Recommended

birokrasi

Titik Nol 2: Mimpi Buruk

Bus ranjang susun Tibetan Antelope, satu-satunya perusahaan bus umum yang menuju ke Tibet dari Kargilik. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimanakah rasanya menyelundup? Keindahan bintang pun tak bisa meneduhkan hati. Dalam tidur malam digoncang-goncang bus yang melintas jalan berbatu pun, yang selalu muncul adalah wajah garang polisi. “Pemeriksaan tadi sangat ketat,” kata Deng Hui, penumpang China yang duduk di depanku. Deng Hui sudah berumur 37 tahun, tetapi hasrat berpetualangnya masih menggebu. Sudah berkali-kali ia masuk Tibet, dan sekarang ia sedang dalam misi menuju Nepal. Bus datang sekitar satu jam setengah setelah saya diturunkan dari taksi. “Tadi polisi benar-benar memeriksa semua orang, mencari apakah ada orang Uyghur di antara penumpang. Katanya ada buronan Uyghur yang mencoba melarikan diri dari Xinjiang menuju Tibet.” Pos pemeriksaan kedua adalah pos tentara. Semua penumpang turun, menunjukkan dokumen. Orang asing hanya menunjukkan sampul paspor, langsung dibolehkan lewat. Perjalanan bus ini seperti penginapan berjalan. Di tengah malam, kami berbaring di kasur kami masing-masing. Lebarnya cuma setengah meter, panjangnya 1.25 meter. Sepanjang malam lutut harus ditekuk. Bau tak sedap, campuran antara bau badan, kaki, sepatu, telur, asinan, memenuhi bus ini. Penumpang tak boleh berjalan di dalam bus beralas sepatu. Setiap naik bus, sepatu harus langsung dimasukkan tas kresek dan digantung di [...]

May 2, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 1: Kilometer Nol

Etnis Muslim Uyghur di Kargilik, kota terakhir propinsi Xinjiang Uyghur sebelum memasuki Tibet (AGUSTINUS WIBOWO) Dari titik nol inilah petualangan saya dimulai. Dari sinilah langkah awal perjalanan panjang menembus atap dunia, melintas barisan gunung dan padang, memuaskan mimpi untuk menemukan berbagai kisah tersembunyi di ujung dunia. “Orang Asing Dilarang Melintas Jalan Ini Menuju Ali Tanpa Izin,” demikian tertulis pada sebuah papan besar di Kilometer Nol di ujung kota Kargilik. Papan itu bergambar sepasang polisi laki-laki dan perempuan dalam sikap hormat. Pesan polisi itu ditulis dalam bahasa Inggris, Mandarin, dan Uyghur. Jantung saya berdegup kencang. Saya akan memulai perjalanan ilegal menuju tanah Tibet. Daerah Otonomi Tibet adalah daerah spesial di Republik Rakyat China. Orang asing yang masuk ke daerah ini harus punya izin khusus. Ada berbagai macam permit yang harus dipegang – Tibet Travel Permit (TTB), izin polisi (PSB – Public Security Bureau – Permit), izin militer (military permit). Segala macam birokrasi itu ujung-ujungnya duit. Tibet juga terlarang bagi jurnalis asing dan diplomat kecuali setelah menempuh proses yang panjang dan berbelit-belit. Buat ukuran kantong saya yang sangat tipis, permit-permit itu bukan pilihan. Saya juga tak berkehendak menghabiskan ratusan Yuan untuk mengurus kertas-kertas yang tak jelas ke mana juntrungannya. Tekad saya sudah [...]

May 1, 2014 // 8 Comments

Selimut Debu 83: Pakaian

Gerbang perbatasan ini memisahkan kehidupan sampai seratus tahun. Tidak peduli dari negara mana pun, bepergian menuju atau dari Afghanistan sama seperti melewati mesin waktu. Kendaraan mobil Iran ini melaju menuju Mashhad di atas jalan beraspal mulus. Tak ada lagi penderitaan gurun berdebu dan menelan pasir sepanjang hari. Tak ada lagi keledai dan barisan domba yang bersaing ruas jalan dengan mobil dan motor. Tak ada lagi perempuan anonim di balik burqa. Tak ada jubah, serban, gubuk reyot, ranjau darat, bom, perang, dan kelaparan. Iran adalah negara modern. Toko-toko berjajar rapi. Makanan yang populer di sini adalah burger dan sandwich, dijual dengan minuman bersoda produksi dalam negeri. Blokade ekonomi menyebabkan negeri ini mandiri, hampir semua barang adalah produksi dalam negeri. Mobil kuno Paykan melaju di jalan, menyemburkan asap hitam. Terminal bus Mashhad adalah bangunan besar yang bersih, dengan berbagai perusahaan angkutan yang kantornya sudah setara dengan biro travel maskapai udara di Indonesia. Karcis bus dicetak rapi dengan komputer, dengan kertas dan penampilan mirip tiket pesawat, padahal harganya teramat murah—60.000 Rial (saat ini setara dengan Rp 60.000) untuk perjalanan seribu kilometer sampai ke Teheran. Bus berjajar rapi menunggu jam keberangkatan. Tak ada tanah yang lengket karena oli bocor atau sampah bertebaran. Semua begitu [...]

February 19, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 82: Beringas

Eksodus. Orang-orang Afghan ini seperti kesetanan, begitu buru-buru hendak meninggalkan negerinya sendiri, menuju Iran di balik gerbang sana. Aku tercekat melihat barisan panjang ini. Barisan pria-pria berjubah shalwar qamiz menenteng barang bawaan berkarung-karung. Mereka marah, berteriak penuh emosi, seakan semakin keras berteriak dan semakin garang kepalan tangannya akan semakin cepat mereka sampai ke pos pemeriksaan paspor. Aku melangkah gontai masuk ke barisan. Melihat bahwa panjang barisan ini sudah lima puluh meter dan nyaris tak bergerak maju, entah sampai kapan kami akan menginjakkan kaki di Iran. Matahari panas menyengat. Keringat mengucur deras. Orang-orang mengomel karena tidak efisiennya pos imigrasi Afghan. Sebenarnya kalau bukan karena lusinan polisi Afghan berseragam hijau abu-abu yang berkeliling dengan pentungan, pasti sudah sejak tadi para pelintas batas ini akan menyerbu loket imigrasi dengan beringas. Tiba-tiba ada tangan besar mencengkeramku keluar dari barisan. ”Khareji! Orang asing!” Polisi menggeretku ke arah polisi yang menjaga pintu kantor imigrasi. Sebagai orang asing, ternyata ada fasilitas yang boleh kunikmati dan harus kusyukuri: aku bisa langsung memotong antrean panjang warga Afghan. Untuk menyeberang ke Iran, warga Afghan harus melewati banyak pemeriksaan. Barang mereka digeledah dengan teliti. Opium termasuk komoditi yang sering diselundupkan lewat perbatasan ini. Tak heran, dengan lebih dari seribu orang pelintas [...]

February 18, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 81: Visa Iran

Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia, dan dari Herat sini kedutaan Indonesia yang paling dekat adalah di Teheran. Aku sungguh ingin melewatkan Agustusan tahun ini dengan teman-teman sebangsa. Mungkin karena hidup terlalu lama di jalan membuat rasa kebangsaanku sekarang jadi menggebu-gebu. Teheran terletak di Iran. Itu sudah negara lain. Menurut informasi terbaru, Iran sudah memberikan fasilitas bebas visa untuk WNI yang berkunjung kurang dari dua minggu. Tapi kedutaan dan konsulat Iran memberikan informasi yang saling berlawanan tentang hal ini. Konsulat Iran di Peshawar, Pakistan mengatakan bahwa fasilitas bebas visa berlaku untuk semua perbatasan darat. Sedangkan kedutaan di Tashkent juga setuju, namun katanya cuma untuk satu minggu. Sedangkan kedutaan Iran di Jakarta tidak pasti tentang perbatasan darat dan menganjurkan aku untuk terbang ke Iran. Sedangkan kedutaan Iran di Kabul mengatakan aku memerlukan visa untuk berkunjung ke Iran dalam keadaan apa pun. Semakin bertanya, justru aku semakin pusing. Konsulat Iran di Herat sudah penuh dengan ratusan pemohon visa yang berbaris mengular sampai 200 meter, bahkan pada pukul 8 ketika aku datang. Katanya orang Afghan sudah mulai mengantre sejak pukul 4, padahal konsulat baru buka pukul 7. Sepertinya tidak ada kesempatan untukku jika aku mengantre sekarang. Bisa sampai di Teheran besok? Lupakan saja! Untunglah [...]

February 17, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 74: Everything is Wrong in Afghanistan

Yang membuat aku lebih marah lagi adalah, ternyata aku sendirian di tengah kerumunan orang-orang pasar ini. Tidak ada yang menolongku berbicara. Si orang Tajikistan yang tadi bersamaku sudah kabur entah ke mana, mungkin mengira aku adalah orang yang penuh masalah. Kemarahanku yang lebih besar adalah, sesungguhnya ada beberapa orang asing di pasar ini. Ada Arnault, ada aku, ada pula si orang Tajikistan, juga kalau tidak salah ada orang India. Tapi mengapa hanya aku satu-satunya yang dikerumuni orang, diperiksa pasporku dengan tidak profesional dan tanpa tujuan? Dan gara-gara pemeriksaan tadi, aku ketinggalan kendaraan menuju Faizabad (Aku tidak mau menginap di Baharak, terima kasih!). Sekarang aku harus mencari lagi kendaraan yang sudah penuh penumpang. Aku sudah tidak tahu semarah apa aku jadinya, ketika tiba-tiba sebuah tangan keras mencengkeram pundakku. Tangan dari seorang lelaki berseragam yang lebih mirip seragam satpam. Aku harus ke kantor, katanya. Tentu aku menolak. Aku hanyalah turis yang menunggu bus, dan sekarang aku menjadi pusat perhatian begitu banyak orang-orang bosan di jalanan, dan menjadi objek permainan para polisi yang sebenarnya tidak mengerti apa itu paspor dan apa tulisan di atas paspor asing. Seorang lelaki berbahasa Urdu berbisik di telingaku. “Menurut sajalah. Tenang, ikuti kata mereka. Koi zabardasti nehi. Tidak [...]

February 6, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 73: Hadiah Ulang Tahun

Setelah perjuangan panjang dari Qala Panjah menuju Ishkashim (yang di luar dugaan, memakan waktu sampai tiga hari karena parahnya transportasi!), aku berjuang untuk melanjutkan perjalanan ke arah barat, moga-moga bisa mencapai Kedutaan Indonesia di Teheran untuk merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. (Nasionalisme? Mungkin ini gara-gara perbincangan dengan Arnault sebelumnya). Lagi pula, hari ini 8 Agustus adalah hari ulang tahunku yang ke-25. Semoga saja hari ulang tahun ini melimpahiku dengan keberuntungan. Amin. Jadi hari ini, kami berdua berangkat menuju Baharak, di mana aku bisa mendapat kendaraan menuju Faizabad, dan Arnault berbelok ke utara ke arah Danau Shewa. Orang Afghan ini punya konsep waktu yang aneh. Ketika kami masih sarapan jam 6 pagi, sopir memburu-buru kami katanya mobil segera berangkat. Tetapi setelah kami duduk manis di mobil, satu jam kemudian mesin baru dinyalakan dan dua jam kemudian kami baru meninggalkan Ishkashim. Matahari sudah sangat tinggi sedangkan perjalanan ke Baharak memakan waktu minimal tujuh jam. Sekarang semua berbalik arah. Dulu waktu berangkat dari Baharak ke Ishkashim, Baharak terasa seperti kota pasar yang membosankan tapi jalanannya teramat indah. Sekarang, sepulang dari Wakhan, jalanan bergunung-gunung ke Baharak terasa sangat datar, tetapi Baharak dengan barisan toko-tokonya terasa seperti metropolitan New York. Warung-warung, kios, pedagang asongan, penyemir [...]

February 5, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 47: Surat Apa?

Untuk memahami masa lalu peradaban Afghanistan yang gemilang, aku pergi ke Ghazni. Ghazni adalah ibukota provinsi dengan nama yang sama, terletak di utara Provinsi Zabul pada jalan raya Lintas Selatan Afghanistan yang menghubungkan Kabul dengan Kandahar. Udara di Ghazni cukup sejuk, apalagi jika dibandingkan dengan Kandahar. Ini karena Ghazni terletak pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Saat ini Ghazni termasuk daerah yang cukup rawan di Afghanistan, karena serangan Taliban cukup sering terjadi di berbagai wilayah provinsi. Tetapi semua orang meyakinkanku, kota Ghazni sendiri cukup aman untuk dikunjungi. Shehr Ahmad Haider adalah wartawan Pajhwok yang meliput daerah ini. Kantornya adalah ruangan mungil berukuran 3 x 5 meter di sebuah hotel dekat terminal bus menuju Kandahar. Ada dua komputer di ruang kerjanya, dan alat utamanya untuk mendapatkan berita adalah dua telepon genggam dan sebuah telepon rumah. Haider belum pernah bertemu Taliban, walaupun wilayah kerjanya ini sangat berkaitan dengan aktivitas Taliban. Semua wawancara dilakukan per telepon. Tapi dia tidak menganggur. Kenyataannya, dia bisa membuat minimal 5 artikel berita setiap hari, dan harus sibuk bolak-balik memutar nomor telepon dan mondar-mandir ke warung internet (hanya ada satu-satunya di kota ini, dan mematok harga yang cantik, Af 70 atau US$1.40 per jam). Teman dekat [...]

December 31, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 40: Afghan Tourism

Pariwisata ala Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Nama “Afghanistan” dan kata “turisme” sepertinya memang bukan pasangan serasi. Yang satu tentang kemelut perang, yang satu tentang piknik suka-suka. Tapi toh kedua kata itu bertemu di papan gedung tua Afghan Tourism Office (ATO) di pinggiran rongsokan bangkai pesawat di jalan menuju bandara (peringatan seram buat siapa pun yang mau terbang dari bandara ini!). Hasilnya adalah sebuah pengalaman turisme yang khas Afghanistan. Hari kedua mengurus surat di Kementerian Informasi dan Kebudayaan ternyata berlangsung mulus-lus. Wakil Menteri kebetulan ada di kantornya. Dia mewawancaraiku, menanyakan tentang apa yang kulakukan di Kabul, di mana aku tinggal, kemudian menandatangani suratku, dan memintaku pergi langsung ke kantor ATO. Masalahnya, tidak banyak sopir taksi yang sungguh tahu di mana itu kantor dinas pariwisata negeri Afghan. “Memangnya ada kantor seperti itu?” beberapa dari mereka bertanya. “Turis atau teroris?” tanya yang lain. Kedua kata serapan bahasa asing ini memang masih sulit diucapkan oleh lidah Afghan, tapi memang bisa saja turis menyambi jadi teroris, atau teroris menyamar jadi turis. Aku memilih naik kendaraan umum, yang harganya cukup murah, 10 afghani. Bus berhenti tepat di bandara, yang ternyata masih cukup jauh dari kantor ATO. Kantor yang dimaksud adalah bangunan tua, suram, gelap tanpa lampu, bolong-bolong [...]

December 20, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 39: Impian Menuju Wakhan

Awal perjalanan menuju Koridor Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO) Live must go on. Perjalanan ini harus dilanjutkan, terlepas dari insiden hilangnya duitku di Bamiyan yang telah cukup untuk memperlambat langkahku dan membuatku membatalkan semua rencana yang pernah kubuat. Berkat membaca buku yang dipinjami Maulana di KBRI, aku jadi ingin menjelajahi Afghanistan, sampai ke sudut-sudut terjauhnya, terutama “lidah panjang” yang menjulur di sudut timur laut Afghanistan, yang memisahkan Pakistan dari Tajikistan. Koridor Wakhan masih merupakan daerah yang liar, tidak tereksplorasi, daerah terpencil di negeri terpencil Afghanistan. Daerah ini juga sensitif, menjadi batas banyak negara. Koridor Wakhan juga terisolasi total dari dunia luar di musim dingin (bahkan di awal musim semi dan akhir musim gugur) karena kondisi alamnya yang ganas, dan bahkan kelihatannya terkunci waktu, terlupakan sejarah. Mungkin udara yang ada di sana masih sama dengan udara ratusan tahun lalu. Tidak ada listrik, bahkan tidak ada generator dan baterai. Apalah artinya listrik bagi kaum penggembala nomaden Mongoloid yang mendiami padang Asia Tengah di abad ke-13? Realita itu masih tetap sama di Koridor Wakhan, hingga hari ini. Aku sudah mengumpulkan sejumlah informasi dari internet mengenai cara pergi ke sana. Pertama-tama yang kubutuhkan adalah selembar surat izin, yang diberikan oleh pejabat di Ishkashim, kota terdekat dari [...]

December 19, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 19: Beda Negara Beda Nasib

Birokrasi di negeri yang hancur lebur juga membuat kami hancur lebur. (AGUSTINUS WIBOWO) Pergilah ke jalanmu. Go your way adalah kalimat khas yang diucapkan diplomat Pakistan. Seperti doanya, sekarang aku benar-benar go my way, kembali ke Kedutaan Pakistan demi selembar visa. Membaca kekhawatiranku mengenai visa Pakistan, Pak Kasim dari Kedutaan Indonesia berusaha menenangkan. “Jangan khawatir,” ujarnya, “kita akan berusaha yang terbaik.” Aku diajaknya melintasi gedung kedutaan yang begitu luas dan berlantai marmer (mirip museum barang-barang ukiran dan lukisan tradisional Indonesia) dan sudah beberapa kali direnovasi berkat terjangan roket dan peluru nyasar, melongok sebentar ke lapangan tenis dan kebun buah, lalu ke halaman belakang tempat jajaran empat mobil diparkir, lalu mempersilakan aku duduk di bangku depan salah satu mobil, sementara dia menyetir melintasi jalanan panas dan berdebu kota Kabul. Aku yang sejam lalu bahkan tidak tahu harus ke mana, kini sudah duduk di bangku paling terhormat di mobil kedutaan. Pak Kasim, lelaki Indonesia yang baru kutemui hari ini, begitu penuh semangat membantu hanya karena kami adalah saudara sebangsa. Benar saja, kedutaan Pakistan sudah tutup. Tetapi dengan identitas Pak Kasim, para bodyguard penjaga gerbang memberikan kami jalan, langsung meluncur ke kantor visa. Lelaki tinggi berkumis yang sama masih ada di ruang itu. [...]

November 21, 2013 // 6 Comments

Selimut Debu 18: Setumpuk Masalah

Meninggalkan Kabul, menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Ya, ini memang mimpi. Dan sudah saatnya sekarang aku bangun dari mimpi. Liburan musim panas yang cuma enam minggu ini terlalu singkat, sama sekali tidak cukup untukku mengenal negeri Afghan. Masih begitu banyak pertanyaan tak terjawab, misteri tak tersingkap, kerinduan terpendam. Tapi, setiap perjalanan harus ada akhirnya. Sering kali, akhir yang tidak diundang justru membuat rasa kita semakin dalam. Saat kami kembali ke Kabul, tujuan pertama yang kami datangi adalah kedutaan Pakistan. Aku harus melewati Pakistan untuk kembali ke China, sedangkan Adam meninggalkan ranselnya di penginapan di Peshawar karena enggan membawa terlalu banyak barang ke Afghanistan. Masalahnya, kami berdua sama-sama tidak punya visa ke Pakistan. Kesalahan utama kami adalah, menganggap visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih ditulis tangan dengan lem yang mudah copot itu semudah dan sesimpel kualitas kertasnya. Lelaki berkumis, langsing dan tinggi, menyambut kami di sebuah kantor sempit di Kedutaan Pakistan yang dikelilingi tembok tebal tak bersahabat. Kami dipersilakan duduk, mengisi formulir, dan menunggunya mewawancara (atau mungkin berbincang?) dengan satu per satu para pemohon visa. Kami para pemohon visa duduk di bangku-bangku yang merapat di tembok ruangan kantor membentuk huruf U. Lelaki itu berdiri di tengah, lalu berjalan ke masing-masing bangku, [...]

November 20, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 8: Menembus Lubang Singa

Menerjang masuk ke lubang harimau. Entah apa yang menanti di balik sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap. Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memandangi visa Afghanistan yang tertempel di pasporku. Bagaimana ini bisa jadi nyata? Lebih mustahil lagi, hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itu selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu. Pukul setengah sembilan pagi, aku dan Adam sudah check out dari Peshawar Golden Inn—penginapan yang namanya megah tetapi berupa barisan kamar sempit mirip penjara yang cocok untuk para turis tak berduit seperti kami. Sungguh berat menyiapkan mental menembus gerbang perbatasan yang memisahkan kita dari sebuah dunia lain di sana. Pemilik hotel tersenyum ramah, sembari bertanya, “Sudah siap?” Aku tak bisa menjawab. Dalam hitungan menit, pemilik penginapan sudah membantu kami mencarikan taksi yang akan membawa kami ke perbatasan. Sebagai orang asing, kami tidak diizinkan untuk menggunakan angkutan umum menuju ke Khyber, karena seperti yang selalu dikatakan pemerintah Pakistan, daerah Tribal Area itu ‘teramat sangat berbahaya’. Tawar menawar alot pun sempat terjadi antara supir taksi dan kami, dan akhirnya, “OK! [...]

November 6, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini. Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya. Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging. Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah. Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini [...]

October 25, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO) Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan. “Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.” Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan. Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya. Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan [...]

October 24, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya. “Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung. Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya. “Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar. Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos. Pos terakhir yang paling saya takuti, pos [...]

October 1, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 74: Raja Umat Manusia

Seorang mullah dari Shakhimardan (AGUSTINUS WIBOWO) Gerbang perbatasan terakhir yang harus kami lewati untuk menuju Shakhimardan adalah pintu Uzbekistan. Tiga gerbang perbatasan sebelumnya berlalu dengan mulus, berkat kecerdikan Bakhtiyor aka. Namun tidak yang satu ini. Sardor nampak gelisah. Bibirnya tak berhenti komat-kamit membaca doa. Bakhtiyor aka sudah cukup lama turun dan bernegosiasi dengan tentara perbatasan. Seperti yang Bakhtiyor bilang, peluang kami bisa masuk Shakhimardon cuma fifty-fifty. Tentara muda itu datang mendekati Sardor. Sardor di suruh turun, menunjukkan paspor dan dokumen-dokumennya. Saya hanya disuruh tunggu di mobil seorang diri. Tak lama kemudian Sardor berlari ke arah mobil dengan senyum terkembang. Berita bagus, pastinya.              “Kita boleh masuk, kita boleh masuk….,” dia tertawa riang. “Berapa sogokannya?” “Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, “kamu boleh masuk karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu adalah Muslim, dan kita akan pergi berziarah. Tetapi kita hanya punya waktu 45 menit. Tak lebih.” Empat puluh lima menit lagi akan ada pertukaran tentara perbatasan. Kami harus keluar dari Shakhimardan sebelum tentara muda yang berbaik hati ini berganti giliran. Kalau sampai kami terlambat dan tentara lain yang menjaga perbatasan, maka kami tidak akan bisa keluar dari Shakhimardan dengan selamat. Sardor menyebut-nyebut ziarah. Nama Shakhimardan dalam bahasa Tajik [...]

September 25, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 73: Menyelundup

Qadamjoy dan semangat Kirghizia-nya (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia antah berantah ini bertaburan kampung-kampung terpencil yang dikelilingi negara-negara asing. Shakhimardan, tempat yang paling ingin saya kunjungi di Asia Tengah, adalah sebuah lembah tersembunyi milik Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung tinggi Pamir Alay milik Kyrgyzstan. Tetapi bagaimana caranya ke sana? Saya harus melewati pintu-pintu gerbang perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan, tanpa visa apa pun. Bakhtiyor aka (aka dalam bahasa Uzbek artinya kakak laki-laki), adalah seorang supir taksi dari Vuadil yang kebetulan juga tetangga Sardor. Melihat Sardor yang kelimpungan mencari kendaraan untuk menyelundupkan saya ke Shakhimardan, Bakhtiyor pun menawarkan bantuan. “40 ribu Sum saja,” katanya. Sekitar 35 dolar. Terlalu mahal untuk ukuran kantong kami berdua yang masih standar pelajar. Shakhimardan hanya 25 kilometer jauhnya dari Vuadil, tetapi karena pos-pos perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan itulah yang  bikin mahal. Berkat hubungan tetangga, Sardor berhasil menawar sampai 20 ribu Sum untuk misi rahasia bin berbahaya ini. “Kamu harus berjanji,” kata Bakhtiyor aka, “nanti lewat pos perbatasan, sembunyikan kameramu. Jangan bicara apa-apa. Pura-pura bisu. Davai?” “Davai,” saya mengangguk. Bakhtiyor adalah warga negara Uzbekistan, tetapi mobilnya berplat nomer Kirghiz. Dengan mobil ini, Bakhtiyor bisa melaju melintasi semua pos perbatasan Kyrgyzstan tanpa [...]

September 24, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 72: Terkurung

Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau Anda merasa Gulshan dan Halmiyon adalah aneh-anehnya negeri antah berantah, tunggu dulu, Anda mesti ke Shakhirmardan untuk melihat ajaibnya Asia Tengah. Pernahkah Anda membayangkan tinggal di sebuah kampung kecil yang dikepung oleh negara lain, sehingga untuk keluar kampung pun Anda mesti menyiapkan paspor dan visa? Ini bukan mengada-ada, enklaf-enklaf bertaburan di Lembah Ferghana. Enklaf artinya daerah kantong, seperti misalnya enklaf Oecussi-Ambeno milik Timor Leste yang dikelilingi provinsi NTT Indonesia. Bedanya, enklaf-enklaf Asia Tengah sangat kecil, biasanya cuma sebesar kampung, dan saking kecilnya banyak yang sampai tidak termuat di peta. Ada sejumput Tajikistan bertaburan di wilayah Uzbekistan, sejumput Uzbekistan di wilayah Kyrgyzstan, dan desa-desa Kirghiz terkepung distrik Ferghana-nya Uzbekistan. Ketiga negara ini, dengan segala konflik ego dan nasionalismenya, tak bisa hidup lepas satu sama lain. Politik regional Asia Tengah dibuat semakin ruwet dengan adanya enklaf-enklaf terisolasi ini, yang sengaja ditanam oleh pemerintah Soviet untuk menjadi ‘bom waktu’ kalau negara-negara ini nekat merdeka. Dan benar saja, konflik teritorial di Lembah Ferghana semakin memanas dengan pertikaian antar Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang berdiri di atas garis-garis batas yang hanya Tuhan yang tahu kenapanya. Salah satu contohnya adalah Sokh, enklaf [...]

September 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO) Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana.  Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet.  Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika [...]

September 20, 2013 // 8 Comments

1 2 3