Selimut Debu 28: Lika-Liku Laki-Laki
Kedai teh milik Gul Agha tempat aku menginap (AGUSTINUS WIBOWO) Sebuah pagi dimulai dengan tergopoh-gopoh. Hadi Ghafari pagi-pagi tergopoh-gopoh membangunkanku. Napasnya masih terengah-engah. Dia bilang, istrinya barusan menelepon dari Kabul. Itu artinya, dia harus segera ke Kabul untuk melakukan “sesuatu” di rumahnya. Dari gerakan tangannya, dan senyum mesam-mesemnya, dia menunjukkan kalau istrinya sudah merindukan kehadirannya untuk mengisi malam-malam yang sepi, karena dia sudah 25 hari tidak pulang ke Kabul. “Berapa lama ke Kabul?” tanyaku. “Sepuluh hari,” jawabnya. Sepuluh hari! Itu artinya, tidak ada lagi tempat bagiku di sini. Kemarin, seseorang dari sebuah LSM di Bamiyan mengajakku untuk ikut ke desa-desa pedalaman, dan akan berangkat seminggu lagi. Aku bertanya pada Hadi apakah mungkin aku tinggal di kantornya selama aku menunggu hari keberangkatan. Dia berusaha meyakinkanku dengan segala cara bahwa kegiatan LSM itu sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaanku (bagaimana dia tahu?), tetapi kemudian dia bilang sama sekali tidak ada masalah karena kantor ini adalah rumahku juga (keramahtamahan yang luar biasa!). Tetapi dengan begitu tiba-tibanya, pagi-pagi begini, tergopoh-gopoh begini, dia bilang harus balik ke Kabul selama sepuluh hari, meninggalkan kantornya secara total, mengunci ruang berita, menutup kantor, … yang semua ini di mataku seperti cara halus untuk mengusirku pergi. Untunglah aku [...]