Recommended

Perjalanan Akbar

Garis Batas 90: Berzengi

Berzengi dan segala mukjizatnya (AGUSTINUS WIBOWO) Di bagian selatan Ashgabat, sebuah dunia surealis menebar nuansa misterius negeri antah berantah. Gedung-gedung tinggi dari pualam putih berjajar megah, tetapi tak ada manusia yang menghuni. Jalan raya beraspal mulus membentang amat lebar, tetapi tak nampak mobil yang melintas. Monumen-monumen megah berdiri, merayakan kegemilangan negeri, di tengah kelengangan alam yang tiada banding. Taman-taman hijau menghampar, gemericik air mancur mengalun sendiri di tengah sunyi dunia. Inilah Berzengi, tempat keajaiban tingkat dunia muncul satu per satu. Inilah Berzengi, tempat bulu kuduk saya berdiri di sebuah dunia aneh yang kosong dan hampa ini. Berzengi adalah sekelumit wajah Turkmenistan yang pertama kali saya intip ketika datang dari Iran dulu. Dalam bis kota modern yang harga tiketnya mendekati gratis, saya terpesona oleh barisan gedung-gedung tinggi dan baru, dengan cita rasa arsitektur entah dari zaman apa. Kekaguman saya juga mengantarkan senyum kebanggaan di wajah Rita, seorang pegawai perbatasan, yang mengagung-agungkan kehidupan di negeri utopis Turkmenistan. Setelah beberapa hari di Ashgabat, saya kembali ke Berzengi, mengagumi barisan gedung-gedung raksasa nan bisu ini.  Gedung-gedung pualam megah berbaris di tengah sepi (AGUSTINUS WIBOWO)   Berzengi adalah jalan panjang yang membentang ke arah pegunungan Kopet Dag di selatan, yang membatasi negeri ini dengan Iran. [...]

October 17, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 89: Disneyland

Dunia Fantasi di Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Negeri fantasi ini pun menciptakan sebuah Dunia Fantasi … “Wahai generasi Abad Emas, engkau adalah manusia-manusia yang paling berbahagia!”   Turkmenbashi yang Agung bersabda, tertulis dengan tinta emas di pintu gerbang sebuah taman bermain, mengingatkan keberuntungan tiada tara putra dan putri Abad Emas, masa depan Turkmenistan. Dunia Dongeng Turkmenbashi, demikian nama taman penuh imajinasi dan fantasi ini, mengantar pengunjung ke dunia syahibul hikayat Turkmenia, salah satu proyek maha besar sang pemimpin untuk merayakan 15 tahun perjalanan hidup Turkmenistan menyongsong Abad Emas. Tetapi penduduk Ashgabat lebih sering menyebut tempat ini dengan nama yang lebih keren – Turkmen Disneyland. Pintu gerbang berwarna putih pualam berdiri megah, di hadapan barisan bendera Turkmenistan yang berkibar-kibar penuh gairah. Kota Ashgabat adalah salah satu kota yang hampir setiap hari berganti wajah. Gedung-gedung baru dari pualam bermunculan dalam sekejap malam. Semuanya seperti sihir penuh kejutan. Dan salah satu kejutan terakhir Turkmenbashi yang menggemparkan seluruh negeri dan jagad raya adalah  taman Disneyland ini. Lupakan Donal Bebek dan Miki Tikus, juga Sinderela dan tujuh kurcaci. Turkmenistan bukan tempat bagi mereka. Di sini, yang mengisi mimpi bocah-bocah Turkmen, generasi mendatang di Abad Emas, semuanya berasal dari hikayat-hikayat dan khasanah kesusastraan Turkmen yang tiada bandingnya [...]

October 16, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 88: Jejak Soeharto

Pasar permadani di Tolkuchka Bazaar(AGUSTINUS WIBOWO) Siapa sangka di negeri yang penuh dengan patung-patung sang Pemimpin Agung yang selalu ingin dipuja setiap detik, saya menemukan jejak mantan presiden kita, Bapak Pembangunan Soeharto, tersembunyi di sebuah sudut pasar. Ashgabat adalah kota yang banjir semboyan. Saya sudah hapal di luar kepala apa itu ‘Ruhnama Jalan Hidup’ dan bahwa ‘Turkmenistan Selalu Merdeka dan Netral’. Saya sudah hapal lekuk-lekuk tubuh dan raut wajah Turkmenbashi. Dan saya tak perlu diingatkan lagi bahwa sekarang kita hidup dalam ‘Abad Emas’. Saya memunguti serpihan-serpihan masa lalu saya dari wajah kota Ashgabat. Saya teringat akan Penataran Pancasila dan jargon-jargon masa lalu seperti era tinggal landas, adil dan makmur, gerakan non-blok, dan semboyan-semboyan penuh kebanggaan sebagai bangsa yang merayakan Indonesia Emas di bawah ‘petunjuk‘ sang nahkoda, Bapak Pembangunan. Mungkin Turkmenistan memang negeri antah berantah yang penuh keajaiban. Tetapi kehidupan di sini bukan hal yang asing sama sekali bagi orang Indonesia. Di pinggiran kota Ashgabat, sekitar delapan kilometer dari pusat kota, ada sebuah pasar kuno yang termashyur di seluruh penjuru Asia Tengah. Pasar ini bernama Tolkuchka Bazaar, yang dalam bahasa Rusia berarti ‘Pasar Tarik’. Mengapa namanya demikian, saya pun tak tahu pasti. Tetapi yang jelas, setiap hari Minggu Tolkuchka Bazaar menjadi [...]

October 15, 2013 // 14 Comments

Garis Batas 87: Baju Indah

Pelajar Turkmen dengan pakaiannya yang indah (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih terkesima dengan pemuda dan pemudi Turkmen yang semuanya berbaju rapi, indah, dan penuh pesona. Apakah ini bagian wajib dari sebuah Abad Emas? Jeyhun adalah seorang mahasiswa teknik mesin di sebuah universitas di Ashgabat. Namanya berarti Sungai Amu Darya, sungai besar yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya peadaban Asia Tengah. Kampung halaman Jeyhun sebenarnya berada di Uzbekistan, di kota kecil Karakul di selatan Bukhara. Tetapi sekarang keluarganya tinggal di kota Turkmenabat, persis di seberang pintu gerbang Uzbekistan. Mahasiswa yang satu ini berpakaian sangat parlente. Kemejanya putih bersih. Dasinya pun berpadu serasi. Yang bikin mana tahan adalah jas hitamnya yang lembut dan gagah. Celana panjangnya pun hitam mengkilap. Tak lupa sepatu hitamnya yang terus-menerus bercahaya. Tak tampak seperti orang Turkmen? Masih ada tahia, topi bundar, tipis, mungil berhiaskan noktah-noktah berwarna kuning dan merah teronggok miring menutupi ubun-ubun di puncak kepalanya. Bukankah berpakaian seperti ini menghabiskan biaya? Harga jas yang berkualitas bagus seperti ini harganya mulai dari 40 dolar sampai 100 dolar. Sangat mahal untuk ukuran mahasiswa. “Tidak masalah,” kata Jeyhun, seorang mahasiswa dari Turkmenabat yang belajar di Ashgabat, “semua orang jadi kelihatan bagus. Para pelajar di sini sangat cantik dan tampan. Tak ada [...]

October 14, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 86: Puja dan Puji

Puja bagi Ruhnama (AGUSTINUS WIBOWO) Taman Abad Emas Saparmurat Turkmenbashi yang Agung, nama tempat di mana segala puja dan puji terhadap Sang Pemimpin Besar dipanjatkan setiap minggu, disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru negeri oleh televisi negara. Inilah altar pemujaan, yang sepeninggal Sang Pemimpin masih terus melantunkan nyanyian pujian ke angkasa raya. Hari Sabtu dan Minggu sore, taman ini selalu ramai dikerumuni orang. Letaknya di hadapan patung emas Turkmenbashi yang gagah berdiri menyibakkan jubah. Dengan berbekal kamera saya mencoba menyelinap ke tengah kerumunan itu. Tahu-tahu saya diciduk polisi. “Hei, kamu! Mau ke mana?” Saya jawab mau ikut konser. Si polisi tambah curiga, menhardik, “Kamu dari kelas mana? Grup mana?” tanya polisi yang satunya. Kelas? Grup? Waduh, saya kan orang asing yang menyelundup, kok ditanya grup dan kelas. Kedua polisi itu mulai mengancam akan menjebloskan saya ke penjara. Nada-nadanya para pegawai kecil ini ingin mempertunjukkan kekuasaannya. Saya hanya ikut permainan mereka, tersenyum-tersenyum kecil, dan terus memohon-mohon. Ketika mereka lengah saya berhasil menyelinap ke kerumunan orang ramai ini. Sekarang baru saya sadar mengapa polisi-polisi itu mencegat saya. Semua orang yang datang ke tengah kerumunan ini berpakaian hampir sama. Para prianya mengenakan kemeja, dasi, jas hitam kualitas tinggi, dan topi tradisional berbentuk bundar [...]

October 11, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 85: Bukan Emas Tulen

Melewatkan kebosanan di taman. (AGUSTINUS WIBOWO) Abad emas menyelimuti seluruh penjuru negeri Turkmenistan. Patung-patung emas berdiri menyambut datangnya era baru, lengkap dengan slogan, semboyan, motto, dan berbagai ragam jargon. Altyn Asyr, Abad Emas, apa pun namanya, kini menjadi salah satu frase yang paling banyak disebut-sebut di negeri ini. Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Marat yang penduduk asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa saja dan terus datar tanpa perubahan. Umurnya baru dua puluhan, tetapi wajahnya sudah nampak tua sekali. Mungkin karena kebosanan luar biasa setiap hari kerut-kerut baru muncul di wajahnya.  “Turkmenistan ini sama sekali bukan tempat untuk bekerja,” keluhnya, “tidak ada uang di sini.” Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mobil, pendapatannya berkisar antara 30.000 hingga 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil sebenarnya, cukup untuk membeli selembar tiket pesawat terbang domestik atau setengah piring nasi plov di pasar. Tetapi masalahnya tak banyak mobil yang bisa dicuci di ibukota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak kehilangan sumber pemasukan. “Masih jauh lebih baik Uzbekistan. Orang-orang di sana lebih cerdas dan pintar, tahu bagaimana caranya mencari uang,” keluhnya lagi. [...]

October 10, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 84: Ketakutan

Penuh tentara (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih mencoba untuk mencari jawab akan rasa hormat dan takzim yang demikian tiada bandingan terhadap Sang Turkmenbashi. Apakah euforia abad emas yang begitu memesonakan? Atau mungkin hasil cuci otak dengan bilasan ideologi? Atau bahkan rasa takut yang sudah tersembunyi di sudut hati dan ikut mengalir bersama aliran darah? Rasa takut terus menghantui saya ketika menyusuri jalanan kota Ashgabat. Bukan karena lalu lintas maut seperti di Jakarta, karena jalanan megah dan lebar di kota ini hampir selalu lengang. Bukan karena pencopet atau pencuri, karena kota ini tak pernah ramai. Juga bukan karena patung-patung bisu Turkmenbashi. Saya merasa seperti berada di kota perang. Polisi dan tentara berseragam berpatroli di mana-mana, tanpa henti, sepanjang hari. Ada mata-mata jelmaan KGB yang terus mengintai. Di tiap sudut jalan setidaknya ada sepasang tentara yang mondar-mandir dengan langkah tegap, menyebarkan aura kegagahan dan keperkasaan. Tetapi aura yang mencapai permukaan kulit saya adalah rasa takut yang mencekam. Saya merasa setiap langkah saya selalu diawasi oleh mata-mata tanpa wujud. Setiap gerak-gerik saya terpantau, bahkan mungkin hembusan nafas saya di negeri ini pun ada yang memindai. Pusat kota Ashgabat memang daerah yang teramat sangat sensitif, yang menjadi alasan ketatnya pengamanan. Ada istana presiden yang berkubah [...]

October 9, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 83: Sang Idola

Sang Idola berputar bersama matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Ada satu figur yang cukup untuk menggambarkan seluruh negeri Turkmenistan, terbentang dari pesisir Laut Kaspia hingga gurun pasir hitam Karakum, menangkupi gunung Kopet Dag sampai bantaran sungai Amu Darya. Hanya satu. Sang Pemimpin Besar, Presiden pertama dan seumur hidup, Putra besar dari seluruh rakyat negeri, Pendiri Turkmenistan yang merdeka dan netral, Sang Turkmenbashi… Saparmurat Niyazov. Kota cinta Ashgabat dipenuhi oleh patung-patung dan gambar wajah sang Turkmenbashi. Sebagian besar patung-patung itu berpoles emas, memantulkan cahaya matahari yang membuat kota ini semakin berkilau. Sang Pemimpin dipatungkan dalam berbagai pose dan gaya: duduk, melambaikan tangan kanan, melambaikan kedua tangan, berdiri, menghadap matahari, membaca buku, bertopang dagu, dan sejenisnya. Para pematung Turkmenistan rupanya harus belajar khusus anatomi sang Turkmenbashi untuk dapat memfigurkan pemimpin agung ini dengan secermat-cermatnya. Patung-patung emas Turkmenbashi dikawal oleh para tentara, seolah-olah mereka sedang mengawal harta karun nasional. Para tentara berwajah garang tanpa ampun itu berpatroli di seputar patung-patung. Mungkin takut emasnya dicuri. Atau mungkin takut kehormatan sang Pemimpin dinodai orang-orang tak bertanggung jawab. Mendiang Turkmenbashi pernah bersabda bahwa bukan kehendak beliau untuk membangun patung-patung dan memasang foto-foto dirinya di mana-mana. Semua itu semata-mata karena kecintaan [...]

October 8, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 82: Utopistan

Dua dunia (AGUSTINUS WIBOWO) Mendung bergelayut di langit Ashgabat. Hujan turun rintik-rintik. Perumahan kuno tempat saya tinggal sudah menjadi lautan lumpur. Tempat ini tepat berada di belakang gedung-gedung marmer pencakar langit yang dibangun oleh Turkmenbashi, dengan cita rasa yang penuh tanda tanya. Hanya menyeberang gang ke jalan utama, meninggalkan kumuhnya rumah-rumah kuno, saya sudah kembali ke dunia Turkmenistan yang dibangun oleh Turkmenbashi. Dalam bahasa Turkmen, Turkmenbashi artinya ‘Pemimpin orang Turkmen’. Mirip-mirip gelar Kemal Ataturk, sang pembaharu Turki, yang artinya ‘Bapa orang Turki’. Di negeri ini, itulah nama yang tidak boleh kita lupakan, karena dialah seluruh roh dan jiwa Turkmenistan, pembawa pencerahan dan pembaharuan ke seluruh penjuru negeri dan dunia. Wajah Saparmurat Turkmenbashi, presiden agung yang baru saja meninggal, menghiasi setiap sudut jalan Ashgabat. Gedung-gedung kementrian selalu punya patung emasnya. Siluet wajahnya mengawali setiap slogan dan pesan pemerintah. Semua saluran televisi juga pasti memasang gambar sang Bapa Agung. Belum cukup. Desa, kota, pelabuhan, jalan, bandara, semuanya diganti dengan nama beliau, nama orang tua beliau, juga konsep-konsep agung beliau. Kota pelabuhan Krasnodovsk di pinggir Laut Kaspia sekarang bernama Turkmenbashi. Kota perbatasan Charjou sekarang berjudul Turkmenabat. Kota kecil Kerki sudah menjadi Atamurat, nama ayah Turkmenbashi. Ibundanya, Gurbansoltan Eje, sekarang [...]

October 7, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 81: Semua Gratis di Abad Emas

Kompleks istana kepresidenan dengan kubah emas, dibangun oleh perusahaan konstruksi Perancis Bouygues. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga puluh kilometer perjalanan dari perbatasan membawa saya ke Ashgabat, ibu kota Turkmenistan. Ashgabat artinya ‘kota cinta’. Tetapi seperti Tashkent yang bukan tempat mencari batu, saya juga tidak mencari cinta di sini. Ashgabat, dalam benak saya, adalah kota fantasi yang megah di tengah padang pasir luas. Rita, nama wanita ini, yang mengantar saya naik bus kota menuju pusat Ashgabat. Umurnya sekitar empat puluh tahunan, bekerja sebagai pegawai imigrasi di perbatasan. Warga keturunan Rusia. Rambutnya pirang, hidungnya mancung, matanya biru. “Berapa harga karcisnya?” saya bertanya.             “Lima puluh manat,” jawab Rita.             “Lima puluh ribu manat?” saya belum yakin.             “Bukan. Bukan lima puluh ribu. Lima puluh. Hanya lima puluh Manat,” dia menyimpan sebuah senyuman di wajahnya. Lima puluh manat. Dua puluh rupiah, harga karcis bis kota di ibu kota negeri Turkmen. Rita mengerti keheranan saya. Dan itu justru membuatnya bangga. Dengan sukarela Rita membayarkan karcis saya, yang masih kebingungan karena tidak punya uang kecil. “Di sini, semuanya gratis – air, listrik, gas, layanan kesehatan. Semuanya. Kami memang tidak punya uang. Tetapi semuanya gratis. Kami tidak perlu banyak uang untuk hidup.” [...]

October 4, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 80: Turkmenistan Menyambut Anda

Pintu gerbang Kota Cinta Ashgabat (AGUSTINUS WIBOWO) Kota terakhir Iran sebelum memasuki Turkmenistan adalah Guchan di utara Mashhad. Serpihan Iran yang satu ini memang bukan kemegahan macam Tehran Di kota ini gubuk-gubuk tersebar semrawut di kaki-kaki gunung berdebu. Iran, negara kaya raya ini, ternyata punya juga daerah yang morat-maritnya mirip Pakistan. Perbatasan Turkmenistan di desa Bajgiran masih 75 kilometer lagi. Bajgiran sudah seperti dunia lain. Padang-padang hijau menghampari kurva mulus bukit-bukit, membuat saya seakan sudah berada di Asia Tengah lagi. Kalau bukan tulisan-tulisan huruf Arab bahasa Persia, serta perempuan-perempuan yang dibungkus chador hitam, mungkin saya sudah lupa kalau saya masih di Iran. Penukar uang gelap berebutan menjajakan uang Turkmen. Semua membawa kresek hitam besar-besar, yang isinya hanya duit. Sebegitu tidak berharganya kah uang Turkmenistan sampai dibungkus kresek seperti dagangan kismis? Mata uang Turkmenistan namanya Manat. Nilai tukar resmi pemerintah Turkmenistan, 1 dolar = 5.500 Manat. Tetapi harga pasar gelap 25.000 Manat, hampir lima kali lipat. Tanda-tanda negara dengan perekonomian tidak sehat. Walaupun duitnya kecil, pecahan terbesar uang Turkmen hanya 10.000 Manat, yang kira-kira 3.600 Rupiah saja. Saya hanya menukar 100.000 Rial (kira-kira 100.000 Rupiah) dan langsung mendapat sekresek uang Manat pecahan 5000-an. Rasanya benar-benar seperti beli sekantung kismis. Di setiap [...]

October 3, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 79: Menuju Antah Berantah

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Tak sampai sebulan berselang, saya sudah berada di Bandara Internasional Mehrabad, Republik Islam Iran. Dingin langsung menyambut saya, yang menginjakkan kaki kembali ke tengah negeri-negeri yang tak pernah pupus dari mimpi. Dingin yang sama digemakan oleh pilar-pilar, koridor, eskalator. Bandara Mehrabad sudah tua umurnya. Kosong, lengang, tak beraturan. Tak bernyawa. Saya hanya merasa berada di sebuah bandara. Tak kurang tak lebih. Pesawat kami terbang dari Kuala Lumpur, tempat belanja favorit orang Iran di Asia Tenggara. Setiap penumpang membawa berkoper-koper barang, sepertinya tak ada yang mau menyia-nyiakan kesempatan berbelanja di sebuah surga shopping dunia. Roda bagasi berputar perlahan-lahan. Satu per satu barang bawaan muncul entah dari mana. Di antara barang-barang itu, ada banyak kotak besar berisi makanan bubuk dan popok bayi. Aneh-aneh saja belanjaan favorit orang Iran ini. Dua ratusan penumpang Iran berbaris dengan sabar di depan bea cukai, yang sangat teliti memeriksa semua barang. Saya malah melengang begitu saja, mungkin karena mereka tidak tertarik dengan ransel kumal saya. Tak banyak yang saya lakukan di kota Tehran, selain mengurus visa Uzbekistan dan Turkmenistan. Yang pertama sangat gampang. Dengan berbekal surat undangan dari Tashkent, paspor saya langsung ditempeli stiker visa hanya dalam waktu lima menit. Yang bikin pusing [...]

October 2, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya. “Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung. Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya. “Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar. Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos. Pos terakhir yang paling saya takuti, pos [...]

October 1, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 77: Sekali Lagi, Visa Oh Visa…

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Bila diingat, perjalanan saya di Asia Tengah melintasi negara-negara pecahan Uni Soviet ini, selalu disibukkan dengan urusan visa. Kira-kira hampir separuh konsentrasi saya habis hanya untuk memikirkan trik-trik melamar visa. Seperti diketahui, paspor Indonesia bukan yang terbaik untuk melancong di sini. Kita tidak bisa nyelonong begitu saja ke kedutaan negara Stan untuk minta visa, tanpa terlebih dahulu mengurus yang namanya ‘letter or invitation‘ atau dalam bahasa kerennya disebut priglashenie, surat undangan. Surat undangan ini harus direstui dulu oleh kementerian luar negeri negara yang dituju, melalui proses berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Salah satu cara mudah untuk mendapatkan priglashenie, terutama untuk Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Uzbekistan, adalah dengan menghubungi biro perjalanan di negara yang akan dituju. Kantor-kantor travel di sana sudah terbiasa memenuhi permintaan priglashenie. Dengan hanya membayar 30 dolar dan menunggu paling lama dua minggu kita sudah bisa mendapatkan surat undangan dari negara yang dimaksud. Ini baru surat undangan, prasyarat untuk bikin visa. Visanya sendiri bermacam-macam ceritanya. Ingat kedutaan Tajikistan di Kabul yang benderanya terbalik-balik dan diplomatnya menjual visa seperti calo menjual tiket waktu Lebaran? Di Dushanbe, kedutaan Kyrgyzstan juga cukup antik karena hanya buka sehari dalam seminggu. Di Bishkek, kedutaan Uzbekistan punya kegemaran mengadakan ujian [...]

September 30, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 76: Suatu Malam di Tashkent

Tashkent, tersenyum ceria di siang hari, namun bisa jadi ganas di malam hari. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak sangka, ketika hujan rintik-rintik mengguyur, di atas jalanan taman yang becek, saya mengalami kejadian paling mendebarkan selama tiga bulan saya tinggal di Uzbekistan. Sudah cukup lama saya tinggal di apartemen Temur Mirzaev, seorang pelajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Apartemennya terletak di barisan gedung-gedung perumahan tinggi di sebelah pasar Yunusobod. Pasar ini adalah tempat yang ceria di siang hari, dengan para pemilik warung yang berteriak berebut pembeli. Di waktu malam, daerah ini jadi gelap gulita, karena kurangnya lampu jalan. Hari-hari pertama saya di rumah Temur dulu, saya selalu was-was kalau keluar rumah saat malam. Selalu ada yang mengantar saya, kalau bukan Temur sendiri ya sepupu-sepupunya. Tapi lama-kelamaan saya malah jadi terbiasa dan semakin berani keluar sendirian. Sore itu, sepulangnya dari berinternet ria di warnet seberang jalan, saya melintasi taman di depan apartemen Temur. Sambil berjalan saya menelepon seorang kawan, membuat janji untuk makan malam di restoran. Saat itu, melintas empat orang pemuda Uzbek yang tinggi-tinggi. Mereka memandang saya lekat-lekat. “Ah, paling orang-orang kurang kerjaan yang tidak pernah lihat orang asing,” pikir saya. Puas menelepon, saya ke pasar dulu untuk beli bakmi goreng langganan saya. Di [...]

September 27, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 75: Bahasa Uzbek

Bahasa Uzbek, huruf Rusia masih terlihat di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Konon Lembah Ferghana adalah pusat peradaban bangsa Uzbek. Orang-orangnya bicara bahasa Uzbek yang paling murni dan halus. Saya merasakan kesopanan yang luar biasa, karena orang tua di Lembah Ferghana bahkan menyapa anak-anaknya dengan siz – Anda, dan bukannya san – kamu – seperti orang-orang Uzbek di tempat lain.  Bagaimanakah asal-muasal Bahasa Uzbek? Ratusan tahun lalu, bahasa ini masih belum lahir. Yang ada adalah bahasa Turki Chaghatai, dari rumpun bahasa Altai. Sama seperti ketika itu nama Bahasa Indonesia belum ada, karena orang hanya kenal bahasa Melayu. Bahasa Uzbek menjadi penting, ketika tahun 1920’an, etnis-etnis Asia Tengah ‘ditemukan’, dan masing-masing bangsa harus punya bahasanya sendiri.  Pertanyaannya, bahasa yang mana yang layak menjadi Bahasa Uzbek? Sebelum tahun 1921, yang disebut ‘Bahasa Uzbek’ adalah bahasa Kipchak, yang dipakai di sekitar Bukhara dan Samarkand. Bahasa ini sangat rumit, karena seperti halnya bahasa Kirghiz, juga punya banyak aturan keharmonisan vokal. Pada saat itu, bahasa Qarluq yang dipakai di Ferghana dan Kashka-Darya dikenal sebagai Bahasa Sart. Tata bahasanya lebih mudah, karena tidak memakai harmonisasi vokal. Bahasa Sart, dipakai oleh umat Muslim yang sudah tidak nomaden, kaya akan kosa kata dari Bahasa Arab dan Persia. Selain itu, di [...]

September 26, 2013 // 5 Comments

Garis Batas 74: Raja Umat Manusia

Seorang mullah dari Shakhimardan (AGUSTINUS WIBOWO) Gerbang perbatasan terakhir yang harus kami lewati untuk menuju Shakhimardan adalah pintu Uzbekistan. Tiga gerbang perbatasan sebelumnya berlalu dengan mulus, berkat kecerdikan Bakhtiyor aka. Namun tidak yang satu ini. Sardor nampak gelisah. Bibirnya tak berhenti komat-kamit membaca doa. Bakhtiyor aka sudah cukup lama turun dan bernegosiasi dengan tentara perbatasan. Seperti yang Bakhtiyor bilang, peluang kami bisa masuk Shakhimardon cuma fifty-fifty. Tentara muda itu datang mendekati Sardor. Sardor di suruh turun, menunjukkan paspor dan dokumen-dokumennya. Saya hanya disuruh tunggu di mobil seorang diri. Tak lama kemudian Sardor berlari ke arah mobil dengan senyum terkembang. Berita bagus, pastinya.              “Kita boleh masuk, kita boleh masuk….,” dia tertawa riang. “Berapa sogokannya?” “Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, “kamu boleh masuk karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu adalah Muslim, dan kita akan pergi berziarah. Tetapi kita hanya punya waktu 45 menit. Tak lebih.” Empat puluh lima menit lagi akan ada pertukaran tentara perbatasan. Kami harus keluar dari Shakhimardan sebelum tentara muda yang berbaik hati ini berganti giliran. Kalau sampai kami terlambat dan tentara lain yang menjaga perbatasan, maka kami tidak akan bisa keluar dari Shakhimardan dengan selamat. Sardor menyebut-nyebut ziarah. Nama Shakhimardan dalam bahasa Tajik [...]

September 25, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 73: Menyelundup

Qadamjoy dan semangat Kirghizia-nya (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia antah berantah ini bertaburan kampung-kampung terpencil yang dikelilingi negara-negara asing. Shakhimardan, tempat yang paling ingin saya kunjungi di Asia Tengah, adalah sebuah lembah tersembunyi milik Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung tinggi Pamir Alay milik Kyrgyzstan. Tetapi bagaimana caranya ke sana? Saya harus melewati pintu-pintu gerbang perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan, tanpa visa apa pun. Bakhtiyor aka (aka dalam bahasa Uzbek artinya kakak laki-laki), adalah seorang supir taksi dari Vuadil yang kebetulan juga tetangga Sardor. Melihat Sardor yang kelimpungan mencari kendaraan untuk menyelundupkan saya ke Shakhimardan, Bakhtiyor pun menawarkan bantuan. “40 ribu Sum saja,” katanya. Sekitar 35 dolar. Terlalu mahal untuk ukuran kantong kami berdua yang masih standar pelajar. Shakhimardan hanya 25 kilometer jauhnya dari Vuadil, tetapi karena pos-pos perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan itulah yang  bikin mahal. Berkat hubungan tetangga, Sardor berhasil menawar sampai 20 ribu Sum untuk misi rahasia bin berbahaya ini. “Kamu harus berjanji,” kata Bakhtiyor aka, “nanti lewat pos perbatasan, sembunyikan kameramu. Jangan bicara apa-apa. Pura-pura bisu. Davai?” “Davai,” saya mengangguk. Bakhtiyor adalah warga negara Uzbekistan, tetapi mobilnya berplat nomer Kirghiz. Dengan mobil ini, Bakhtiyor bisa melaju melintasi semua pos perbatasan Kyrgyzstan tanpa [...]

September 24, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 72: Terkurung

Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau Anda merasa Gulshan dan Halmiyon adalah aneh-anehnya negeri antah berantah, tunggu dulu, Anda mesti ke Shakhirmardan untuk melihat ajaibnya Asia Tengah. Pernahkah Anda membayangkan tinggal di sebuah kampung kecil yang dikepung oleh negara lain, sehingga untuk keluar kampung pun Anda mesti menyiapkan paspor dan visa? Ini bukan mengada-ada, enklaf-enklaf bertaburan di Lembah Ferghana. Enklaf artinya daerah kantong, seperti misalnya enklaf Oecussi-Ambeno milik Timor Leste yang dikelilingi provinsi NTT Indonesia. Bedanya, enklaf-enklaf Asia Tengah sangat kecil, biasanya cuma sebesar kampung, dan saking kecilnya banyak yang sampai tidak termuat di peta. Ada sejumput Tajikistan bertaburan di wilayah Uzbekistan, sejumput Uzbekistan di wilayah Kyrgyzstan, dan desa-desa Kirghiz terkepung distrik Ferghana-nya Uzbekistan. Ketiga negara ini, dengan segala konflik ego dan nasionalismenya, tak bisa hidup lepas satu sama lain. Politik regional Asia Tengah dibuat semakin ruwet dengan adanya enklaf-enklaf terisolasi ini, yang sengaja ditanam oleh pemerintah Soviet untuk menjadi ‘bom waktu’ kalau negara-negara ini nekat merdeka. Dan benar saja, konflik teritorial di Lembah Ferghana semakin memanas dengan pertikaian antar Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang berdiri di atas garis-garis batas yang hanya Tuhan yang tahu kenapanya. Salah satu contohnya adalah Sokh, enklaf [...]

September 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO) Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana.  Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet.  Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika [...]

September 20, 2013 // 8 Comments

1 15 16 17 18 19 21