pria membubuhkan tanda tangan di buku itu. Imam memimpin doa. Semua yang hadir menengadahkan tangan, dan kemudian serentak mengucap ‘amin’. Selesai. Acara akad nikah sudah dilangsungkan. Pengantin pria di sini, pengantin wanita nun jauh di sana, di ruangan lain yang tak tampak. Tidak bersanding, tidak mengucap doa bersama. Semuanya sesuai dengan aturan purdah.
Rombongan barat hanya disuguhi secangkar teh susu hangat. Sementara anggota keluarga sibuk untuk urusan pengangkutan mempelai wanita ke rumah mertuanya. Bagaimana mengangkut pengantin, yang saya yakin berbusana besar dan cantik, tanpa terlihat oleh kaum pria yang ratusan jumlahnya?
Jangan kuatir, sudah ada tandu kencana. Bentuknya seperti kurungan ayam, dibungkus selimut tebal. Di bawahnya ada sepasang bilah kayu panjang, yang nanti akan diangkat oleh para pengusung. Tandu ini disebut doli.
Hujan mulai reda. Vicky dan keluarganya mengangkut doli ke dalam ruangan para tamu wanita. Di sana mempelai perempuan dimasukkan ke dalam kurungan kecil itu, dibungkus rapat-rapat dengan selimut. Terdengar teriakan dan tangisan meraung. Acara pernikahan di Pakistan selalu dihiasi banjiran air mata perempuan. Di sini, para pernikahan adalah hasil jodoh-jodohan orang tua. Sebagian besar tidak pernah mengenal pasangannya sebelum malam pengantin. Dan bagi pengantin perempuan, pernikahan artinya meninggalkan rumah yang didiaminya selama bertahun-tahun, dan entah kapan bisa kembali lagi. Apalagi pengantin dari Noraseri ini masih sangat kecil, umurnya baru 19 tahun, dan dinikahkan dengan lelaki umur 35.
Suara sesenggukan masih terdengar dari dalam doli. Sudah ada makhluk yang bersimbah air mata dalam kurungan berbungkus selimut itu. Doli diusung empat orang pria, dua di depan dan dua di belakang, menyusuri jalan becek menuruni tebing yang curam. Ngeri sekali melihatnya, doli berulang kali terombang-ambing dahsyat ketika para pengusung harus melompati tanah yang berundak. Beberapa kali pula doli itu tergelincir. Saya tidak bisa membayangkan rasanya berada di dalam doli itu. Sempit, tegang, pengap, terguncang-guncang.
Janji, rombongan pengiring pengantin pria yang jauh-jauh datang dari Pattika, berbaris meninggalkan Noraseri. Tamu wanita dari desa seberang memakai sepatu hak tinggi, begitu santai saja melintasi tebing-tebing curam bersimbah lumpur. Sedangkan saya, yang laki-laki dan pakai sepatu hiking, masih harus dituntun untuk meloncati bibir tebing. Sungguh memalukan.
Di kaki gunung, sudah menanti mobil pengantin. Doli diturunkan para pengusung. Pintu mobil dibuka. Sekarang Vicky menangkupi sela antara pintu mobil dan doli dengan selimut tebal, sehingga pengantin wanita yang dialihkan dari kereta kencananya tak terlihat siapa pun. Kaca mobil juga hitam pekat. Tak sedikit pun wujud pengantin perempuan ini kasat mata kita-kita yang tidak berhak ini.
Menurut adat, jumlah orang yang mengiring pengantin perempuan sama dengan jumlah janji yang datang bersama barat pengantin pria. Rombongan ini disebut manji. Tetapi karena hujan lebat, hanya ada 16 manji termasuk saya yang ikut berangkat ke Pattika dengan naik jip.
Doli yang sudah kosong ditaruh di kap jip kami. Sampai di Pattika, ketika kami melewati portal jalan, doli sempat terguling dari atap mobil. Untung saja mereka tidak menaruh pengantin malang itu di dalamnya.
Ribetnya proses transfer pengantin dari mobil pengantin ke doli sama ribetnya dengan yang tadi di Noraseri. Cuma di sini, karena sudah di rumah pengantin pria dan yang ada cuma kerabatnya, jadi tidak terlalu ketat. Saya malah disuruh masuk ke kamar pengantin yang gelap gulita. Tetapi saya bisa melihat, ranjang besar sudah diselimuti kelambu dari pita warna-warni.
Dalam kegelapan kamar ini saya berhasil melihat sosok pengantin perempuan. Hanya sosok bayangan, karena wajah dan tubuhnya masih dibungkus lagi dengan kerudung gelap dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saya hanya melihat sebentuk perempuan yang terbungkus kain, dan suara isak tangis masih terdengar dari balik selubung kain itu.
Purdah adalah jalan hidup. Di balik bungkusan tirai demi tirai, dari kaca jendela mobil, doli, kerudung tebal, dupata, celana shalwar, dan jubah kamiz, tersembunyi wajah cantik penuh misteri sang pengantin, bersama dengan lelehan air matanya.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 Maret 2009
Leave a comment