Recommended

Afghanistan

Garis Batas 59: Hoja Nasrudin

Patung Nasruddin di Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO) “Bulan lebih berfaedah daripada matahari,” kata Hoja Nasruddin suatu hari, “karena di malam hari kita lebih butuh cahaya daripada di waktu siang.” Remang-remang sinar rembulan terpantul di atas riak-riak air kolam Lyabi-Hauz, di tengah kota tua Bukhara. Air kolam ini tak banyak. Di musim yang dingin ini, hanya bebek-bebek saja yang berani berenang sambil terus berkoak-koak, melintasi pantulan bulan purnama yang berubah menjadi sobekan-sobekan cahaya di atas permukaan kolam. Sinar bulan, yang menerangi gelapnya malam, juga membilas wajah sebuah patung perunggu di pinggir kolam, dibawah rindangnya pepohonan. Patung ini, seorang kakek tua yang berwajah lucu, dengan tangan kanan tertangkup di dada dan tangan kiri melambai, duduk dengan gembira di atas seekor keledai yang sedang menyeruduk. Inilah Hoja Nasruddin, sang mullah cerdik dalam legenda hikayat Islami. Sang mullah mengajarkan berbagai kebijaksanaan dengan humor-humornya yang menyindir. Walaupun senantiasa digambarkan bodoh dan lugu, misalnya mengendarai keledai terbalik dengan wajah menghadap pantat, sang mullah selalu punya alasannya sendiri, yang bila bisa mengajak kita menertawakan dunia. Itulah kebijaksanaan seorang Sufi. Belajar tidak melulu dari kitab suci yang berat dan menghafalkan ayat-ayat. Kebijaksanaan Islam bisa ditemukan di balik makna simbolis kebodohan dan kelucuan Nasruddin. Hikayat-hikayat selalu hidup di sini. (AGUSTINUS [...]

September 4, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 46: Naik kereta api, tenge… tenge… tenge…

Perjalanan panjang dalam kereta api (AGUSTINUS WIBOWO) Dua minggu di Kazakhstan adalah hari-hari yang berat. Mie instan yang sudah menjadi makanan pokok saya di sini, karena harganya yang paling terjangkau, telah mengantarkan beberapa lubang sariawan di sudut-sudut mulut. Dinginnya bulan Desember yang tak bersahabat di Kazakhstan, ditambah lagi harga-harga yang terus menghisap darah, membuat saya tak sabar untuk meninggalkan metropolis Almaty.  Sebagai negara daratan yang sangat luas, jaringan kereta api menjadi alat transportasi vital di Kazakhstan. Dengan kereta api orang bisa ke mana-mana, dari Almaty di pucuk selatan, sampai ke Astana yang seribuan kilometer jauhnya, hingga ke Petralovsk, Semey, Atyrau, dan Uralsk di pucuk-pucuk negeri, bahkan sampai ke Moskwa dan Siberia. Seratusan tahun yang lalu, Kazakhstan cuma tempat terpencil di ujung dunia, layaknya Timbuktu yang terlupakan. Sekarang Timbuktu ini sudah disulap menjadi negara makmur. Saya yang terpukau oleh stasiun Almaty 1, tahu-tahu digeret polisi stasiun. Saya ketahuan memotret di dalam lingkungan stasiun. Saya dibawa ke ruang interograsi. Di sana ada seorang wanita gendut yang sepertinya polisi kepala. Dengan sabar ibu polisi itu bertanya mengapa saya memotret, karena itu haram hukumnya di sini. Saya manggut-manggut, minta maaf dan menghapus foto-foto saya. Para penumpang dengan brutal memasuki kereta. Yang kuat yang menang, [...]

August 16, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 36: Raksasa Asia Tengah

Pintu perbatasan Kazakhstan (AGUSTINUS WIBOWO) Menyeberangi Sungai Chui, melintasi perbatasan alami antara Kyrgyzstan dengan Kazakhstan, saya merasakan pergeseran kehidupan yang luar biasa. Dari kantor perbatasan Kyrgyzstan yang terbuat dari tanker minyak bekas yang sudah berkarat ke kantor perbatasan Kazakhstan memamerkan kecanggihan sebuah negeri yang sedang menikmati kemakmuran. Salju terus mengguyur bumi. Sejauh mata memandang yang tampak hanya langit kelabu. Saya masih teringat tentara perbatasan Kyrgyzstan yang dari tadi memberi isyarat minta disogok, gara-gara visa saya tidak distempel ketika memasuki negeri Kirghiz dari perbatasan Bör Döbö. Baru setelah menunjukkan beberapa surat dari KBRI, tentara penjaga perbatasan yang rakus-rakus itu mengizinkan saya lewat menyeberangi jembatan menuju Kazakhstan.  Bendera biru muda Kazakhstan, berhias matahari kuning yang cerah, berkibar di atas gedung balok putih itu. Prosedur imigrasi Kazakhstan, dibandingkan negara tetangga yang berkantor di bekas tanker minyak, nampak jauh lebih modern dan teratur. Bukan hanya harus mengisi Migration Card yang harus disimpan bersama paspor dan visa selama berada di negara ini, semua orang yang masuk Kazakhstan harus dipotret dulu oleh petugas imigrasi ketika mengecap paspor. Tak lama lagi mungkin Kazakhstan juga akan menyimpan sidik jari dan memindai retina mata. Kazakhstan memang kaya. Dibandingkan dengan negara tetangga Kyrgyzstan yang masih harus bergumul dengan frustrasi para [...]

August 2, 2013 // 0 Comments

Nabawia (2013): Selimut Debu, Petualangan Mengesankan di Negeri Khaak

Keren. Itu kata saya selesai membaca buku setebal 461 halaman itu. Sejak paragraf Awal Agustinus Wibowo telah mengajak saya untuk berpetualang melintasi negeri pimpinan Hamid Karzai dengan bahasa yang membumi dan tidak menggurui. Berbekal buku An Historical Guide to Afghanistan ia berpetualang melintasi Afghanistan tahun 2006, setelah tahun 2003 ia kesana dan bertemu dengan seorang pencari karpet di kedai teh Bamiyan yang memantik semangatnya untuk berkeliling negeri itu.

July 24, 2013 // 0 Comments

[VIDEO] Net TV (2013): Travel Photographer

16 July 2013   Talkshow in Indonesia Morning Show program of Net TV on life as travel photographer (and travel writer), especially in Central Asia and war zones of [...]

July 16, 2013 // 0 Comments

KabarJagad (2013): Pengembaraan Agustinus Wibowo Tak Pernah Berujung

Senin, 24 Juni 2013 12:57 Reporter Lora Satrapi Gaya Hidup Kabarjagad.com Pengembaraan Agustinus Wibowo Tak Pernah Berujung Semua berawal ketika Agustinus menjadi sukarelawan tsunami di Aceh pada Januari 2005. Di daerah yang luluh lantak akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut, ia justru melihat semangat warga yang kuat untuk bangkit kembali. Agustinus yang saat itu baru lulus dari jurusan Komputer, bertekad banting stir menjadi seorang jurnalis. Tujuannya hanya satu, bisa mengunjungi tempat-tempat yang tak biasa dikunjungi, untuk menyebarkan cerita-cerita inspiratif. Rencananya jelas, ia akan melakukan perjalanan dari Beijing sampai Afrika Selatan lewat jalan darat. Karena tak mendapat restu orang tua, praktis ia membiayai sendiri perjalanannya tersebut. Perjalanan akbarnya dimulai dari Stasiun Kereta Api Beijing, Cina, pada bulan Juli 2005. Dari sana, ia menanjak ke Tibet, menyeberang ke Nepal, India, menembus ke Pakistan, Afghanistan, Iran, lalu masuk ke negeri-negeri Stan di Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Sebagai titik awal perjalanan, Tibet mendapat tempat spesial di hati Agustinus. Saat itu, ia masuk ke negeri atap dunia tersebut dengan cara menyelundup karena tak mengantongi izin masuk yang biayanya sangat tinggi. Satu bulan di Tibet dijalaninya dengan penuh ketakutan. Takut ketahuan sebagai orang asing, takut diciduk polisi, takut dipenjara, dan [...]

June 24, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 16: Semalam di Alichur

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua kesusahan hidup di Tajikistan, yang paling berat adalah transportasi. Langar memang sangat terpencil. Letaknya bukan di jalan utama, sehingga dalam sebulan mungkin hanya ada satu kendaraan saja yang lewat. Saya ingin meneruskan perjalanan ke utara, menuju Pamir Highway yang menghubungkan Tajikistan dengan Kyrgyzstan, negara tujuan saya berikutnya. Tetapi menunggu satu bulan di Langar tentu saja bukan pilihan. Visa Tajikistan, yang saya beli dengan harga 250 dolar di Kabul, hanya memberi saya ijin tinggal satu bulan. Khalifa Yodgor memang orang baik. Tahu kesulitan saya, ia membantu mencarikan saya kendaraan yang akan membawa saya melanjutkan perjalanan. Pemilik mobil yang satu ini memang sudah lama menganggur. Tahu saya ingin ke Alichur, dia langsung mengeluarkan sederetan hitung-hitungan yang membuat kepala saya pening. “Jarak Langar ke Alichur 120 kilometer. Pergi pulang 240 kilometer. Naik turun gunung, 1 liter bensin cuma untuk 3 kilometer. Kamu paling tidak harus memberi 80 liter bensin.” “Bisa bayar tidak pakai uang?” “Terserah kamu, mau bayar pakai bensin atau bayar pakai uang?” Apakah dia menganggap saya sebagai suplier bensin yang selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Atau memang di sini, di mana BBM langka sampai harganya mencekik leher, bensin [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 15: Tajikistan Sudah Kuat

Pembukaan jembatan Afghanistan – Tajikistan. Tilo dan seorang komandan Tajik bernegosiasi dengan para pejabat Afghan di tengah jembatan. (AGUSTINUS WIBOWO) Impian orang-orang desa, baik di Tajikistan sini maupun di Afghanistan sana, tentang sebuah pertemuan kembali, masih berupa impian. Bazaar bersama yang disambut dengan penuh suka cita itu ternyata hanya buka sekali saja. Jembatan kembali disegel, dijaga ketat oleh penjaga perbatasan yang tak kenal kompromi. Tiga bulan lalu, saya mengintip-ngintip Tajikistan dari seberang sana. Bersama dengan para petinggi Afghan yang penuh dengan mimpi dan harapan. Saya melihat secuil Tajikistan: beberapa tentara Tajik yang dengan fasih berbicara bahasa Persia, menandatangani surat-surat dan mengucapkan selamat kepada Shah dari Panjah. Saya datang kembali ke jembatan ini. Kali ini dari sisi Tajikistan, mengintip-intip Afghanistan yang berupa barisan gunung gundul di seberang sana. Tempat ini sepi. Mati. Tentara perbatasan Tajikistan menjaga rapat-rapat pintu gerbang menuju jembatan. Mereka juga perlahan-lahan dibunuh kesepian dan kebosanan. Tentunya tentara-tentara muda ini datang ke sini bukan karena pilihan mereka. Sebagian besar mereka datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang dari kota modern Dushanbe, ada yang dari kota Khojand jauh di utara sana. Mereka datang ke sini karena terpaksa. Anak-anak muda ini sedang menjalani wajib militer. Di Tajikistan semua pemuda wajib mengikuti [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 14: Saudara yang Hilang

Keluarga Yodgor, seorang Khalifa dari Langar, bersama potret pemimpin spiritual Ismaili – Yang Mulia Aga Khan. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga bulan lalu, saya pernah berada di seberang sungai sana [di Afghanistan –red], bersama rombongan orang-orang penting dari Afghanistan. Ada Shah (raja) dari Panjah, petinggi kecamatan Khandud, dan para tentara perbatasan. Saya menyaksikan sendiri peresmian jembatan internasional yang menghubungkan desa Ghoz Khan di Afghanistan dengan desa Langar di Tajikistan. Jembatan kayu tua, tak lebih dari lima meter lebarnya, mengantarkan segala harapan dan impian orang-orang di Afghanistan sana akan sebuah kehidupan yang jauh lebih baik yang ditawarkan oleh Tajikistan. Kini, setelah menempuh perjalanan ribuan kilometer memutar, saya sampai di ujung lain jembatan ini. Bersama Mulloev Yodgor Dildorovich, khalifa atau pemuka agama Ismaili dari desa Langar, dikerumuni tentara-tentara perbatasan Tajikistan, saya menatap lagi jembatan kayu ini. Perbatasan ini disegel rapat-rapat. Tak ada orang yang boleh melintas. Di seberang sana nampak barisan bukit gundul Afghanistan. Entah harapan apa yang disodorkan oleh negeri seberang sungai sana. Yodgor, khalifah sekaligus guru sekolah dasar, termasuk salah satu dari ratusan orang yang terkesima oleh pembukaan perbatasan itu tiga bulan lalu, pada tanggal 1 Agustus 2006. Pada hari itu, bazaar atau pasar internasional pertama dengan Afghanistan di desa Langar pertama [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 12: Eid Mubarak

Di dalam Rumah Pamiri (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan dua jam dengan angkutan umum membawa saya ke desa Tughoz, tak jauh dari Ishkashim. Perjalanan ini menyusuri tepian Sungai Amu, perbatasan dengan Afghanistan. Seiris Afghanistan yang berada di seberang sana adalah Lembah Wakhan yang damai dan tenang. Pedesaan yang tidak pernah tersentuh hingar bingarnya perang dan pertumpahan darah di seluruh negeri. Gunung-gunung berbungkus salju seakan tidak berhenti sambung-menyambung. Desa-desa hijau di kaki gunung berhadap-hadapan dengan desa-desanya Tajikistan seperti bayangan cermin. Tetapi refleksi kehidupan yang di seberang sana, hidup dalam zamannya sendiri. Jalan beraspal dari Ishkashim memang sangat nyaman dilewati dengan mobil. Saya teringat, tiga bulan yang lalu ketika saya berada di seberang sungai sana, di Afghanistan, perjalanan dengan jarak seperti ini harus ditempuh sehari penuh. Berkali-kali mobil yang saya tumpangi tersangkut aliran sungai, karena jalan berdebu tak beraspal seringkali diterjang banjir lelehan salju di puncak gunung. Naik mobil di sana hanya satu setrip saja lebih cepat daripada naik keledai. Di Tajikistan sini, orang tidak perlu bersusah payah naik keledai untuk menempuh perjalanan seperti ini. Mobil tersedia. Yang tidak ada cuma uang dan bensin. Tuloyev Aliboy Jumakhanovich, 33 tahun, misalnya. Dia dulunya adalah supir, tetapi sekarang jadi penumpang yang duduk di samping saya. Dia [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 11: Sarandip=Indonesia?

Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!” kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas. “Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher. Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher. Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 10: Selamat Datang di Rumah Pamiri

Seorang bocah Tajik di Istaravshan di dalam musholla. (AGUSTINUS WIBOWO) Muhammad Bodurbekov, penumpang satu mobil dari Khorog, membawa saya ke rumahnya di Ishkashim. Rumah Muhammad adalah rumah tradisional Pamiri, dalam bahasa setempat disebut Chid. Karakteristik utamanya adalah adanya lima pilar penyangga ruangan, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Bibi Fatima, Hassan dan Hussain. Angka lima melambangkan jumlah rukun Islam. Bentuk rumah seperti ini sama dengan rumah-rumah orang Ismaili di Pakistan Utara dan Afghanistan. Rumah adat Pamir sebenarnya sudah ada jauh sebelum datangnya Islam. Simbol-simbol Islam menggantikan simbol-simbol agama kuno Zoroastrian (Zardusht), di mana kelima pilar melambangkan dewa-dewa Surush, Mehr, Anahita, Zamyod, dan Ozar. Karakter lain rumah tradisional Pamir adalah adanya lubang jendela di atap, tempat menyeruaknya sinar matahari menyinari seluruh penjuru ruangan. Jendela ini bersudut empat, melambangkan empat elemen dasar: api, udara, bumi, dan air. Dibandingkan rumah-rumah orang Tajik Ismaili di Pakistan dan Afghanistan, memang rumah di Tajikistan ini jauh lebih modern. Lubang di tengah ruangan sudah tidak lagi digunakan untuk memasak, tetapi lebih sebagai dekorasi saja. Dindingnya dicat rapi, dihiasi dengan karpet-karpet indah, poster, dan foto keluarga. Lantainya dari kayu, dipelitur mengkilap. Di setiap ruangan selalu dipasang foto Aga Khan, pemimpin spiritual Ismaili yang didewakan sebagai penyelamat hidup di GBAO. Ada [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 9: Mengintip Afghanistan

Afghanistan, di seberang sungai, terlihat dari Tajikistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menumpang sebuah jeep kecil dari Khorog menuju Ishkashim, melalui jalan beraspal di tepian sungai Amu Darya. Jaraknya cuma 106 kilometer, tetapi karcisnya 20 Somoni (6 dollar). Itu pun harus menunggu berjam-jam di terminal karena tidak ada penumpang. Di negara ini, orang hampir-hampir tidak punya uang sama sekali, tetapi harga-harga sangat mahal. Sepanjang jalan, di seberang sungai di sebelah kanan sana, adalah propinsi Badakhshan Afghanistan. Sungainya sendiri, di bulan Oktober yang sudah mulai dingin ini, menjelma jadi sungai kecil yang hanya sekitar 20 meter saja lebarnya. Tetapi bagaimana pun kecilnya, ini adalah pemisah dua dunia. Ketika kami menyusuri jalan beraspal mulus dalam sebuah jeep Rusia tua, di seberang sungai sana yang nampak hanya jalan setapak di punggung-punggung gunung. Saya melihat beberapa pria berjubah dan bersurban duduk dengan nyaman di atas keledai. Sesosok tubuh wanita dibungkus rapat-rapat dengan burqa putih, menunggang keledai dengan pasrah mengikuti sang suami. Sedangkan di sini penumpang jeep duduk bersebelah-sebelahan, tak peduli pria wanita, bersenda gurau sepanjang jalan dan bernyanyi-nyanyi. Di sini, di sepanjang jalan saya melihat tiang listrik berbaris, sambung-menyambung. Di seberang sana, tak ada apa-apa lagi selain debu dan rumput yang mulai menguning. Afghanistan nampak gamblang [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 6: Menembus Gunung-gunung

Bocah-bocah menawarkan buah-buahan pegunungan kepada kendaraan yang melintas. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara tempat yang paling terpukul di Tajikistan setelah perang saudara ketika negeri mungil ini baru berdiri, adalah provinsi GBAO, singkatan Gorny Badakhshan Avtomnaya Oblast, Provinsi Otonomi Pegunungan Badakhshan. Dalam bahasa Tajik disebut Viloyati Mukhtori Kuhistoni Badakhshan. Propinsi ini ikut memberontak terhadap Dushanbe dan menyatakan memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Dushanbe segera mengisolasi semua jalan menuju GBAO, menyebabkan kelaparan dan kemeleratan di mana-mana. Sebenarnya, tanpa isolasi dari pemerintah Tajikistan sendiri pun, GBAO sudah menjadi salah satu tempat paling terpencil di dunia. Gunung-gunung raksasa berselimut salju dari barisan Pegunungan Pamir sudah mengurung rapat-rapat tempat ini. Gunung-gunung itulah yang menyebabkan susahnya transportasi. Dari Dushanbe ke Khorog, ibukota GBAO, jaraknya 560 kilometer, ditempuh dalam waktu sekitar 20 jam dengan jeep yang tangguh. Biayanya 100 Somoni atau 30 dollar, sudah di atas gaji rata-rata bulanan orang Tajikistan. Karena harga minyak yang sangat mahal, orang Tajikistan juga harus selalu memutar otak untuk menekan pengeluaran. Mobil pribadi pun bisa berubah menjadi angkutan umum. Saya ikut menumpang dalam sebuah jeep yang dimiliki oleh satu keluarga, terdiri dari seorang ibu tua dan tiga anaknya. Jeep ini bisa muat enam orang, jadi keluarga itu sibuk menyeret dua orang penumpang [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 3: Dushanbe, di Bawah Kemilau Somoni

Patung Somoni di Dushanbe (AGUSTINUS WIBOWO) Dushanbe, dalam bahasa Tajik berarti hari Senin. Dinamai demikian karena dulunya di kota ini, yang seratus tahun lalu masih berupa desa mungil, ada pasar mingguan setiap hari Senin. Untuk menghindari kerancuan, orang Tajik menambahkan kata ruz, artinya hari, di depan kata dushanbe, jadi ruzi dushanbe, untuk menyebut hari Senin. Dushanbe menjadi ibu kota Tajikistan ketika negara bagian ini dibentuk pada tahun 1929, dipisahkan dari Uzbekistan. Kishlak, desa kecil itu, kini berubah menjadi kota yang rapi. Suasana Dushanbe hari ini masih sangat lekat dengan masa lalunya sebagai bagian dari kejayaan Uni Soviet. Jalan utama kota ini hanya satu, Jalan Rudaki, diambil dari nama pujangga Persia yang lahir di Penjikent, sekarang menjadi bagian wilayah Tajikistan. Jalan Rudaki panjang dan teduh. Bagian tengah jalan ini adalah taman tempat orang berjalan-jalan, duduk, dan membaca. Gedung-gedungnya semua berbentuk sama, balok kotak-kotak berwarna jingga. Sebuah keseragaman dan kesamarasaan yang dibawa oleh Uni Soviet, mengharmonikan detak jantung dan denyut nadi orang-orang pegunungan ini dengan para pemimpin merah di Moskwa sana. Jalan-jalan di sini nyaman sekali. Tidak banyak mobil lalu lalang. Orang pun tidak ramai seperti di Kabul sana. Semua berpakaian rapi dan trendy. Dibanding Afghanistan, kehidupan di Tajikistan seperti langit dan [...]

June 5, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 2: Selamat Datang di Tajikistan

Perempuan Tajikistan di dalam bus, bebas bercampur dengan penumpang pria. Sebuah kontras dibandingkan Afghanistan di seberang sungai yang sangat konservatif (AGUSTINUS WIBOWO) Kota terakhir Afghanistan adalah Shir Khan Bandar, di tepian sungai lebar bernama Amu Darya. Sungai ini ditetapkan sebagai batas antara Afghanistan dengan Kekaisaran Rusia pada akhir abad ke-19. Sekarang menjadi batas negara Afghanistan dengan Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Bandar dalam bahasa Persia artinya pelabuhan. Tetapi jangan bayangkan Shir Khan Bandar sebagai kota pelabuhan yang sibuk dengan berbagai macam aktivitas perdagangan. Yang ada hanya gedung-gedung bolong seperti rumah hantu. Gedung itu ternyata asrama tentara perbatasan Afghanistan. Debu menyelimuti jalanan. Ada barisan reruntuhan sejumlah rumah di tengah padang pasir luas. Ada sekolah yang tak berdaun pintu, tak berkaca jendela, dan tak beratap. Anak-anak belajar dengan bersila di atas lantai dingin. Di Afghanistan dunia adalah milik laki-laki. Sama sekali tak nampak perempuan di jalan, kecuali dua sosok tubuh dibalut burqa biru, dari ujung mata sampai ujung kaki. Saya menghela napas lega. Di seberang sana Tajikistan sudah tampak di pelupuk mata. Di tengah bulan Ramadan ini, keamanan di Kabul justru semakin gawat. Bulan Ramadan malah jadi musim bom, karena Taliban mendorong pengikutnya untuk ‘berjihad’ di bulan suci. Pernah suatu kali bom meledak [...]

June 5, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 1 : Visa oh Visa

Tajikistan, negeri eksotis di pelosok Asia Tengah, menjanjikan petualangan yang menantang.(AGUSTINUS WIBOWO) Tajikistan, negeri eksotis di pelosok Asia Tengah, menjanjikan petualangan yang menantang.(AGUSTINUS WIBOWO) Empat bulan sudah saya mengarungi Afghanistan, hidup dalam kegelapgulitaan negeri yang masih babak belur dihajar perang berkepanjangan, melintasi gunung-gunung pasir dan padang berdebu, mencicip teh hangat di pagi hari bersama pria-pria bersurban, dan wajah perempuan hampir sama sekali lenyap dalam benak saya. Empat bulan yang penuh petualangan, impian, penderitaan, dan kebahagiaan. Sudah tiba saatnya untuk meneruskan perjalanan ke bagian lain dunia ini, ke negeri-negeri tersembunyi di pedalaman Asia Tengah. Ada Tajikistan, negaranya orang Tajik. Kyrgyzstan, negaranya orang Kirghiz. Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, masing-masing punyanya orang Kazakh, Uzbek, dan Turkmen. Semua ‘stan’ ini satu per satu bermunculan di atas peta dunia tahun 1991, mengiring buyarnya adikuasa Uni Soviet. Semuanya adalah negara yang tersembunyi di tengah benua raksasa Eurasia, terkunci bumi, jauh dari lautan mana pun. Misterius, unik, eksotik. Sebagai bekas Uni Soviet yang terkenal dengan bengisnya birokrasi, visa untuk masuk ke negara-negara itu tidak mudah. Apalagi untuk paspor Indonesia. Tajikistan adalah pintu masuk paling gampang bagi orang Indonesia, karena negara ini sudah memberlakukan visa on arrival untuk kedatangan dengan pesawat terbang. Tetapi, karena [...]

June 5, 2013 // 7 Comments

DetikTravel (2013): Wanita Pushtun

Sebelum Bertemu Cewek Pushtun, Ikuti 4 Tips Ini •    Oleh: Putri Rizqi Hernasari – detikTravel •    Jumat, 24/05/2013 18:52 WIB •    Komentar: 2 Komentar Peshawar – Traveler mana yang tak ingin melihat kecantikan gadis Pushtun dengan mata besar dan hidung mancungnya secara langsung? Jika Anda ingin melihatnya, sebaiknya ikuti dulu tips dari penulis buku Garis Batas, Agustinus Wibowo. Agustinus Wibowo dikenal sebagai penulis yang telah menjelajah ke berbagai negara di dunia. Kisahnya diceritakan lewat buku berjudul Selimut Debu, Garis Batas, dan yang terakhir Titik Nol. Dalam salah satu bukunya, Agus menceritakan tentang petualangannya ke tempat tinggal Suku Pushtun. detikTravel pun sempat berbincang singkat dengannya perihal perjalanannya. Dalam perbincangan Jumat (24/5/2013), pria asal Lumajang ini memberikan tips kepada traveler yang ingin traveling dan bertemu gadis Pushtun: 1. Hindari daerah konflik “Daerah yang dihuni Pushtun terkenal sebagai daerah konflik. Afghanistan sangat tidak direkomendasikan untuk didatangi,” ujar Agus. Afghanistan memang salah satu tempat yang dihuni Suku Pushtun, namun Agus tidak menyarankan turis untuk datang ke sana. Negara tersebut dikenal sebagai negara konflik, jadi demi keamanan, Anda sebaiknya menghindari Afghanistan. Hal ini dilakukan demi keamanan turis. Anda tentu tidak ingin membahayakan diri dengan datang ke daerah perang bukan? 2. Bertemu Suku Pushtun di Peshawar [...]

May 24, 2013 // 0 Comments

Surabaya Highlight (2013): How Much Are You Willing to Let Go?

19 April 2013 Surabaya Highlight   http://surabayahighlight.com/highlights-of-the-week/newcomers-in-town/third-cultured/how-much-are-you-willing-to-let-go How Much Are You Willing to Let Go? Surabaya – “There’s no end to traveling, it is all about how well we understand places that we have visited,” an afternoon talk during lunch with Agustinus Wibowo is such an eye opener for lucky Surabaya Highlight. Agustinus Wibowo is a travel writer and freelance journalist that was born and raised in Lumajang, East Java. In his short visit to Surabaya, he agreed to meet us and share his inspiring life to Surabaya Highlight’s readers. Coming from a small town of Lumajang, Agus had a dream to someday see the world outside his hometown. “Children would run around screaming to a plane passing by. I always watch Dunia Dalam Berita, because that was the only chance I had to see the world since there was no internet or other programs,” his vivid explanation made us picturing how it was back then when Agus was a child. Such limitation did not conquer his passion on the outside world because at his fifth grade of elementary school, he started exchanging letters to pen pal around the world. Amazingly, in his early age he made friends with 70 [...]

April 19, 2013 // 0 Comments

Traveler【旅行家】(2012):视觉

马背叼羊是阿富汗的国民运动,也深受中亚国家如乌兹别克斯坦、塔吉克斯坦、吉尔吉斯斯坦、哈萨克斯坦、土库曼斯坦的欢迎,多在冬季举行。这种运动类似于马球,但使用的球是无头的牲畜尸体。最大的国家级马背叼羊比赛是在阿富汗的马扎举行的。新年22日这天,标志着冬天的结束,春天的开始。比赛时,骑手通常身穿厚衣服、佩戴头套、脚踏靴子、手持皮鞭。靴子通常带有高跟,紧锁入与马鞍连接的脚踏处,这样有助于骑手倾斜到一侧拾取小牛。马背叼羊运动显示了阿富汗精神:勇气、骄傲、虔诚、公平竞争、力量、耐力、阳刚之气等。人们认为一个好的马背叼羊球员宁愿勇敢地死去,也不懦弱地活着。

January 13, 2012 // 0 Comments

1 13 14 15 16 17 23